Dalam aksi demonstrasi yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa dalam era pemerintahan Gus Dur, terdapat fenomena menarik yang menjadi perdebatan panjang dikalangan mahasiswa. Beberapa pihak tentunya menilai bahwa wacana perdebatan telah mengarahkan pada perpecahan dalam polarisasi gerakan mahasiswa. Bahkan pada tingkatan isu yang ada, muncul paradigma perdebatan isu mana yang relevan dan penting untuk diprioritaskan. Perbedaan wacana yang muncul dalam masyarakat dan mahasiswa terhadap penilaian subjektif yang bergema, menarik bagi penulis dalam menganalisa permasalahan dalam tulisan ini dan penting untuk disosialisasikan bahwa mahasiswa masih dalam suatu kerangka kekuatan moral yang solid.
Gerakan aksi yang dinilai sangat berbeda dengan beberapa aksi mahasiswa tahun 1966 dan tahun 1998 memunculkan anggapan bahwa gerakan mahasiswa tidak dapat menjadi agent of change maupun direct of change selama gerakan mahasiswa terpolarisasi dalam agenda yang berbeda. Tampak kritik tajam yang diterima gerakan mahasiswa tahun 2001 kali ini, turut diperkuat dari beberapa aksi yang dilakukan hingga menyebabkan chaos sesama gerakan mahasiswa, mahasiswa vis s vis mahasiswa.
Namun permasalahannya apakah perbedaan pendapat dikalangan mahasiswa merupakan suatu stimulan untuk memecahbelahkan mahasiswa, menyebabkan sesama mahasiswa menjadi suatu gerakan massa people power yang saling menjatuhkan. Kedua, isu kelompok manakah yang harus menjadi isu sentral sebagai perjuangan bersama sehingga tampak mahasiswa bersatu kembali. Dalam permasalahan yang ada, semua pihak hanya terpaku pada perbedaan wacana perjuangan melalui agenda yang diisukan kelompok mahasiswa. Menurut penulis dalam wacana demokrasi, perbedaan pendapat dalam agenda mahasiswa merupakan suatu yang wajar, artinya apapun agenda yang diperjuangkan merupakan suatu sikap moral yang intelektual dalam koridor memperjuangkan kebenaran demi rakyat.
Memang harus diakui dalam aksi-aksi belakangan ini, mahasiswa dapat dikatakan telah terpolarisasi dalam dua kelompok besar dengan agenda yang berbeda pula. Kelompok pertama merupakan kelompok mahasiswa yang berasal dari lembaga formal kampus seperti mahasiswa yang tergabung dalam aksi BEM se Indonesia. BEM memandang bahwa isu yang diperjuangkan selama ini melihat pada agenda reformasi diera pemerintahan Gus Dur yang dianggap mandek, bahkan dirasakan Gus Dur tidak konsisten dalam membawa arah reformasi atau dalam batasan setengah hati. Namun yang menjadi momentum BEM yakni penurunan Gus Dur yang dianggap telah berkhianat dari enam visi reformasi mahasiswa Indonesia dengan melakukan KKN gaya baru melalui Buloggate dan Bruneigate. Konsistensi mahasiswa dalam kelompok ini pun tampak dari arah reformasi yang masih belum membawa dampak yang signifikan dan tanpa memandang figur atau partai manapun yang berkuasa, sebatas telah melakukan penyimpangan maka harus dilengserkan, seperti fenomena yang menimpa Gus Dur dari aksi penurunan terhadapnya.
Kelompok kedua, tergolong dalam kelompok mahasiswa non BEM atau bukan berasal dari lembaga Formal kampus seperti Forkot, Famred, LMND, FAM, Forbes dan lainnya. Konsistensi agenda yang diperjuangkan tampak dari isu yang berkesinambungan dari isu sebelumnya yaitu penolakan Orde baru melalui pembubaran Golkar.
Secara logis kita dapat menilai, agenda yang diperjuangkan selama ini merupakan fenomena yang menyebabkan perbedaan dalam aksi mahasiswa, antara agenda pembubaran Orde baru yang notabene pembubaran partai Golkar dan penurunan Gus Dur dari presiden. Penulis melihat terdapat tiga kondisi yang mempola perbedaan isu tersebut. Pertama, perbedaan ideologi yang tampak pada perbedaan paradigma mahasiswa yang memandang konstelasi politik Indonesia saat ini. Kelompok mahasiswa ini seperti pada kelompok mahasiswa sosial demokrasi (Sosdem) cenderung melihat sistem lama (Orde baru) tampak menghambat proses transisi yang ada, sedangkan dipihak lain memandang bahwa sistem sekarang tiada beda dengan sistem sebelumnya dan cenderung korup. Kedua, isu yang diperjuangkan merupakan isu yang sangat sensitif artinya sangat menjebak gerakan mahasiswa pada isu kepentingan elit dan menjebak konpirasi politik pada kelompok kepentingan politik tertentu dengan mahasiswa. Ketiga, kurangnya persatuan dari mahasiswa dan persamaan emosional dalam menyingkapi konstelasi politik sehingga agenda tampak berbeda dan tiada upaya untuk mengsingkronisasikan isu yang ada.
Dalam hal ini penulis kurang sepakat bahwa agenda yang ada telah menyebabkan perbedaan wacana yang mendasar, sehingga memunculkan perpecahan. Dari dua agenda yang ada, terdapat permasalahan yang fundamental artinya terdapat garis merah perjuangan yang sama melalui perbedaan isu. Pertama,reformasi yang diharapkan Gerakan mahasiswa adalah perubahan sistem. Dalam kelompok BEM menilai sistem sekarang dalam pemerintahan Gus Dur dianggap sangat kontroversial, agenda reformasi masih tidak kongkrit dilaksanakan, dan permasalahan kondisi masyarakat masih belum membawa perubahan yang sangat mendasar dan dirasakan. Bahkan dirasakan sistem sekarang yang notabene dikendalikan oleh Gus Dur, cenderung memunculkan gaya-gaya baru yang sangat bertentangan dengan reformasi sepeti munculnya KKN gaya baru dan korupsi semakin meluas, disintegrasi sebagai ancaman hingga intervensi asing masih mendominasi.
Sedangkan dalam kelompok non BEM, melihat pada sistem lama (baca : Orde baru) yang masih mendominasi dalam pemerintahan. Kelompok ini tampak pada isu memperjuangkan penghapusan Orde baru yang dianggap telah menjadi penghambat proses demokrasi. Dalam hal ini, Golkar dianggap sebagai mesin politik orde baru yang melahirkan sistem yang bobrok selama ini. Artinya selama golkar masih ada maka usaha-usaha untuk perubahan di Indonesia akan selalu terhambat. Karena bila terlaksananya perubahan secara total di Indonesia maka golkar ataupun penjahat-penjahat orba lainnya akan dimintai pertanggungjawabannya atas segala kejahatannya.
Persoalan kedua, sistem yang ada pada dasarnya masih didominasi oleh orang-orang yang berasal dari Orde baru. Hal tersebut tidak terlepas dari proses reformasi yang digulirkan mahasiswa belum merubah kondisi secara mendasar artinya secara supra struktur kelompok orde baru telah habis namun dalam lapisan infra struktur, Rezim Orde baru masih menempatkan diri pada posisi yang aman bahkan dalam pemerintah Gus Dur, mereka telah masuk dalam birokrasi dan struktur pemerinthahan dari legislatif, eksekutif hingga pemerintahan desa. Sekarang menganggap diri mereka reformis, maling teriak maling.
Demikian juga dengan Gus Dur, sang reformis yang berhasil menjadi presiden melalui jalur yang sangat demokratis. Gus Dur juga merupakan antek-antek orde baru. Bahkan dalam Orde baru peran Gus Dur sangat besar dalam mempertahankan rezim. Tentunya budi akan dibalas budi dan sumbangsih Gus Dur pun tampak pada kepemimpinan dalam mencegah pengadilan terhadap Soeharto, pengusustan KKN diera Orde baru yang belum terusut hingga sekarang, dan kasus genocide umat islam yang didiamkan oleh Gus Dur. Peran Gus Dur terhadap Orde baru dapat kita lihat dari turut berperannya dalam menyetujui pancasila sebagai asas tunggal, sebagai juru kampanye Golkar hingga menjadi anggota MPR utusan Golkar tahun 1987-1997. Hal ini tidak terlepas bagaimana peran Golkar dan militer sehingga Gus Dur terpilih ketua umum NU pada tahun 1984.
Namun penting untuk dicermati dari agenda yang ada, menurut penulis pada dasarnya sama yakni membubarkan sistem lama dan menolak sistem baru. Sehingga kita dapat menjawab permasalahan kedua akan isu mana yang lebih diprioritaskan, jawabnya adalah kedua-keduanya. Tiada isu yang saling bertentangan dalam aksi jika kita mencermati dengan kepala dingin, jadi mengapa harus pecah.
Penulis optimis jika aksi yang dilakukan oleh mahasiswa dalam agenda yang berbeda akan dapat bersatu kembali dalam menggalang solidaritas yang kuat untuk turun kejalan bersama. Perbedaan mahasiswa hanya terdapat pada wacana perbedaan isu. Namun tidak menutup kemungkinan, jika sekarang mahasiswa telah menemukan musuh bersama yaitu menghancurkan sistem lama (Orde baru) dan menolak sistem baru atau Rezim Gus Dur. Karena pada dasarnya sistem lama dengan sistem baru masih dipegang pada orang yang sama hanya posisi yang berbeda. Sehingga siapa pun yang berkuasa sekarang merupakan pencerminan dari orde baru yang bertopeng reformasi, reformis gadungan.