Membuat perubahan di masyarakat, jangankan yang berdampak besar, dalam skala kecil saja, tantangan dan hambatannya tak sedikit. Begitu kata kebanyakan orang. Namun, yang kami alami di Desa Suru, Kab. Seram Bagian Timur, Maluku, justru sebaliknya. Meski bukan berarti minus hambatan dan sumbatan, tapi perubahan itu berjalan sedikit lebih mulus. Ancang-ancang dengan kuda-kuda terbaik, khawatir barangkali bakal banyak adangan, ternyata, tidak. Semua di luar dugaan awam kami-sekelompok anak muda yang berniat mendirikan rumah baca, tempat dimana para anak-anak kampung bergiat, belajar, dan bermain di luar jam sekolah- mendapat dukungan penuh dari semua elemen masyarakat, mulai dari pejabat desa, praktisi pendidikan, orangtua, hingga generasi terdidik di kampung kami yaitu mahasiswa.
Seru? Tentu saja. Kami bergerak kolektif dan simultan. Masing-masing kami memainkan peran tanpa ada komando sebelumnya. Tahu diri, begitu tepatnya. Kami sadari betul bahwa pendidikan di kampung kami, Desa Suru, memang cukup tertinggal dari kampung lain di pesisir kabupaten. Dinilai kurang kompetitif. Selain itu, masalah lain yang kami temukan, masih banyak anak muda di kampung yang belum menemukan kanal ekspresi yang tepat. Sebab itu, kami dirikan Rumah Baca Suru (RBS) sebagai ruang ekspresi yang positif. Semua diarahkan demi kemajuan pendidikan yang tak hanya terbatas pada kemampuan calistung (baca-tulis-hitung) tapi pada pengembangan karakter, minat bakat, soft skill, dan kanal 'tuk menemukan jati diri sejak muda. Sesuai motto kami: Education for Empowerment.
Lalu, apa tantangan kami sejauh ini, sejak tiga bulan berdiri?Â
Pertama, terhambatnyajejaring komunikasi ke luar desa.Yup, kami kesulitan membangun jejaring ke luar desa, sebab hambatan komunikasi. Di desa kami, sinyal pun masih "mikir-mikir" untuk berbetah diri di sana. Terisolir? Tidak juga. Jalan-jalan utama di dalam desa sudah diaspal, cukup bagus. Hanya saja, BTS alias tower sinyal masih belum ada. Kami tergantung dari BTS di kampung sebelah berjarak 5 kilometer. Itupun sinyal "pantulan" dari BTS di Pulau Geser yang berjarak kurang lebih 20 kilometer. Makanya, komunikasi antara relawan di Kota Ambon dengan mentor di desa agak terhambat.
Tambahan, untuk ke Desa Suru, hanya ada kapal laut yang berangkat dari Ambon, sekali dalam dua minggu. Kalau menggunakan mobil, berarti harus mengitari Pulau Seram, kurang lebih 12 jam untuk sampai ibukota kabupaten, menyambung lagi mobil kurang lebih 4 jam sampai ibukota kecamatan, dan sambung ngojek45 menit. Jangan bayangkan jalannya mulus, ya. Banyak jalan berlumpur, sungai-sungai besar yang sering meluber di musim penghujan begini, sampai akhirnya mobil-mobil pun terpaksa ngetem seharian atau nekat menyeberang sungai dengan ditarik pakai tambang oleh warga setempat, bayar 50 ribu satu mobil.
Kedua, akses informasi yang terbatas. Ini juga masalah serius. Selain televisi dan radio, kami tak punya kanal informasi lain. Apa, Socmed? itu kecil kemungkinan. Selain masalah sinyal, harga paket internet juga mahal, plus kami memang tidak terbiasa bermedsos ria untuk cari informasi kecuali facebook-an, doang. Rata-rata warga kampung begitu. Lah, terus gimana bisa posting tulisan ini? 'kan ini diposting pas salah satu dari tim Admin RBS berada di Kota Ambon saja. Kalau di kampung, ya ndak bisa. Itupun, kami harus rela merogoh kocek tuk segelas kopi di kafe dan menikmati wifi gratisan. Sebab alasan akses informasi inilah, informasi pendidikan pun seret di negeri kami.
Ada cerita menarik, saat inisiator RBS, Abang Shulhan Rumaru, baru saja pulang kampung setelah belasan tahun hidup di tanah Jawa, ia mendapat curhatan seorang guru. Katanya, sang guru mengajar bahasa Indonesia dan menerangkan tentang tabloid dan koran. Di tengah-tengah asyiknya mengajar, sang guru dikejutkan oleh pertanyan muridnya. "Ibu, koran dan tabloid itu seperti apa?" Berulangkali sang guru menjelaskan, tapi muridnya tak jua paham. Apa pasal? Sang guru dan muridnya, sama-sama belum pernah melihat seperti apa ujud/rupa koran dan tabloid itu sendiri.hehehe. Â Â
Ketiga, minimnya bahan bacaan. Masalah ini sangat serius. Meskipun di Desa Suru ada sekolah SD-SMA (Aliyah), namun ketersediaan buku sangat minim. Yang ada, hanya buku diktat dan LKS, itupun terbatas. Keresahannya, bukan hanya datang dari peserta didik tapi dari para tatalaksana pendidikan di sana. Dari kepala sekolah sampai guru, semua mengeluhkan hal yang sama, nggak punya buku bacaan. Hal inilah yang menjadi alasan fundamental, kenapa Rumah Baca Suru harus ada. RBS jawaban konkrit atas keresahan warga desa, sekaligus menjadi harapan mereka.
Pertama, RBS sudah mengadakan Training of Trainer internal yang melibatkan 13 mentor dari siswa kelas 11 (kelas dua) Aliyah Desa Suru. Para fasilitator mengajak ketigabelas mentor untuk aktif membahas rumah baca impian, mengajari teknik retorika, manajemen diri, dan terpenting manajemen pendidikan komunitas. Alhamdulillah, antusiasme mereka pun didukung sepenuhnya oleh orang tua dan pihak sekolah.