Moeslim Abdurrahman adalah cendekiawan muslim Indonesia yang menggagas pemikiran teologi Islam transformatif. Cendekiawan kelahiran Lamongan, Jawa Timur tanggal 8 Agustus 1948 ini berasal dari keluarga yang masih mengalir darah priyayi, seniman dan kebanyakan keluarganya terdidik dalam lingkungan pesantren. Moeslim menyelesaikan Sekolah Rakyat di Kasugihan, Lamongan pada tahun 1960an, kemudian dilanjutkan dengan mondok di pesantren Raudhatul 'Ilmiyah di Kertosono, Jawa Timur dibawah asuhan Kyai Salim Ahyar. Moeslim adalah seorang yang tekun belajar, ia melanjutkan studinya di Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Muhammadiyah di Surakarta hingga ia terbang meneruskan studi ke University of Illinois, Amerika Serikat tahun 1985. Selama menjadi mahasiswa, Moeslim sering melakukan berbagai penelitian dengan mengaktifkan kembali lembaga penelitian sesuai bidang yang telah ia tempuh selama mengabdi dan menekuni ilmu sosiologi dan keagamaan. Moeslim Abdurrahman meninggal dunia pada Jum'at malam, 6 Juli 2012 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Gagasan Teologi Moeslim Abdurrahman merupakan alternatif dari orientasi paradigma teologi modernisasi dan teologi totalistkc atau yang di sebut dengan islamisasi. Moeslim menjelaskan bahwa, teologi modernisasi bertolak dari isu- isu keterbelakangan, karena menurut teologi modernis hal ini penting untuk di lakukan sebagai upaya liberalisasi adaftif dalam menghadapi kemajuan zaman dapat diimbangi dengan sikap kritis terkait hal- hal negatif dari proses modernisasi. Oleh karena itu, sikap yang di tekan kan adalah fleksibel, terbuka dan dialogis dalam menghadapi pluralitas.
Sedangkan teologi totalistik atau Islami fokus pada topik persoalan normatif yang islami dan tidak islami. Istilah lainnya adalah norma yang asli dan bid'ah. Teologi ini condong pada pendekatan fiqih, sehingga dalam pandangannya hidup di dunia ini bersifat dikotomis, yaitu halal-haram, surga-neraka. Yang ditekanlah oleh teologi ini yang mencita-citakan umat sebagai konsumen teologis, sedangkan para teolog sebagai produsennya.
Dari kedua teolog ini menurut Moeslim tidak memberikan perhatian terhadap kondisi sosial. Dengan demikian Moeslim menggagas teologi transformatif sebagai teologi yang menitikberatkan kepada perubahan secara praksis, dengan tujuan untuk mengatasi problem sosial yang di akibatkan oleh dampak modernisasi. Dampaknya adalah kesenjangan sosial antara penindas, yaitu pemilik modal dan penguasa. Sedangkan yang tertindas adalah kaum mustad'afhin diantaranya para buruh dan kalangan grass root. Menurutnya dalam proses modernisasi, manusia semakin tidak peduli terhadap persoalan perubahan sosial, manusia semakin memarginalkan masyarakat yang tidak mempunyai akses dalam pembangunan.
Didalam proses mengembalikan fungsi aagama terhadap struktur sosial yang timpang ini, membutuhkan upaya transendensi. Yang di maksud dengan transendensi dalam pemikiran Moeslim adalah "proses yang melahirkan kemampuan manusia untuk keluar dari strukturrnya dan melihat struktur kembali melalui iman yang belum di struktrkan secara krisis", dengan demikian transendensi sebagai alat utama untuk merealisasikan fungsi agama secara semestinya dalam struktur sosial.
Moeslim memandang struktur sosial itu yang timpang itu merupakan bagian dari dosa Barat atau modernisasi. Di lihat dari segi praktiknya, modernisasi memunculkan tindakan eksploitasi, yakni sumber-sumber informasi dan ekonomi hanya dapat di akses oleh sekelompok orang elit dengan cara mengontrol sejumlah orang yang memiliki power atau kekuatan dalam bidang tersebut. Bagi orang yang tidak mempunyai power, maka orang tersebut tidak dapat hidup secara selaras bahkan di perlakukan secara tidak adil. Ketidakadilan ini menjadi problem sosial yang mendapat perhatian dari Moeslim, ia mempertanyakan fungsi agama untuk kehidupan sosial.
Moeslim menjelaskan bahwa agama harus berani melakukan otokritik kepada pesan--pesan yang telah disampaikan kepada umat, serta meredefinisi konsep- konsep agama yang selama ini menjadi acuan. Selain itu, agama perlu mengajukan narasi baru yang sifatnya besar. Menurutnya agama tidak hanya persoalan kepedulian sosial dengan memberikan sedekah yang mengacu pada konsep lama, melainkan agama di harapkan memiliki komitmen dalam penegasan ideologi memperjuangkan keadilan sosial dengan cara mekanisme redistribusi sosial.
Tugas-tugas ini harus menjadi tugas utama bagi agama Islam, alasannya adalah terjadinya kemunduran umat Islam berawal dari adanya peristiwa ketidakadilan sosial di dalam masyarakat. Supaya kejadian ironis ini tidak terjadi, maka agama Islam perlu berkonstribusi untuk memberikan solusi kepada manusia dalam menjalani kehidupan sosialnya. Jika agama berperan dalam bidang sosial untuk memperjuangkan keadilan, dapat dimungkinkan umat Islam akan mengalami kemajuan.
Pada dasarnya agama Islam diturunkan ke dunia sebagai petunjuk dengan tujuan membebaskan manusia dari segala hal yang tidak sejalan dengan dasar kemanusiaan. Agama dikatakan berfungsi sesuai dengan hakekatnya ketika agama berperan untuk memihak terhadap kepentingan manusia, serta selalu menjaga dan mengangkat martabat manusia. Moeslim menegaskan bahwa di dalam agama terdapat hal yang berlaku secara universal, yaitu kesamaan derajat manusia, universalitas, dan egalitarian.
Dengan demikian di dalam teologi transformatif yang dibutuhkan adalah pemaknaan ulang terkait makna Islam. Moeslim mengatakan bahwa makna Islam merupakan ruh kemanusiaan sejati yang menuntun pada perubahan, khususnya perubahan dalam hal kemerdekaan, baik dari aspek perorangan atau secara kolektif. Perubahan ini ditujukan untuk mewujudkan keadaban dan peradaban, dengan artian menghidupkan cita-cita kemerdekaan bagi manusia, bebas dan terhormat.