Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemedikbudristek) memiliki tanggungjawab atas pendidikan, sesuai dengan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang didasarkan pada Pancasila. Amanah itu tidak sekadar slogan, tetapi mesti dilaksanakan. Tugas negara adalah menjadikan manusia Indonesia yang memiliki kecerdasan ilmu pengetahuan dan akhlaq, sehingga mampu membuat bangsa Indonesia maju dan bersaing dengan negara lain.
Pendanaan pendidikan pada sisi yang lain, sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai dengan Undang-Undang Pendidikan Nasional. Namun fakta tersebut menunjukkan bahwa 20% tersebut tidak hanya dikelola oleh Kemendikbudristek, tetapi juga pendidikan yang tersebar di kementerian lainnya.
Pada tahun 2024, Permendikbudristek nomor 2 dikeluarkan untuk memberikan kebebasan kepada Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam mengelola aset yang dimilikinya. Selain memberikan kebebasan dengan menetapkan standar biaya, pemerintah juga memberikan dukungan pengembangan institusi dan otonomi kepada kampus yang berstatus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH).
Seperti buah simalakama, kebebasan perguruan tinggi negeri meliputi segala hal yang harus dipertimbangkan oleh perguruan tinggi negeri. Memberikan kebebasan pengelolaan, menyebabkan perguruan tinggi negeri untuk putar otak akibat pengurangan subsidi dari Kemendikbudristek. Bagaimana cara mendapatkan sumber dana tambahan untuk keperluan operasional dan biaya pendidikan lainnya, yang selanjutnya disesuaikan dalam Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Jika diperhatikan, UKT mencakup biaya pendidikan yang terdiri dari biaya wajib dan tidak wajib. Biaya mengikat antara lain: Biaya pendidikan, biaya penelitian dan pengabdian masyarakat terkait dengan biaya pendidikan perguruan tinggi.
Biaya tidak mengikat meliputi: Biaya operasional meliputi pemeliharaan gedung dan bangunan, serta biaya operasional sehari-hari seperti listrik, internet, air, dan biaya langganan lainnya. Selain itu, terdapat pengeluaran gaji dan tunjangan untuk pimpinan perguruan tinggi, dosen/pengajar, tenaga kependidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Polemik yang saat ini muncul, adalah perhitungan dari masing-masing perguruan tinggi sesuai dengan kebutuhan, yang dibebankan kepada mahasiswa. Kenaikan beberapa kebutuhan pokok, misalnya kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan gaji dan tunjangan serta kenaikan lainnya, menyebabkan setiap perguruan tinggi meninjau/ review kembali, atas UKT yang telah ditetapkan. Besaran UKT dengan memberikan kategorisasi, belum memberikan rasa keadilan kepada masyarakat pasca pademi covid-19.
Polemik seputar Uang Kuliah Tunggal (UKT) telah menimbulkan gejolak di berbagai kalangan dan memunculkan perdebatan serta perbedaan pandangan. Sebagai sistem penentuan biaya pendidikan di perguruan tinggi, UKT telah menarik perhatian karena dampaknya yang signifikan terhadap aksesibilitas dan keadilan dalam pendidikan tinggi.
Sementara pendukung UKT menyoroti keadilan finansial yang dihasilkan oleh sistem ini. Mereka menyatakan bahwa UKT memberikan kesempatan bagi universitas untuk memberikan bantuan keuangan kepada mahasiswa yang membutuhkan dengan lebih besar, sambil juga meningkatkan pendapatan institusi pendidikan untuk meningkatkan fasilitas dan kualitas pendidikan secara keseluruhan.