Selain dari tugas utama sebuah agama, Moeslim menambahkan bahwa tugas agama semestinya harus berani tampil dalam situasi dan kondisi apapun yang terjadi dalam kehidupan manusia. Tampilnya agama bukan hanya bertujuan untuk hal-hal yang bersifat positif, tetapi juga hadir untuk hal-hal yang bersifat negatif. Ini merupakan penegasan, di mana dalam agama Islam harus terdapat mekanisme kritis agama terhadap dinamika zaman yang semakin berkembang secara terus menerus.
Dapat dikatakan hal demikian ini adalah cerminan dari ajaran terkait pentingnya saling mengingatkan dengan cara memberikan kritik yang bertujuan membangun dalam kebenaran. Kritik yang dilakukan bukan untuk menjatuhkan sesuatu yang telah mapan atau sesuatu yang masih proses, melainkan bertujuan untuk menata ulang hal-hal yang dianggap tidak signifikan dengan kehidupan sosial. Bahkan lebih dari itu, yakni tindakan tersebut sesuai dengan fungsi peran kekhalifahan yang diberikan oleh Tuhan kepada umat manusia di dunia ini.
Berdasarkan uraian ini, maka agama Islam harus berani mengambil sikap tegas untuk melakukan pemihakan kepada struktur yang timpang. Agama perlu kembali eksis sesuai dengan fungsinya, yakni memberikan solusi terhadap terjadinya ketimpangan sosial yang disebabkan oleh arus modernisasi. Perubahan menjadi tolak ukur dalam memaknai agama Islam, perubahan dalam artian terkait kemanusiaan. Dalam melakukan perubahan, yang dilakukan adalah mengangkat martabat manusia kembali, di mana hak-haknya telah terampas oleh orang lain.
Dengan demikian, menurut Moeslim teologi diperlukan perumusan kembali berdasarkan realitas struktural, perumusan yang kongkrit terkait kehidupan sehari-hari kelompok masyarakat di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, dibutuhkan adanya ulama-ulama baru dari kalangan sendiri. Bahasanya Moeslim adalah ulama rakyat organik (intellectual organic), istilah yang meminjam dari Antonio Gramsci.
Oleh karena itu, proses antara refleksi teologis dan membaca konstruk sosial yang dijadikan konteks untuk melakukan proses emansipatoris akan berjalan dengan intens. Untuk melakukan perumusan kembali membutuhkan adanya kesadaran refleksi teologis terhadap penilaian konstruksi sosial yang memperdaya masyarakat. Refleksi teologi dan pemikiran kritis dalam membaca kondisi masyarakat menjadi acuan dalam mengimplementasikan teologi transformatif.
Tugas dan fungsi agama dapat meningkatkan peran sentral sebuah agama dalam kehidupan sosial manusia, maka posisi pemikir Islam dengan spirit transformatif juga memiliki posisi yang sentral dalam menemukan kembali makna agama sesuai dengan zamannya. Karena berdasarkan realita, umat Islam belum menemukan hakikat agama Islam yang bersifat hakiki. Melihat fakta yang terjadi, umat Islam masih terkungkung dalam doktrin agama yang mengatakan bahwa agama hanya persoalan individu yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan sosial.
Moeslim melihat adanya suatu gejala, yaitu umat Islam sedang kehilangan idealisme, padahal idealisme pada dasarnya memberikan refrensi ke arah transformasi sosial. Sehingga dengan hal demikian ini menimbulkan kesan seolah-olah kehidupan sebagian umat Islam menggambarkan sikap mendua. Artinya, umat Islam melakukan ritual-ritual keagamaan secara intens, bahkan menjadikan segala ritus agama bersifat romantik. Melakukan ritual keagamaan secara intens bukan berarti dapat membuahkan hasil dengan label kesalehan diri, apalagi dengan sebutan kesalehan sosial.
Kesalehan sosial dapat dilakukan dengan pendekatan transformatif, sebab menekankan terhadap dimensi keadilan dalam proses perubahan sosial, yaitu dengan mengajukan pertanyaaan "perubahan sebenarnya untuk siapa?" Oleh karena itu, pembangunan perlu ditafsirkan sebagai upaya untuk memperkuat kemapuan pribadi manusia. Dalam artian bagaimana umat Islam mengaktualisasikan segala preferensi kebudayaan, seperti tata nilai, yang bertujuan agar masyarakat mampu melaksanakan transformasi dalam kehidupan yang berharkat.
Moeslim menguraikan secara jelas, bahwa teologi Islam transformatif pada hakekatnya adalah Islam yang membuat distingsi dengan modernisasi, sebab menurutnya proses modernisasi berdampak pada manusia yang mengakibatkan acuh terhadap persoalan perubahan sosial. Lebih dari itu, proses modernisasi mempengaruhi manusia untuk melakukan tindakan marginalisasi kepada sesamanya yang tidak memiliki akses dengan pembangunan.
Bagi Moeslim untuk melakukan perubahan dengan konsep teologi transformatif ini memerlukan adanya kerjasama antara para teolog, analisis ilmu sosial dan para tokoh masyarakat untuk menjadi fasilitator. Ketiganya mempunyai peran penting dalam melakukan proses transformasi sosial. Cita-cita teologi transformatif tidak dapat berjalan sendiri, melainkan membutuhkan adanya peran dari mereka untuk memberikan fasilitas dan mendukung agar teologi transformatif dapat berproses dengan signifikan.
Di dalam konsep teologi transformatif yang digagas oleh Moeslim ini menawarkan dasar-dasar yang termuat di dalamnya, diantaranya adalah:
- Pertama, teologi berkaitan dengan visi sosial emansipatorik. Teologi transformatif menekankan pada aspek sosial, bagaimana merefleksikan keimanan kepada Tuhan dengan membaca problem sosial yang tidak stabil. Mengajak untuk membumikan teologi, di mana sebelumnya teologi hanya membahas persoalan vertikal tanpa menelisik urusan-urusan sosial. Oleh karena itu, teologi transformatif membuka alternatif baru, agar teologi tidak hanya melangit, melainkan membumi. Memberikan solusi untuk bersikap kritis terhadap stuktur sosial, sehingga tercipta keadilan sosial.
- Kedua, artikulasi pesan agama dan bukan agama dalam wujudnya yang wadah (pemahaman pasca-konvensional ortodoksi agama). Dasar kedua dalam konsep teologi tansformatif yaitu menggunakan pemahaman baru terkait pesan agama dan pesan yang bukan agama. Dengan penekanan pemahaman seperti ini, memudahkan dalam melakukan perubahan pemahaman terhadap agama.
- Ketiga, model ideal yang dirumuskan berasal dari proses dialog antara teks dan konteks atau super struktur dan realitas. Artinya di dalam melakukan proses transformatif, menggunakan metode yang akurat terkait dialektika antara teks yang bersumber dari al-Qur'an dan realitas kehidupan sosial. Mendialogkan teks dan konteks agar agama Islam berfungsi sesuai dengan hakikatnya, memberikan rahmat kepada seluruh yang ada di alam semesta, termasuk peduli dengan kondisi sosial.
- Keempat, basis otoritasnya bertumpu untuk kepentingan umat, sehingga profesionalisme agama bertujuan hanya sebagai pendampingan. Dasar ini menjelaskan bahwa teologi transformatif menitik beratkan pada kepentingan kehidupan sosial, yang berhubungan dengan segala hal yang dianggap tidak seimbang, baik dalam bidang politik, budaya, dan ekonomi. Adapun peran para teolog dalam teologi transformatif yaitu mendampingi umat, bukan memproduksi doktrin agama yang menuntut umat sebagai konsumennya.
- Kelima, berorientasi pada praksis. Yang dimaksud dengan praksis agama di dalam pembahasan ini berbeda dengan dakwah agama. Kegiatan dakwah orientasinya pada kepentingan membangun simbol-simbol agama yang dilontarkan kepada umat. Sedangkan orientasi praksis dalam teologi transformatif adalah menegakkan nilai-nilai keberagamaan yang bersifat esensial. Oleh karena itu, ortopraksi dan ortodiksi harus dibedakan secara pasti, karena orientasinya berbeda.
- Keenam, berfungsi sebagai instuisi kritis terhadap struktur yang melanggar pesan dari agama Islam, termasuk struktur yang dibangun oleh sosiologi agama. Dengan demikian, pada hakikatnya ijtihad merupakan tindakan yang bertujuan untuk meluruskan setiap bentuk penyimpangan yang berlawanan dengan agama, melawan nilai-nilai kemanusiaan, serta bentuk penghambaan selain kepada Tuhan. Hal ini dapat mengantarkan pada keselamatan umat manusia, adanya penegakan seperti ini membuat semua umat merasa tenang dan aman.