Mohon tunggu...
Nuzul Mazida Rahma
Nuzul Mazida Rahma Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang perempuan biasa dengan kehidupan yang luar biasa super.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menunggu “Panggilan” dengan No Urut Acak

13 Desember 2011   07:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:23 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tadi pagi, sekitar pukul 06.00. Telepon genggam milik bapakku berdering. Tanda panggilan masuk dari seseorang di seberang sana. Setiap ada panggilan masuk di pagi hari pada telepon genggam milik bapak. Kami serumah pasti panik dan berpikiran yang tidak-tidak seperti kabar sedih dan kabar kematian.

Ya! Seperti 3 tahun lalu, pagi-pagi sekali pukul 4 telepon genggam bapak berdering. Kami yang saat itu masih tertidur lalu terbangun karena suara di seberang sana mengabarkan bahwa omku, adik dari bapak meninggal dunia pada dini hari. Sontak saja kami terbangun dan menangis atas kepergian omku itu. Om yang begitu kami sayangi.

***

Seperti pagi ini, ketika bapak mengangkat handphone dengan suara keras khas suara bapakku. Tiba-tiba saja suara bapak menjadi parau karena kaget mendengar kabar yang dikabarkan oleh seseorang di seberang sana. Kami yang saat itu sedang berkumpul di ruang tengah karena akan beraktifitas menjadi diam seribu bahasa, hening menyelimuti kami, perasaan deg-degan menghinggapi. Dan masing-masing dari kami, mulai bertanya dalam hati, 'Ada apa gerangan?' 'Ada kabar apa? Kenapa tiba-tiba saja suara bapak mendadak kaget begitu.' Pertanyaan yang bernada penasaran mulai bermunculan dalam pikiran kami. Ibu dan adikku pun demikian.

Sesaat kemudian, di akhir telepon, bapak mengucapkan, "Innalillahi wa innaillaihi rojiun." (Sesungguhnya apa yang Dia ciptakan, pasti akan kembali pada-Nya). Sontak saja kami yang mendengar bapak mengucapkan kalimat berita yang menandakan bahwa itu kabar sedih pun saling bersahutan mengucapkannya juga. 'Kabar kematian ya?' tanyaku dalam hati.

"Sopo, pak, sing meninggal?" (Siapa, pak, yang meninggal?) tanya ibuku penasaran.

"Istrinya Pak Rus," jawab bapakku dengan wajah sedih dan terduduk di kursi, lemas.

Pak Rus adalah kawan bapakku sesama penjual bakmi jawa. Bedanya, kini bapak tak lagi berjualan, sedangkan Pak Rus masih setia dengan kesehariannya itu. Berjualan bakmi jawa di pinggir Jalan Joglo-Solo, Klaten ditemani dengan sang istri yang kini telah tiada itu dan saudara-saudaranya yang lain, yang kebetulan tinggal sedesa dengan Pak Rus.

***

Sekitar setahun yang lalu, lupa tepatnya bulan apa. Aku pernah diajak bapak mengunjungi rumah Pak Rus dan Bu Rus di daerah belakang SGM Klaten. Sekedar silaturahmi dan bertukar cerita. Rumahnya kecil namun asri. Di teras rumah nampak burung-burung kenari dan perkutut yang menghiasi. Siang itu, ku lihat Bu Rus sedang memomong (mengajak main) cucunya. Saat itu, kebetulan Bu Rus sedang sakit flu. Dan ku perhatikan dengan seksama, tubuhnya nampak tak sehat karena kelebihan berat badan, mungkin, pikiranku saat itu mulai menerka-nerka.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun