Prajurit hujan mencatat sejarah sejak jaman purba
Ada kisah cinta perang petaka duka lara diendapkan
Dalam kristal-kristalnya yang kian redup. Menyusun
sel sel tubuh ringkihnya. Menari liar meliuk kucar
Membasahimu. Menghimpun rasa yang kutiupkan,
Melenggang ia ke dalam hatimu. Dan ia tuai rasa
Yang kupesankan padanya.
Setangkup wangi aroma pantai diterik siang menyusupi
Rongga dadamu. Zat asam yang lezat dikerat elemen alveolus,
Lalu meresap ia ke dalam darahmu, kembali ke paru paru
Kaurebahkan mahkotamu di pasir lautku. Pasir biruku.
Hanyut digerai gerai lidah hujan yang memerah basah
Menari serupa tango, serupa salsa. Irama jazz alam
Mengalun di senja. Menegakkan bulu roma kita. Mulut terkesiap
Gumam halus ritmis yang magis menancap vertikal ke langit.
Raja hujan merajah segala sejarah sejak jaman purba
Ada kisah cinta perang petaka duka lara diendapkan
Dalam kristal-kristalnya yang semakin sakral
Ah, terbangun aku di kotamu dibawa hujan sore tadi
Padang na dimpu: hamparan rumput di tempat yang tinggi
Pasukan Paderi jadikan benteng di sini. Menghampar
Dari Batang Ayumi sampai Aek Sibontar
Aku tahu ini gunungmu. Hijau. Tak seperti lautku. Biru.
Kau di kaki Gunung Lubukraya, aku di bibir pantai Lhok Nga
Kita bertemu di Yogya, di Prambanan kita melangkah berdua
Cinta tak seperti salak, isinya dimakan kulitnya dipijak
Karena aku tahu, kaulah perempuan paling bijak
Maka ambillah untukmu ini sajak.
Palembang, 21 Januari 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H