Paham komunis masuk ke Indonesia melalui seorang tokoh bernama Henk Sneevliet, seorang anggota Sociaal Democratische Arbeidersparttij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial Demokrat. Mulanya Sneevliet bekerja sebagai staf redaksi surat kabar Soerabajaasch Handelsblaad. Pada 1913 ia pindah ke Semarang dan menjadi sekretaris Semarangse Handelsvereniging. Situasi Semarang sangat cocok bagi Sneevliet karena di Semarang terdapat organisasi Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP) atau Persatuan Buruh Kereta Api dan Trem. Pada 9 Mei 1914 Sneevliet bersama J.A. Brandsteder, H.W. Dekker, dan Bergsma mendirikan organisasi baru bernama Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Langkah pertama ISDV untuk menunjukkan eksistesinya adalah menerbitkan majalah Het Vrij Woord. Sneevliet, Bergsma, dan Adolf Baars menjabat sebagai redaktur dalam surat kabar tersebut.
Saat proses pembangunan massa, Sneevliet membawa ISDV bersekutu dengan gerakan yang lebih besar dan dapat bertindak sebagai jembatan kepada rakyat Indonesia. Pada awalnya ISDV bersekutu dengan Partai Insulinde, akan tetapi persekutuan ini hanya berlangsung selama satu tahun. ISDV kemudian berafiliasi dengan Sarekat Islam yang memiliki basis massa cukup besar. Sneevliet menggunakan taktik infiltrasi dengan menjadikan anggota Sarekat Islam sebagai anggota ISDV dan sebaliknya. Dalam waktu satu tahun Sneevliet telah memiliki pengaruh kuat di kalangan anggota Sarekat Islam terutama cabang Semarang. Beberapa aspek penyebab keberhasilan infiltrasi ISDV ke dalam Sarekat Islam sebagai berikut:
- Kekuasaan Central Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat Sarekat Islam masih lemah;
- Koordinasi partai pada masa itu yang memungkinkan seseorang untuk menjadi anggota lebih dari satu partai.
Setelah berhasil melakukan penyusupan ke internalSarekat Islam, Sneevliet memengaruhi beberapa pemimpin muda Sarekat Islam seperti Darsono dan Semaun. Sarekat Islam Semarang pun berhasil dipengaruhi Sneevliet. Sarekat Islam Semarang berhasil mengembangkan anggotanya dari 1.700 orang pada 1916 menjadi 20.000 orang setahun setelahnya. Di bawah pengaruh ISDV, Sarekat Islam Semarang menjadi satu-satunya cabang yang berseberangan Central Sarekat Islam (CSI) yang dipimpin oleh H.O.S Cokroaminoto. Akibat perselisihan ini, pada Oktober 1917 H.O.S. Cokroaminoto memecat Darsono dan Semaun dari Sarekat Islam.
Pada tahun 1918, terjadi penggantian nama dari ISDV menjadi Sociaal Democratische Arbieders Partij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial Demokrat. Perubahan ini menimbulkan perpecahan dalam keanggotaan ISDV. Pada 20 Mei 1920, SDAP berubah nama menjadi Partai Komunis Hindia. Partai Komunis Hindia berhasil menarik simpatisan di Indonesia karena partai ini menjanjikan kebebasan bagi rakyat yang terjajah. Partai Komunis Hindia akhirnya bergabung dalam organisasi Communist International (Comintern) yang merupakan forum dan pusat kegiatan partai komunis dari seluruh dunia.
Hasil Kongres Partai Komunis Hindia pada Desember 1920 menyepakati perubahan nama partai menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI memiliki susunan kepengurusan sebagai berikut:
- Ketua               : Semaun
- Wakil Ketua         : Darsono
- Sekteraris           : Bergsma
- Bendahara          : H.W. Dekker
- Anggota Pengurus  : Adolf Baars, Sugono, dan Tan Malaka
Pada awalnya PKI tidak mendapat dukungan rakyat. Oleh karena itu, PKI melakukan propaganda secara besar-besaran untuk mendapat dukungan rakyat. Dari aksi tersebut, PKI mendapat pengikut dari kaum buruh yang menderita sebagai akibat depresi ekonomi. PKI juga menggerakkan Sarekat Islam Merah yang pada 1924 berganti nama menjadi Sarekat Rakyat. Selain itu, PKI membentuk organisasi dengan nama Barisan Pemuda dan Barisan Wanita.
Posisi PKI semakin kuat setelah Darsono kembali dari Moskow atas perintah Comintern. Kolaborasi Darsono, Semaun, dan Musso (PKI cabang Jakarta) membuat peranan PKI di Indonesia semakin menguat. Dalam melakukan propaganda, PKI sering menggunakan kepercayaan rakyat seperti ramalan Jayabaya dan Ratu Adil. Strategi tersebut dipadukan dengan dakwah-dakwah agama yang dilakukan Haji Misbach dan Kiai Samin. PKI pun meluaskan cabang-cabangnya ke Minangkabau, Ternate, Bali, dan Lombok. PKI kemudian tumbuh menjadi partai politik dengan basis massa yang cukup besar. Akan tetapi, jumlah massa yang cukup besar tidak diimbangi dengan kecakapan pengurus. Akibatnya, aktivitas PKI tidak terkontrol dengan baik dan usaha menanamkan ideologi kepada masyarakat semakin tidak berjalan dengan baik.
ReferensiÂ
M.C. Â Ricklefs. (2009). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
Sartono Kartodirjo. (1992). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.