Ku lihat, air mukanya tak seperti biasa. Kedua bola matanya berbinar memantulkan cahaya ruangan, seperti kaca-kaca tangisan atau bahkan, ia sedang benar-benar lelah.
Jilbab telah menjadi identitasnya. Seorang muslimah yang pandai meracik pesan-pesan dakwah, menjadi inspirasi untuk segera membakar gairah. Tuhan berulangkali ia sebutkan ketika orang-orang ‘memaksa’nya agar tetap dan (harus) selalu kuat. Tanggungjawab berkali-kali ia lontarkan ketika ia ditanya, ” Mengapa ada niat (Ibu) untuk mundur ? “
Ia tak bergeming. Nalurinya sebagai seorang wanita, pun sebagai seorang ibunda kembali menyeruak. Perlahan namun pasti, politik berhasil membuatnya antipati, setelah ribuan jam ia bertarung bahkan tak peduli dengan sanjung dan caci. Ia sadar betul sebagai arsitek yang banyak tahu detail dan keindahan bangunan, tapi tak paham menerawang hasrat dan geliat politik yang menggelitik. Semuanya, demi warga yang ia kasihi.
Ia mungkin sedang mengingat betul, bahwa kitab suci pernah ada di atas kepalanya, kala terucap sumpah. Ia boleh jadi sedang bermesraan dengan Tuhan tentang keadaan dirinya dan pengakuan atas segala daya yang telah tercurahkan. Ia kini masih menunggu ‘jawaban’ pasti dari aras langit.
Suami tercinta, anak-anak tersayang, pekerjaan rumah, dan segudang kesibukannya sebagai manajer rumah tangga, berani ia tinggalkan. Memenuhi panggilan lubuk hati, melunasi janji pada negeri yang ia cintai. Surabaya, tempatnya lahir dan dibesarkan, juga kota yang kini sedang dia tumbuhkembangkan. Tri Rismaharini, namanya.
***
Entah, tak nampak kepura-puraan dari wajahnya. Lugas, tapi sedikit polos. Keras, namun hatinya lembut bagai kasih berbelas. Pemimpin yang selalu yakin pertemuan dengan Tuhannya. Pelayan masyarakat yang bersiap dimintai pertanggungjawaban hari kemudian. Sedikit dari sekian banyak wanita-wanita tangguh, yang Tuhan tampakkan kepada kita sekalian, sebuah arti pengabdian dan ketulusan ditengah-tengah subordinasi kodratnya sebagai perempuan.
Melihatnya, mungkin Bu Risma masih jauh untuk setara dengan Hajar. Masih perlu waktu sejajar dengan Maryam. Masih belum bisa menyaingi Cut Nyak Dien. Tapi, ia telah mengamalkan keteledanan dari wanita-wanita hebat yang ada di setiap zaman. Kuat, hebat, dan penuh pengharapan.
Tuhan, jangan Engkau biarkan negeri ini terlalu lama menangis, dengan Kau ambil pemimpin-pemimpin yang mencintai kami. Tuhan, jangan Engkau murkai negeri ini sekian lama, dengan Kau berikan kami politisi, pemangku kepentingan, pejabat, dan birokrat yang tak banyak mencintai kami siang dan malam.
Berilah kami kekuatan untuk menggenapkan upaya membereskan negeri ini, menuju negeri yang Kau sukai. Karuniakan ketangguhan bagi para pemimpin kami yang mencintai-Mu dan mencintai kami. Aamiin.
***