Mohon tunggu...
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Anggota Jurnalis Media Pelajar Forum OSIS Jawa Barat

Hanya bocah SMA yang bermimpi menjadi seorang Kuli Tinta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

542 Tahun Hari Jadi Bogor: CDOB Bogor Barat Menanti Realisasi Janji Otonomi

3 Juni 2024   20:03 Diperbarui: 7 Juli 2024   12:40 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unjuk rasa masyarakat Parung Panjang menolak truk tambang yang kerap memakan korban jiwa. (Republika/Putra M. Akbar)

Hari ini, Kabupaten dan Kota Bogor baru saja merayakan hari jadinya yang ke-542. Mengingat pada tanggal 3 Juni 1482 Masehi, Sri Baduga Maharaja dilantik sebagai Raja Sunda yang memerintah di Pakwan Padjajaran. Sebelumnya pusat pemerintahan berada di Kawali, Ciamis. Penobatan sang Prabu Siliwangi III menjadi raja menandai berdirinya cikal bakal wilayah yang kelak akan disebut Bogor tersebut.

Dinamika Pemerintahan

Gustaaf Willem baron van Imhoff, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Wikimedia Commoms)
Gustaaf Willem baron van Imhoff, Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Wikimedia Commoms)

Mengalami pasang surut pemerintahan dan hilangnya catatan tertulis setelah penyerbuan tentara Banten, Pakwan Padjajaran jatuh ke tangan Hindia Belanda. Pada tahun 1745, Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff mendirikan Istana Bogor. Seiring pembangunan Jalan Raya Daendels Jakarta-Bogor, daerah ini semakin berkembang dan dinamai Buitenzorg oleh pemerintah Hindia Belanda.

Di masa kolonial, Bogor dibagi menjadi 5 kewedanaan, diantaranya; Buitenzorg, Tjibaroesa, Cibinong, Parung, dan Leuwiliang. Berlanjut di era Republik Indonesia Serikat pasca-kemerdekaan, sesuai keputusan SK Wali Negara Pasundan; Bogor dibagi menjadi 6 kewedanaan dengan menambah Kewedanaan Jasinga hasil dari pemekaran Kewedanaan Leuwiliang. Serta sebagian Kewedanaan Tjibaroesa memisahkan diri ke Bekasi dan Karawang sehingga hanya menyisakan Jonggol.

Peta Kewedanaan Bogor (Wikimedia); 1)Biru: Jasinga; 2)Merah: Leuwiliang; 3)Oranye: Parung; 4)Kuning: Cibinong; 5)Toska: Buitenzorg; 6)Hijau: Jonggol.
Peta Kewedanaan Bogor (Wikimedia); 1)Biru: Jasinga; 2)Merah: Leuwiliang; 3)Oranye: Parung; 4)Kuning: Cibinong; 5)Toska: Buitenzorg; 6)Hijau: Jonggol.

Seiring restrukturisasi otonomi daerah di Indonesia, kewedanaan dihapuskan dan semua daerah wedana dilebur menjadi Kabupaten Bogor. Namun pada 1974 sesuai UU No. 5 Tahun 1974 Kota Bogor berstatus menjadi Kotamadya Tingkat II sehingga Kabupaten Bogor harus memindahkan pusat pemerintahannya di luar enklave Kota Bogor.

Atas usulan dari berbagai pihak, pada 1975 diusulkan beberapa lokasi yang direncanakan untuk menjadi ibukota baru Kabupaten Bogor. Diantaranya adalah, Kecamatan Semplak, Ciawi, Cibinong dan Leuwiliang. Namun, pemerintah pusat mengajukan Rancamaya sebagai lokasi ibukota. Hal tersebut ditolak karena dianggap terlalu dekat dengan Kota Bogor, sehingga atas desakan Manteri Dalam Negeri saat itu, Amir Machmud, lokasi ibukota ditetapkan di Kemang sebagau titik tengah. Sayangnya usulan itu kembali ditolak di sidang pleno DPRD 1980 sebab ketersediaan lahan di infrastruktur di sana masih sangat minim. Sehingga, pada akhirnya Kelurahan Tengah di Cibinong dipilih sebagai pusat pemerintahan pada 1985 dan peletakan batu pertama diinisiasi oleh Bupati Bogor saat itu, Soedradjat Nataatmadja.

Lahirnya Usulan Calon Daerah Otonomi Baru

Luas Kabupaten Bogor yang mencakup 40 kecamatan, 416 desa, dan 19 kelurahan menyebabkan sulitnya mewujudkan pemerataan pembangunan di daerah ini. Dengan luas wilayah 2.710 km dan 5,4 juta penduduk pada tahun 2023, mendaulat Bumi Tegar Beriman sebagai kabupaten dengan penduduk terpadat di Indonesia sekaligus salah satu kabupaten terluas di Pulau Jawa. Hal inilah yang menjadi keunggulan sekaligus tantangan bagi Pemkab Bogor dalam mengurus wilayahnya.

Jalan Transyogi yang menghubungkan Cibubur dan calon ibukota baru; Jonggol. Urat nadi ekonomi Bogor Timur. (Kompas.com/Hilda B. Alexander)
Jalan Transyogi yang menghubungkan Cibubur dan calon ibukota baru; Jonggol. Urat nadi ekonomi Bogor Timur. (Kompas.com/Hilda B. Alexander)

Lalu, terbitlah berbagai wacana pemekaran Kabupaten Bogor. Desas-desus ini bukan barang baru. Sejak era Orde baru, Kota Baru Jonggol direncakan menjadi calon ibokota Republik Indonesia menggantikan DKI Jakarta. Maka dari itu, gubernur Jawa Barat Yogie Suwardi Memet membangun jalan Transyogi sebagai langkah awal pembangunan. Sebenarnya, Jonggol juga telah mendapat usulan pemekaran pada 1975 saat kajian pemindahan pusat pemerintahan dimulai. Sayang karena masih dianggap mentah, rencana itu menguap begitu saja. Wilayah eks-kewedanaan Tjibaroesa tersebut gagal mendapatkan otonomi, sekaligus rencana pemindahan ibukota juga dibatalkan karena Krisis Moneter.

Bogor Barat: Daerah yang Terlupakan Pemerintah Pusat

Baik Pemkab Kabupaten Bogor di Cibinong maupun Pemerintah Pusat tampaknya melupakan sisi lain dari Kabupaten Bogor. Tak lain tempat tersebut adalah Bogor Barat, wilayah eks-kewedanaan Jasinga, Leuwiliang dan sebagian Parung (Rumpin) yang dibatasi oleh Sungai Cisadane di sebelah timur. Daerah ini memiliki kekayaan alam yang melimpah seperti tambang emas Pongkor, pekapuran Karst Cibodas dan pengelolaan energi Geothermal di Halimun Salak.

Sayang, berbagai kekayaan yang tersedia tidak menjamin infrastruktur di wilayah ini menjadi memadai. Pengerukan sumberdaya alam hanya berujung pada kerusakan semata. Sebut saja Parung Panjang dan Rumpin  di kedua daerah tersebut memiliki tambang pasir yang begitu masif. Truk besar hilir mudik sepanjang waktu, membayar orang-orang dengan kerikil dan debu. Jalan berlubang, rusak dan koyak. Tiap tahun tak kurang lima kasus kecelakaan yang melibatkan kendaraan besar, seperti sebuah event rutinan. Akrab saja warga dengan transformers yang menyapa, lupa mereka begitu dekat dengan maut saat berkendara. Pemkab Bogor tidak memberi tindakan nyata selain memberi jam operasional. Bahkan sekalipun Gubernur Ridwan Kamil mengatakan akan membangun jalur khusus tambang, janji itu tak kunjung tunai hingga akhir masa jabatannya.

Unjuk rasa masyarakat Parung Panjang menolak truk tambang yang kerap memakan korban jiwa. (Republika/Putra M. Akbar)
Unjuk rasa masyarakat Parung Panjang menolak truk tambang yang kerap memakan korban jiwa. (Republika/Putra M. Akbar)

Tak hanya di utara, bagian tengahnya juga tak lebih baik. Dilalui Jalan Nasional 11, jalur ini ramai dilalui pengendara. Bukan sebuah berkah, tapi menjadi petaka. Jangan bayangkan jalan selebar pantura, jalan nasional ini sempit dan hanya mempunyai dua lajur. Praktis sering terjadi kemacetan, entah di Dramaga yang dekat drmgan Kota Bogor atau bahkan ke arah pelosok seperti Cinangneng, Cemplang, Cibatok hingga Leuwiliang. Pertigaan-pertigaan berikut adalah titik macet abadi yang terus eksis sepanjang waktu. Tak mengenal jam sibuk atau mudik, selalu padat sepanjang waktu.

Jalan Nasional rute 11; Mempunyai banyak titik kemacetan, sangat sempit dan menjadi satu-satunya aksesbilitas Dramaga-Jasinga. (Dok. Pribadi)
Jalan Nasional rute 11; Mempunyai banyak titik kemacetan, sangat sempit dan menjadi satu-satunya aksesbilitas Dramaga-Jasinga. (Dok. Pribadi)

Bisa dibilang, umur masyarakat Bogor Barat mayoritas habis di perjalanan sepanjang jalan ini.

Selain lebar jalanan yang sempit, tidak ada jalan alternatif lain di sepanjang jalur tersebut. Apabila terjadi peristiwa insidental seperti kecelakaan atau jalan amblas, neraka tercipta hingga kemacetan mengular, berjam-jam lamanya. Hal inilah yang tidak disadari Pemerintah Kabupaten Bogor, karena mereka terlalu asyik berebut jatah APBD 8 trilyun dan bertindak rasyuah di Cibinong dengan politik dinastinya.

Bagi kawasan aglomerasi Jabodetabek, Bogor Barat adalah daerah pelosok dan tidak strategis. Tidak bernasib sama dengan Transyogi-Cibubur di Bogor Timur, Sentul atau Puncak yang kebanjiran proyek infrastruktur. Jika dibandingkan, bagai langit dan bumi.

Bayangkan saja, Koridor Kandang Roda-Pakansari dan Bojong Gede hingga Sentul di sekitar kantor Pemda dibeautifikasi sedemikian rupa. Jalanan mulus, marka jelas, trotoar nyaman dan lebar, lampu jalan bergaya klasik, jalur sepeda, pepohonan rindamg dan pernak-pernik perkotaan lain selevel garapan developer properti. 

Tetapi Bogor Barat, sepanjang Dramaga hingga Jasinga hanya mengandalkan satu jalan nasional milik pemerintah pusat. Maka jangan berharap ada jalur sepeda atau trotoar, pemerintah daerah saja tidak menghendaki adanya jalan alternatif lain selain jalan nasional yang sempit itu. Tidak ada perkembangan infrastruktur yang signifikan. Jika diibaratkan, Cibinong dan sekitarnya adalah Sudirman Thamrin. Tapi Dramaga ka kulon adalah jalan lintas sumatra, yang apabila dibandingkan lagi; lebih mending lintas Sumatera, sih! Karena, di Bogor Barat bukan hanya hutan sawit yang jadi pemandangan, tapi kesemrawutan tata ruang dan kemacetan juga menjadi makanan sehari-hari.

Kemacetan yang seringkali terjadi di Bogor Barat. (Dokumentasi pribadi)
Kemacetan yang seringkali terjadi di Bogor Barat. (Dokumentasi pribadi)

Pada intinya, Bogor Barat adalah sisi lain dari Kabupaten Bogor. Tidak ada tanda-tanda jika daerah ini kecipratan dampak positif ekonomi dari gemerlapnya DKI Jakarta, atau "Kota Cibinong" itu sendiri. Hal ini sangat kontradiktif mengingat banyak bupati dan tokoh terkemuka di Kabupaten Bogor kebanyak dari Bogor Barat. Sebut saja Rachmat Yasin dan Ade Munawaroh Yasin, atau KH. Sholeh Iskandar yang namanya diabadikan menjadi nama jalan protokol di Kota Bogor. 

Ditambah, sekarang Bakal Calon Bupati Kabupaten Bogor juga berasal dari Bogor Barat, sebut saja mantan Kades Cileuksa; Jaro Ade dan tokoh masyarakat Pamijahan, Ade Wardhana Adhinata. Akankah mereka bisa membangun Bogor Barat lebih masif lagi? Atau sekedera beutifikasi Kantor Pemda seperti Dinasti sebelumnya?

Lagipula, membangun Bogor Barat sebenarnya adalah tanggung jawab besar bagi Pemerintah daerah di Cibinong. Mereka seharusnya tidak lupa, Kecamatan Nanggung yang amat terpencil di ujung barat Kabupaten Bogor pernah menjadi saksi bisu pemerintahan Kabupaten Bogor di masa carut-marut Agresi Militer Belanda. Pada tahun 1948-1949, Bupati Bogor Ipik Gandamana terpaksa memindahkan ibukota ke daerah tersebut untuk menghindari konflik militer. Walaupun tidak lama, tetapi berhasil menyelamatkan Kabupaten Bogor kekuasaan Belanda yang kedua kalinya merengsek kedaulatan RI. 

Ipik Gandamana dan bekas Kantor Darurat Bupati Bogor, kaki Gunung Halimun, Nanggung. (Ministry of Home Affairs Indonesia/Bejo Suparjo - Indotren)
Ipik Gandamana dan bekas Kantor Darurat Bupati Bogor, kaki Gunung Halimun, Nanggung. (Ministry of Home Affairs Indonesia/Bejo Suparjo - Indotren)

Pemekaran Kabupaten Bogor Barat

Wacana pemekaran Kabupaten Bogor sendiri muncul di tahun akhir 1990-an pada masa Eddie Yoso Martadipura. Tetapu karena ketidakstabilan politik, perihal ini ditunda sementara. Walaupun pasca-reformasi diangkat kembali menjadi isu regional, tetapi tidak sampai untuk tahap realisasi di masa bupati Agus Utara Effendi. Hingga Rachmat Yasin dan Nurhayanti wacana ini bagai terkubur di sumur terbengkalai, terlupakan begitu saja di saat banyak kabupaten/kota baru di luar Pulau Jawa bermunculan. Bahkan disalip oleh Kabupaten Pangandaran, yang sekarang maju setelah memisahkan diri dari Ciamis pada 2014.

Sekian lama menguap, isu ini kembali mengembun di saat Ridwan Kamil menjabat sebagai gubernur. Beliau mendorong realisasi pemekaran daerah tingkat II di Jawa Barat karena ingin mempercepat pembangunan daerah. Hal itu bisa dipahami karena berkaca dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang memiliki penduduk lebih sedikit, tetapi malah mendapat porsi APBD yang lebih besar karena memiliki kabupaten/kota yang jauh lebih banyak.

Peta CDOB Bogor Barat. (Youtube/Mahasiswa Geografi)
Peta CDOB Bogor Barat. (Youtube/Mahasiswa Geografi)

Jika rencana ini bisa terealisasi, Kabupaten Bogor Barat akan memiliki luas 1.38,45 km2 atau 44,15% wilayah asli Kabupaten Bogor dengan penduduk 1,63 juta jiwa, yang meliputi 14 kecamatan, diantaranya:

  • Dramaga
  • Tenjolaya
  • Ciampea
  • Cibungbulang
  • Pamijahan
  • Leuwiliang
  • Leuwisadeng
  • Nanggung
  • Sukajaya
  • Cigudeg
  • Jasinga
  • Tenjo
  • Parungpanjang
  • Rumpin

Akademisi dan Pemkab Bogor sendiri telah melakukan kajian untuk memilih lokasi pusat pemerintahan CDOB Bogor Barat. Dianatara keempatbelas kecamatan yang ada, Cigudeg dinilai cocok menjadi ibukota karena dinilai memiliki posisi sentral dan stategis. Wilayahnya secara geografis berada di tengah-tengah dan dilalui Jalan Nasional rute 11. Akan tetapi, beberapa pihak masih memperdebatkan perihal titik rawan bencana di daerah ini. Pasalnya, topografi Cigudeg yang berbukit-bukit menyebabkan daerah ini sangat rawan bencana longsor dan pergerakan tanah. Sehingga, Rumpin dipilih menjadi opsi kedua dan kajian ini akan terus dilakukan hingga pemekaran daerah bisa terwujud.

Ridwan Kamil menandatanangani Surat Persetujua Pemekaran CDOB Bogor Barat, Indramayu Selatan dan Garut Utara. (Humas Jabar via ANTARA)
Ridwan Kamil menandatanangani Surat Persetujua Pemekaran CDOB Bogor Barat, Indramayu Selatan dan Garut Utara. (Humas Jabar via ANTARA)

Terlepas dari itu, tentu saja ini adalah angin segar bagi warga Bogor Barat yang merindukan genjotan pembangunan. Penetapan CDOB Bogor Barat adalah harapan baru untuk membangun wilayah ini lebih intensif lagi. Dengan mengecilnya luas daerah dan jumlah penduduk, konsentrasi pemerintah daerah menjadi kiat terfokus sehingga tidak ada lagi daerah yang tertinggal pembangunannya. Pemerataan pembangunan akan jauh lebih mudah diwujudkan. Selain itu manfsat yang paling dirasakan oleh masyarakat adalah kemudahani warga perbatasan Jasinga, Sukajaya dan sekitarnya untuk tidak jauh-jauh lagi pergi ke Cibinong jika memiliki keperluan administrasi tertentu.

Penantian ini bukan hanya menjadi sebuah hal yang hanya bisa ditunggu, tetapi juga perlu diperjuangkan bersama setiap waktu. Walaupuan Ridwan Kamil mengatakan dokumen dan segala pemberkasan pemekaran sudah sampai di meja Kemendagri, tetapi masih tertahan oleh kebijakan moratorium pemekaran daerah oleh Presiden Jokowi. Maka bagi masyarakat Bogor Barat harus bersabar sedikit lagi agar bisa melihat wacana ini terealisasi di hari jadinya Kabupaten Bogor yang entah keberapa kali.

Kesimpulan

Oleh karena itu, urgensi pemekaran Kabupaten Bogor Barat penting untuk digaungkan kembali. Wilayah yang luas dan penduduk yang padat adalah tantangan besar bagi berjalannya birokrasi di Bumi Tegar Beriman. Maka, perlu dipercepatnya pemekaran daerah di setiap Calon Daerah Otonomi Baru agar pembangunan yang merata bisa diwujudkan, khususnya di Bogor Barat. Semoga dengan hari jadi Bogor yang ke-54 ini, menjadi momentum yang baik bagi seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah terkait untuk merealisasikan pemekaran daerah secepat mungkin sesuai aspirasi yang ada.

Logo Resmi HJB ke-542 Kabupaten Bogor. (Diskominfo Kab. Bogor)
Logo Resmi HJB ke-542 Kabupaten Bogor. (Diskominfo Kab. Bogor)

Selamat HJB ke-542 Bumi Tegar Beriman@ Baswara Kastara Loka, hayu urang babarengan, akur, tur makmur!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun