Ada yang berbeda dari statement Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, beberapa waktu lalu terkait pemilu 2014. Jika pada pernyataan sebelumnya, Ical –begitu sapaan akrab pemilik usaha Group Bakrie ini— begitu yakin bisa menjadi pemenang, kini ia mulai menunjukkan sikap mengibarkan bendera putih untuk menjadi yang terdepan di pemilu 2014 nanti.
Pemilu belum juga ditabuh, Ical sudah bicara kekalahan. Sebagaimana kita tahu, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Ical mengatakan Partai Golkar tidak akan beroposisi jika kalah dalam pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres). Apalagi, jika Ketua Umum (ketum) DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri atau Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai presiden.
Pernyataan ini tentu menyiratkan keyakinan Ical bahwa Partai Golkar akan kalah di pileg April 2014 nanti. Sementara pada Pilpres pada Juli mendatang, dirinya yang merupakan satu-satunya capres Partai Golkar, tak akan mampu bersaing dengan Megawati atau Jokowi.
Bahkan, Ical dengan terang-terangan menunggu lamaran PDI Perjuangan untuk diajak gabung masuk di pemerintahan. "Kalau diajak, tentu Golkar ingin bersama dengan Mega atau Jokowi dalam pemerintahan dan parlemen," ucapnya dalam diskusi itu. Dalih yang diunakan Ical, bahwa Partai Golkar tak punya budaya oposisi.
Sah-sah saja jika Ical sudah menyerah sebelum bertanding. Sikap pesimis yang ia lontarkan juga wajar, mengingat dirinya diyakini banyak kalangan tak akan mampu bersaing dalam pilpres nanti.
Sejatinya, bukan hanya Ical saja yang pesimis terkait kansnya menjadi pemimpin Indonesia pada pemilu 2014. Banyak kader Partai Golkar juga yang memang kurang sreg dengan pencapresan Ketua Umum Partai Golkar ini. Ketua DPP Partai Golkar bidang Kepemudaan Yorris Raweyai misalnya. Ia menunjukkan ketaksukaannya terhadap pencapresan Ical melalui kriitik cara kampanye yang dilakukan tim pemenangan Ical.
Kampanye Ical melalui iklan yang gencar dianggap masih belum efektif sehingga elektabilitas Ical selalu berada di bawah Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang juga adalah kader PDI Perjuangan.
Yang paling kentara tentunya adalah kritik dari Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tanjung. Sudah sejak lama, mantan Ketua PM HMI ini mengungkapkan perlunya evaluasi terhadap Ical karena elektabilitas Ical tidak sinergis dengan elektabilitas partai. Semenjak itu, kubu yang kontra dengan Ical mulai menyuarakan rapimnas khusus.
Apa yang diungkapkan oleh Akbar bukanlah tanpa alasan. Tingkat elektabilitas Ical sulit didongkrak karena ia memiliki catatan negative yang sulit dihabpus di memori public.
Setidaknya, ada tiga catatan miring tentang Ical. Pertama adalah bencana luapan Lumpur Lapindo. Bencana luapan lumpur yang menimpa Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, itu diduga terjadi akibat kesalahan pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas. Saham PT Lapindo Brantas dimiliki secara penuh oleh PT Energi Mega Persada, yang merupakan anak perusahaan kelompok usaha Bakrie. Bencana ini telah menyebabkan lebih dari ratusan hektare wilayah pemukiman warga tenggelam.
Kedua, kasus skandal tunggakan pajak. Selain bencana luapan lumpur Lapindo, Ical juga berpotensi tersandung skandal tunggakan pajak yang dilakukan kelompok usaha Bakrie, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin. Di berbagai kesempatan persidangan, terdakwa Gayus H. Tambunan berulang kali mengungkapkan bahwa kelompok usaha Bakrie memberikan uang senilai Rp100 miliar kepada dirinya guna memperlancar urusan tunggakan pajak.