Mohon tunggu...
Abdul Razak M.H. Pulo
Abdul Razak M.H. Pulo Mohon Tunggu... -

Seorang dokter, kini bertugas di Bener Meriah, Prov. Aceh. Akan menjalani Residen Ilmu Penyakit Dalam di FK Unsri Palembang Juli 2011. Mantan Pengurus Forum Lingkar Pena Aceh, Alumni Sekolah Menulis Do Karim. Anggota Forum Penulis Aceh DIWANA.Cerpen dan Puisi dimuat media lokal dan nasional.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Butuh Kafein

2 Oktober 2010   18:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:46 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kabut malam masih saja membalut tubuh kusut ini. Teringat aku musim musim silam bersama Laila. Kabut tak separah ini. Pohon kopi tenggelam dalam dekapnya yang membentang dari ujung bukit di timur hingga puncak Burni Telong di barat. Sekarat dalam lamuman malam. Sunyi, sangat sepi. Burung burung magrib mengacaukan aura malam yang merambat agak gemulai di sekujur tubuhmu. Muncrat, kau merobek mataku, cincang jantungku, lalu kau lempar ke jurang disambut singa jalang. Letih, kau membuat aku perih, sejuta kekasih kerubuti aku, mengunyah setiap kerat dagingku, engkau menjelma api membakar setiap hutan. Leleh, kau membuat aku mencair, lepas semua lara, mengayuh setiap roda waktu yang lewat: menjauh darimu.

Malam ini sangat dingin. Aku jatuh cinta pada Laila, tak butuh lagi kau: kekasih yang mengutuk hatiku. Aku menelan tubuhku sendiri, kutelan bulat bulat. Menyusut, surut, hanyut dalam api yang membakar otakku. Kutelan bulat bulat seperti lubang hitam menelan sang waktu. Tak usah kau sembur aku dengan kata kata rayu maja, aku telah terjerembab dalam bungkam. Terkapar dalam sunyi, sedu sedan rasa, meronta serupa onta kehabisan cadangan air di malam buta. Pohon pohon kopi telah mati. Racun telah membunuhnya, seperti cara kau membunuhku. Pelan sekali, serupa kanker merayap dalam setiap sel tubuh, bermetastase hingga setiap nukleus sel hatiku.

Aroma kopi menguap, panaskan wajahku. Aku butuh kafein, berton ton. Bawa kemari, semburkan ke dalam sarafku. Aku tak butuh tidur. Tidur membunuh khayalku. Kau, telah meremas remas waktu yang pernah kupersembahkan dengan penuh suka. Waktu seperti kertas surat bagimu, salah kau kemas, kau remas, lalu kau lempar ke dalam tong sampah. Bah, tarian macam apa yang kau sajikan kepadaku. Oh, Laila, aku rindu padamu, di manakah kau? Aku sangat membutuhkanmu, kaulah tempat aku menyandarkan kepalaku, di bahumu. Kau sungguh kekasih yang pahami aku dari ujung kaki hingga ujung rambutku. Laila, kembalilah.

Takengon, 1 Februari 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun