Tempo hari, ramai-ramai warganet mengkritisi pernyataan Prabowo Subianto yang menyatakan tidak masalah memperluas perkebunan Kelapa Sawit. Beliau menekankan deforestasi bukan alasan, menurutnya Kelapa Sawit sama-sama pohon; tidak ada bedanya dengan tumbuhan lain. Dirinya berkelakar; Namanya Kelapa Sawit ya Pohon, ya? Ada daunnya kan?"
Tentu saja tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut. Dari kacamata siswa SMA seperti saya, benar adanya bahwa kelapa sawit itu pohon dan memiliki daun. Tetapi yang menjadi masalah, apakah dirinya menggunakan kacamata puspa dan satwa dalam menyikapi fenomena ini?
Eksistensi Puspa dan Satwa dan Korelasinya dalam Ekosistem
Dalam konteks keberlangsungan ekosistem, puspa dan satwa memiliki keterkaitan erat. Keduanya saling memberikan impak satu sama lain dalam satu ruang komunal. Eksistensi mereka menciptakan ruang hidup harmoni tanpa ada spesies yang menelan pahit status marjinal karena terpinggirkan.
Sebagai contoh keterkaitan itu, adanya sebagian kecil populasi Macaca Fascicularis di tengah Gunung Kapur Cibodas menjadi bukti bagaimana kehidupan puspa dan satwa menjadi bagian yang tak terpisahkan. Spesies yang dikenal sebagai monyet ekor panjang membentuk komunitasnya tersendiri di tengah hiruk-pikuk aktivitas manusia. Fakta ini menimbulkan suatu pertanyaan; bagaimana satwa liar tersebut bisa bertahan di tengah gempuran urban sprawl dari Kota Bogor sebagai bagian dari Aglomerasi Jabodetabek?
Bukit Karsta Cibodas, Sepotong kecil Habitat Satwa di Pinggiran Kota
Sebagai pengantar, Gunung Kapur Cibodas merupakan bukit kapur purba yang berlokasi di Ciampea, Kabupaten Bogor. Bukit ini gagah menjulang dengan tinggi sekitar 385 MDPL. Tidak memenuhi syarat sebagai gunung--tetapi karena terlihat mencolok sehingga demikian masyarakat sekitar memanggilnya.
Secara fisik, tidak ada yang istimewa bagi bukit ini. Seperti bentangan alam karst pada umumnya yang terjal, bebatu dan bewarna putih. Walau permukaannya keras, beberapa jenis tanaman dan bebungaan tumbuh di atasnya. Jika tak salah ingat, dulu pernah membaca sekilas di sini terdapat spesies orchidaceae atau anggrek endemik langka dengan nama genus tjampeana. Tetapi saat saya coba browsing kembali tak menemukan jejaknya sama sekali--entah karena punah atau ternyata peneliti menyadari anggrek ini masih satu genus dengan spesies lain.Â
Tetapi, kode alam dari keterkaitan itu bukan dari tamanan anggrek yang dimaksud. Justru pohon pisang dan bebuahan yang mematahkan argumentasi dari rumusan masalah artikel ini, karena memang erat kaitannya dengan kehidupan monyet ekor panjang yang hidup di sana. Populasi mereka tak kurang dari 500 ekor, dengan kepadatan populasi 2.0 individu per hektar dan diperkirakan terus bertambah. Catatan demografi ini menjadi kabar baik bagi Paguyuban Macaca Fascicularis se-asia tenggara karena populasinya dinilai aman di tengah kekhawatiran IUCN yang mengklasifikasikam mereka sebagai sebagai spesies rentan.
Meskipun populasi mereka dinilai aman, tampaknya habitat mereka menemui kerentanan. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sisi selatan dari Gunung Kapur semakin terjamah oleh peradaban manusia. Pertumbuhan penduduk memaksa wilayah di sekitarnya untuk terbangun, termasuk di sisi timur yang menjadi lokasi Pasar Baru Ciampea. Ditambah, terdapat aktivitas pertambangan kapur yang telah ada sejak era orde baru di sini. Habitat monyet ekor panjang kian menyempit karena berbagai faktor-faktor di atas.
Penyempitan habitat ini berimbas pada perilaku monyet ekor panjang dalam mencari makanan. Padatnya populasi di Gunung Kapur tidak diimbangi dengan ketersediaan makanan alamiah yang mencukupi, sehingga memaksa mereka untuk turun dan mencari makanan di pemukiman warga. Sehingga tak heran, seringkali terjadi kasus kontak antara monyet ekor panjang dengan manusia--yang seringkali meninggalkan kesan tidak baik. Entah itu penyerangan atau pencurian makanan.