Mohon tunggu...
Abdul Razak M.H. Pulo
Abdul Razak M.H. Pulo Mohon Tunggu... -

Seorang dokter, kini bertugas di Bener Meriah, Prov. Aceh. Akan menjalani Residen Ilmu Penyakit Dalam di FK Unsri Palembang Juli 2011. Mantan Pengurus Forum Lingkar Pena Aceh, Alumni Sekolah Menulis Do Karim. Anggota Forum Penulis Aceh DIWANA.Cerpen dan Puisi dimuat media lokal dan nasional.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mantra Buaya

16 September 2010   17:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:11 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Alir sungai kian dangkal seiring dangkalnya hati penghuni negeri. Buaya buaya kian mengganas, merampas segala kuasa di pesisir sungai, di negeri yang mulai kelam diamuk panas gelombang daun kering yang menyapu kampung kampung. Akar kayu tak sanggup lagi menampung airmata langit. Menyusup hingga ke relung tubuh yang resah menuai panas gelombang daun serpihan napas. Mantra buaya ada di hatimu. O, turun, turunlah ke sungai ini, hiruplah napas buaya, menari bersamanya dalam air tawar kian dangkal, melumpur digempur dalam gelut kemarau merajalela. Desau napas dalam air liar yang muncrat sembur tepi sungai. Batu batu membeku. Menyempit hingga ke hulu. Menyebar hingga lumpuri seluruh tubuh hangatmu. Ditingkahi wangi cedar di sepanjang alir sungai. Mantra buaya ada di jiwamu. O, terjun, terjunlah ke sungai ini, temukan harta karun di dasarnya. Angkut ke permukaan, lalu selam lagi, angkut lagi. Maka engkau akan merasakan betapa nikmatnya warisan leluhur, yang masih terikat erat dalam untaian gen kita, gen alam kita. Mantra buaya ada di tulangmu. O, selam, selamlah ke sungai ini. Aduklah kayuh hingga ke dasarnya, maka harta karun terpendam akan muncrat keluar, dalam napasmu tertahan: takjub! Kendalikan napasmu, lalu gerakkan tubuhmu ikuti aliran air, raihlah kemenangan, hingga kau sampai di hulu. Maka naikilah bukit itu, berteduh di sana hingga fajar tiba. Pasang kupingmu lekat lekat, bila nyanyian ayam cemani mulai terdengar, kau mesti segera minggat. Bireuen, 2010 Sumber: www.savagewilderness.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun