[caption id="attachment_347493" align="aligncenter" width="623" caption="Diskusi Creating Shared Value (CSV), Oxfam bersama Multi Stakeholder (Makassar, 22 Desembr 2014)"][/caption]
CSR sepertinya sudah begitu familiar di telinga kita. Saat ini CSR marak diterapkan perusahaan/corporate. Prinsip perusahaan yang hanya mencari untung semata kini mulai banyak ditinggalkan, sebaliknya prinsip triple bottom line (profit, planet, people) makin menjadi mainstream etika bisnis saat ini. Ibaratnya, korporasi tidak lagi menyendiri terpisah dari lingkungan sekitarnya (planet and people) tetapi mulai memperhatikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Di Indonesia CSR dinyatakan lebih jelas dalam UU PT No. 40 tahun 2007, dengan adanya Undang-Undang ini perusahaan makin terdorong untuk menjalankan CSR.
CSR merupakan praktek bisnis yang berkomitmen, tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk pembangunan sosial ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Seperti halnya perusahaan ekstraktif yang mempunyai dampak langsung terhadap lingkungan, praktek CSR yang dilakukan adalah menyasar perbaikan lingkungan dan masyarakat terdampak di wilayah sekitarnya.
Beberapa hal yang sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy, corporate community relations, dan community development. Berbagai pendekatan ini mempunyai beragam motif yang menggerakkan perusahaan melakukan hal ini. Corporate giving bermotif amal, sedangkan corporate philantrophy bermotif kemanusiaan, corporate community relation bermotif tebar pesona/branding, dan community depelovment lebih ke pemberdayaan komunitas.
Berdasarkan tujuan, CSR berada di antara upaya promosi produk/brand perusahaan, dan pemberdayaan masyarakat. Ada perusahaan pasif, maksudnya CSR yang dilakukan hanya kegiatan karitatif/berdasar belas kasihan. Ada perusahaan yang lebih mengutamakan CSR sebagai upaya promosi ketimbang pemberdayaan. Ada juga perusahaan yang lebih fokus di pemberdayaan dibandingkan dengan kegiatan promosi. Ada juga perusahaan yang menerapkan CSR sebagai untuk promosi sekaligus pemberdayaan.
Salah satu kekhawatiran dalam praktek CSR adalah program CSR yang tidak berkelanjutan. Masyarakat dalam waktu tertentu diberi bantuan, pelayanan/pelatihan, kemudian ditinggalkan begitu saja. Hal ini hanya menempatkan masyarakat sebagai objek, yang tadinya berniat memberdayakan malah membuat ketergantungan masyarakat sebagai penerima program.
CSR bagi beberapa perusahaan mungkin masih dilihat sebagai biaya tambahan, bukan masuk menjadi salah satu strategi perusahaan. Berbeda hal dengan CSV, Creating Shared Value yang disebut sebagai new wave dari CSR.
CSV dicetuskan oleh Mark Kramer dan Michael Porter. Keduanya meneliti Nestle untuk meninjau bagaimana Nestle menjalankan strategi bisnis sekaligus CSRnya. CSV merupakan pengembangan dari konsep tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Sosial Responsibility/CSR). Selama ini bisnis dan kesejahteraan sosial selalu ditempatkan bersebrangan, pebisnis rela mengorbankan kesejahteraan sosial demi keuntungan semata, misalnya dengan melakukan proses produksi yang tidak memperhatikan lingkungan, sehingga merugikan masyarakat di sekitarnya. Nah, CSV menekankan adanya peluang untuk membangun keunggulan kompetitif dengan cara memasukkan masalah sosial sebagai bahan pertimbangan utama dalam merancang strategi perusahaan.
CSR dan CSV memang punya landasan yang sama, yaitu doing well by doing good. Letak perbedaannya adalah CSR masih berbicara tentang tanggung jawab sebagai respon dari tekanan luar perusahaan, sedangkan CSV sudah menapak pada penciptaan nilai bersama, sehingga terintegrasi dengan pencapaian keuntungan perusahaan. Perusahaan bukan hanya menciptankan nilai ekonomi tetapi juga nilai social secara bersama-sama tanpa ada yang didahulukan atau dikesampingkan. Jika CSR memiliki nilai untuk melakukan kebaikan, maka CSV berupaya meningkatkan keuntungan ekonomi dan social . Jika CSR menekankan kepada kewargaan, filantropi dan berkelanjutan, maka CSV menekankan pentingnya penciptaan nilai bersama antara perusahaan dan masyarakat. Jika CSR merupakan bentuk atas tekanan dari luar korporasi, maka CSV malah menjadikan masalah social sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan strategi bersaing.
Menerapkan CSV di Kawasan Indonesia Timur
Senin, (22/12) Oxfam bersama beberapa perwakilan dari private sector menyelenggarakan diskusi mengenai penerapan Creating Shared Value (CSV) di kawasan Indonesia Timur. FGD yang diselenggarakan di Kota Makassar ini dihadiri oleh Oxfam Jakarta, Oxfam Makassar, East Bali Cashew, Bantimurung Indah, Toraja Melo, Nestle Indonesia, Puslitbang Sumberdaya Alam-Unhas, dan Cocoa Sustainability Partnership. Pertemuan ini bermaksud untuk membangun kerjasama multi pihak/berbagai pemangku kepentingan baik itu private sector, NGO, pemerintah, dan sektor publik dalam penerapan membangun manfaat bersama di Indonesia Timur.
Peranan dari private sector sebetulnya sudah luar biasa dalam mendorong pembangunan. Menurut Chris Wangkai dari Oxfam Jakarta, private sector perlu dilibatkan dalam strategi pembangunan. Sayangnya, tidak semua stakeholder sadar dengan apa yang sudah dilakukan private sector, dan seringkali ada beberapa pihak yang menolak bekerja sama dengan private sector.
Untuk itu, sebetulnya perlu dibangun pemahaman bagi berbagai pihak agar bisa saling memahami peranan masing-masing. Rini, perwakilan dari Cocoa Sustainability Partnership menyampaikan, perlu dibangun kesepahaman antara private sector dan NGO. Dengan memahami peranan masing-masing, harapannya semua pihak mau membuka diri dan bekerja sama. Karena sudah bukan saatnya lagi bekerja sendiri-sendiri, dan sudah saatnya semua pihak bekerja sama membangun manfaat bersama.
Dalam diskusi tersebut, hadir juga perwakilan dari Nestle Indonesia. Di mana Nestle merupakan laboratorium bagi Michael E Porter dan Mark Kramer yang memformulasikan konsep CSV, “membangun manfaat bersama”. Menurut Jenik Andreas, CSV Manager Nestle Indonesia, awal mula muncul CSV adalah saat kedua lulusan Harvard University ini meneliti apa yang sudah dilakukan Nestle selama ratusan tahun. Di samping perusahaan menciptakan nilai ekonomi bagi perusahaan itu sendiri, perusahaan juga harus bisa menciprakan manfaat bagi masyarakat dalam waktu bersamaan. Baru dikatakan praktek CSV jika perusahaan dan masyarakat maju bersama-sama. Ini jelas berbeda dengan CSR yang mengedepankan profit terlebih dahulu baru kemudian melakukan CSR.
Praktek CSV diaplikasikan dalam berbagai hal, diantaranya adalah kepatuhan terhadap hukum, standar bisnis, dan standar perilaku. Praktek yang sudah dilakukan Nestle adalah penyediaan biogas di kawasan value chain Nestle di Jawa Timur. Nestle bekerja sama dengan Hivos. Biogas dibangun untuk peternak sapi yang mempunyai minial sapi 2 ekor. Biogas ini dimanfaatkan untuk kompor dan penerangan rumah. Pengadaan biogas ini selain meringankan beban masyarakat karena tidak harus membayar lstrik ke PLN, masyarakat juga tidak perlu lagi mencari kayu bakar untuk keperluan memasak. Untuk menjaga biogas ini tetap dipelihara dengan baik, dan munculnya rasa memiliki di masyarakat, Nestle memberikan pinjaman tanpa bunga yang bisa dicicil dengan setoran susu per 1 liter tiap harinya selama 3 tahun.
Contoh lain dari CSV yang telah dilaukan Nestle yaitu pemberdayaan petani kopi dengan pemberian technical dan financial assistance. Petani juga didorong untuk melakukan sertifikasi. Dengan melakukan sertifikasi, nilai jual kopi menjadi meningkat.
Praktek bisnis yang membangun manfaat bersama masyarakat juga dilakukan oleh Toraja Melo. Toraja Melo merupakan social enterprise yang mendorong penenun-penenun Toraja kembali menenun dengan teknik tenun yang hampir punah. Toraja Melo yang terdiri dari PT Toraja Melo dan Yayasan Toraja Melo tergerak karena kekhawatiran terhadap teknik tenun Toraja yang hampir punah. Setelah mendorong perempuan penenun Toraja kembali menenun dengan teknik yang hampir punah tersebut, kain tenun di kirim ke Jakarta untuk kemudian diolah menjadi produk, baik itu pakaian, maupun produk seperti tas, dsb dengan menggandeng Komunitas Perempuan Miskin Kota yang ada di Jakarta. Sehingga Toraja Melo bisa memberdayakan perempuan penenun di Toraja, dan perempuan rentan di Jakarta. Produk-produk yang dihasilkan fashionable, bahkan sudah masuk di Indonesia Fashion Week, dan menembus Pasar Jepang.
Usaha Penciptaan Nilai Bersama Masyarakat Pesisir Sulawesi Selatan
[caption id="attachment_347531" align="aligncenter" width="981" caption="Kelompok Ujung Parappa Sedang Mengupas Kepiting"]
Program Restoring Coastal Livelihood (RCL) merupakan program perbaikan penghidupan pesisir yang diinisiasi Oxfam dan didanai oleh Canadian International Development Agency (CIDA) fokus di 4 Kabupaten pesisir di Sulawesi Selatan, yaitu Kab. Barru, Maros, Pangkep, dan Takalar. Selama 5 tahun terakhir, RCL mendorong adanya perbaikan penghidupan masyarakat, dimana pendapatan masyarakat bisa meningkat dengan memberdayakan potensi pesisir.
Salah satu kelompok usaha dampingan RCL adalah Kelompok Ujung Parappa. Ujung Parappa berlokasi di Desa Ampekale, Kec. Bontoa, Kab. Maros. Kelompok ini bergerak di usaha pengupasan kepiting. Nelayan tangkap kepiting menjual kepiting ke kelompok, kemudian dikupas oleh anggota kelompok. Anggota kelompok merupakan masyarakat rentan, masyarakat rentan merupakan masyarakat yang yang kurang mampu, tidak mempunyai sumber penghidupan yang layak, tidak memiliki akses sehingga terkendala dalam berproduksi.
RCL memfasilitasi kerja sama antara kelompok Ujung Parappa dengan eksportir kepiting di Surabaya. Kerjasama ini berhasil meningkatkan ekonomi nelayan. Kerjasama ini memotong rantai distribusi kepiting, sehingga lebih menguntungkan nelayan. Adanya kerja sama ini juga menghadirkan keterbukaan informasi harga kepiting, sehingga nelayan memiliki daya tawar, mendorong terbentuknya pasar yang adil. Menurut Boedi Sardjana-Program Manager RCL, masyarakat rentan ini ketika diberi kesempatan bekerjasama dengan private sector mereka mampu, hanya saja mereka butuh penguatan dalam waktu yang cukup lama.
Banyak pihak yang mulai sadar mengenai pentingnya prinsip “membangun manfaat bersama” menjadi kabar baik dalam dunia bisnis. Bisnis tidak lagi menjadi sarana mengejar keuntungan ekonomi semata, tetapi melibatkan masyarakat di sepanjang mata rantai produksi, distribusi, bisa maju bersama dengan perusahaan. Prinsip ini sudah diterapkan di Indonesia, dan beberapa stakeholder yang hadir dalam diskusi sepakat menyasar kawasan Indonesia timur sebagai kawasan penerapan CSV.
Referensi:
Suharto, Edi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H