[caption id="attachment_277022" align="aligncenter" width="620" caption="Prajurit Kopassus (Foto: kompas.com)"][/caption] Untuk mempertahankan kedaulatan sebuah negara, maka dibutuhkan prajurit yang handal dan tangguh. Prajurit yang selalu siap mengorbankan dirinya untuk mempertahankan tanah airnya. Demikian halnya di Indonesia, paham yang dianut oleh para prajurit kita adalah kedaulatan atau NKRI adalah harga mati. Hal itu tidak bisa dikompromikan karena itu Indonesia membutuhkan prajurit yang kuat dan modern. Di Indonesia mengandalkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai prajurit yang bertugas untuk menjaga keutuhan negara ini. Banyak diantara mereka ditugaskan di daerah-daerah konflik, termasuk di semua garis perbatasan dengan negara-negara tetangga. Tak jarang kontak senjata terjadi, baik dengan sparatis maupun pihak lainnya Dan tak hanya itu, banyak pula tentara Indonesia yang diperbantukan sebagai pasukan perdamaian untuk ambil bagian dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB. Mereka biasanya ditugaskan di negara-negara konflik, sebut saja personel Kopassus yang bertugas dalam Satgas FHQSU TNI Konga (Kontingen Garuda) XXVI-E1/UNIFIL, Satgas FPC TNI Konga XXVI-E2/UNIFIL, dan Satgas CIMIC TNI Konga XXXI-C/UNIFIL di Lebanon. Atau Prajurit TNI yang tergabung dalam Satuan Tugas Kompi Zeni (Satgas Kizi) TNI Konga XXXII-B/MINUSTAH (Mission des Nations Unies pour la Stabilisation en Haïti) yang bertugas di Haiti, juga di negara lain di Timur Tengah, Afrika, dan pernah juga di Vietnam. Dalam misi-misi perdamaian tersebut pun sering kali terjadi pertempuran atau kontak senjata yang berakibat jatuhnya korban. Setidaknya, dalam sejarah pengiriman prajurit TNI pada misi perdamaian PBB sejak tahun 1975, Indonesia sudah kehilangan 31 personil yang gugur saat bertugas. Salah satu dari personil terakhir yang gugur adalah Kolonel Laut Anumerta Sondang Doddy Irawan pada tahun 2008 di Nepal pada 3 Maret 2008. Namun tak jarang berbagai pengorbanan para prajurit tersebut sering pula disalahkan (Jangan melihat contoh kasus di Lapas Cebongan, karena itu bukan yang dimaksud dengan menjalankan perintah berperang), lebih-lebih ketika jatuh korban di pihak lawan (bukan prajurit TNI). Maka saya sependapat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutarakan bahwa para prajurit yang menjalankan perintah untuk berperang selayaknya disebut pahlawan bukan disalahkan sebagai penjahat perang. Untuk ini, mereka yang sedang menjalankan perintah untuk berperang tidak sepantasnya dipersalahkan. Menurut SBY, keputusan untuk berperang adalah kebijakan politik yang dijalankan oleh prajurit. Untuk diketahui, keputusan untuk perang adalah keputusan politik, sedangkan berperang adalah misi dari angkatan bersenjata atau angkatan perang. Karena itu, apapun pertimbangan politik yang melatarbelakangi dan dorong terjadinya peperangan itu, bagi prajurit, hakekatnya adalah pahlawan. Lagi, menurut SBY, para prajurit yang bertugas itu tidak terlibat dalam kejahatan perang yang diatur dalam dunia internasional dan nasional. Sebagaimana paham yang dianut oleh para prajurit adalah kedaulatan atau NKRI adalah harga mati. Hal itu tidak bisa dikompromikan karena itu Indonesia membutuhkan prajurit yang kuat dan modern. Tambah Anggaran Alutsista Untuk mewujudkan prajurit tangguh dan modern, maka salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah penambahan anggaran untuk penambahan dan pembaruan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang juga terus naik, setidaknya berdampak positif pada peningkatan anggaran yang bisa dialokasikan ke pertahanan. Bahkan SBY pun terus berupaya, paling tidak lima tahun ke depan alutsista TNI sudah masuk kategori tangguh atau mencapai Minimum Essential Force (MEF). Dengan demikian, akan juga memperkuat posisi Indonesia di mata internasional. Sebagai catatan, situs analisis militer, Global Firepower.com, baru-baru ini merilis daftar negara-negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia. Indonesia berada di peringkat ke 15, dari 68 negara yang disurvei. Sedangkan militer Amerika Serikat masih berada pada urutan pertama, diikuti oleh Rusia dan Republik Rakyat Cina. Indonesia berada di peringkat 15 dengan power index sebesar 0,76. Kekuatan personel TNI aktif berjumlah 438.410 orang. Indonesia juga memiliki nilai kekuatan kendaraan lapis baja 400, nilai kekuatan pesawat militer 444. Nilai kekuatan helikopter 187, Indeks kekuatan perang angkatan laut Indonesia sebesar 150, dengan jumlah kapal militer 139 unit berbagai jenis. Saat ini anggaran militer Indonesia pada 2012 mencapai US$ 5,2 miliar. Meski berada di posisi 15, namun pantas diapresiasi dan dibanggakan. Secara geografis, Indonesia adalah negara kepulauan terluas, demikian halnya dengan jumlah penduduk yang besar. Ini tentu sangat berbeda dengan Amerika, Rusia, atau bahkan China. Indonesia masih tergolong minim dana untuk alutsista tapi di posisi 15 dari 68 negara merupakan langkah positif. Untuk itu, mari dukung kebijakan pemerintahan SBY untuk terus menambah anggaran belanja alutsista agar prajurit semakin kuat, negarapun jadi kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H