Masalah kebakaran hutan yang menimbulkan bencana kabut asap di Sumatra bagian tengah, telah terjadi setiap tahun selama 15 tahun terakhir. Masalah ini tak pernah selesai. Selalu terulang dan terulang lagi.
Itu pula yang terjadi saat ini. Pemerintah Riau menetapkan status darurat. Dampaknya kemana-mana, baik dibidang sosial, politik dan ekonomi.
Khusus dibidang ekonomi, kerugian yang ditanggung ditaksir mencapai 10 triliun per bulan. Tentu ini bukan jumlah sedikit. Hal itu seperti dikemukakan oleh Wakil ketua Umum Bidang Ekonomi dan Kerja sama Internasional, Kadin Provinsi Riau, Viator Butar Butar.
Menurut Viator, jika dihitung PDRB Riau setiap tahun yang mencapai Rp 342,69 triliun lebih, maka diperkirakan sebulan saja terganggunya aktivitas usaha sebagai dampak kabut asap maka 30 persen dari total produktivitas dikali dengan Rp 342,69 triliun PDRB Riau, ditemukan kerugian sebesar Rp 10 triliun itu.
Belum lagi dampak social dan politik. Kabut asap telah memakan korban sakit hungga ratusan ribu jiwa. Sekitar 25.438 Warga Riau Sakit Akibat Asap. Mereka kebanyakan terserang penyakit pernafasan. Belum lagi kalau dihitung didaerah sekitarnya yang juga terkena dampak Asap kebakaran hutan tersebut.
Dibidang politik, kabut asap berdampak pada terus adanya demonstrasi terhadap pejabat politik dengan tuntutan turun dari jabatan. Hal ini tentu akan mengganggu stabilitas politik sehingga berdampak pada kurang efektifnya roda pemerintahan.
Akankah ini terulang selalu?
Jika membaca pernyataan Presiden SBY, kita mungkin bisa sedikit lega. Menantu Sarwo Edhi Wibowo ini turun langsung untuk memimpin upaya penyelesaiannya.
"Saya akan mengakhiri tugas saya 20 Oktober. Saya ingin sebisa mungkin melakukan pekerjaan ini, agar dampak kabut asap tidak membebani jabatan presiden baru dan kepemimpinannya kelak," tuturnya menanggapi kabut asap Riau.
Itu sebabnya, Presiden SBY mencoba mengidentifikasi kemungkinan penyebab kronis masalah kebakaran hutan ini. Ketua Umum Partai democrat ini menyebut setidaknya ada 7 penyebab. Ketujuh itu antara lain:
(1) Cuaca yang ekstrim.
(2) Lahan gambut yang mudah terbakar.
(3) Cara bercocok tanam penduduk dengan cara membakar.
(4) Tindakan membakar secara meluas bermotifkan finansial.
(5) Tidak optimalnya pencegahan oleh aparat di tingkat bawah.
(6) Kurang cepat & efektifnya pamadaman api.
(7) Penegakan hukum yang tidak bisa menyentuh master-mind pembakaran.