Ali Syariati lahir dari kalangan keluarga terhormat di desa Mazinan, sebuah suburban dari kota Sabzevar, Provinsi Khurasan, Iran pada 24 November 1933. Ayahnya adalah seorang guru dan pendiri markas Nasyr Ar-Haqa'iq al Islamiyah (Pusat Penyebaran Kebenaran-Kebenaran Islam) di Masyhad, Iran bernama Muhammad Taqi Syari'ati. Tidak seperti remaja lain yang menghabiskan waktu dengan bermain, masa remaja Syariati dihabiskan dengan membaca buku di perpustakaan ayahnya dari malam hingga menjelang shubuh. Syariati menempuh pendidikan sarjana di bidang sastra, Universitas Masyhad. Semasa kuliah, beliau aktif dalam organisasi yang menentang pemerintahan Reza Pahlevi, sampai pada tahun 1957 ia dipenjara bersama ayahnya seama sebulan di Qezel Qaleh. Tahun 1958, Ali Syariati menikahi seorang perempuan bernama Pulan-e Syari'at Razavi. Syariati kemudian melanjutkan studi pendidikannya di Universitas Sorbone, Perancis dengan meraih dua gelar doktor di bidang sejarah dan sosiologi. Lalu ia kembali ke Iran dengan sambutan penjara selama enam bulan karena selama hidup di Perancis berserikat dengan kelompok pro kemerdekaan dan penentang Pahlevi. Di Institute Husyaniyah Irsyad, Syariati memberikan ceramah-ceramah hingga lembaga tersebut ditutup pemerintah karena dianggap menjadi sarang demonstran dan pusat pergerakan anti-Pahlevi. Tak sampai disitu, Tahun 1975-1977 Syariati menjadi tahanan rumah dan bulan Mei 1977 ia diasingkan ke Inggris. Sebulan kemudian, tepatnya 10 Juni 1977, Ali Syariati meninggal dunia secara misterius dan dikuburkan di Damaskus, Suriah.
Pemikiran Ali Syariati Tentang Sejarah
Merujuk Al-Qur'an, Ali Syariati berpendapat bahwa sejarah berfungsi sebagai pelajaran (ibrah) untuk diteladani dengan bercermin dari masa lalu. Dalam Al-Qur'an terdapat banyak sajian cerita masa lalu dan sejumlah nama-nama surat Al-Qur'an berkaitan dengan sejarah. Ada beberapa contoh seperti surah al-Anbiya yang adalah kisah-kisah tentang para nabi; surah Ali Imran adalah kisah keluarga teladan; surah Yusuf adalah kisah perjuangan Yusuf dalam kiprahnya menuju menjadi Nabi dan Raja; surah Nuh bercerita tentang dakwah Nabi Nuh; surah Ibrahim bercerita tentang perjuangan Ibrahim dalam menegakkan Tauhid dan perlawanannya terhadap raja Namrud yang tiranik dan otoriter; surah ar-Ruum berbicara tentang masyarakat Romawi; dan surat-surat lainnya.
Dalam pandangan Ali Syariati, sejarah mengandung dua arti. Pertama, sejarah sebagai sebuah fakta atas peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Kedua, sejarah sebagai pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu. Jika yang pertama berkenaan dengan realitas objektif yang terjadi sebagai peristiwa di dalam ruang dan waktu. Seperti perkembangan manusia dari lahir sampai mati, yang di dalamnya terkait dengan berbagai aktivitas yang dijalani selama hidupnya. Hal ini sangat erat kaitannya dengan makna manusia sebagai makhluk hidup yang menciptakan peradaban, kebudayaan, pemikiran agama, dan tradisi-tradisi yang muncul dari setiap bangsa di dunia. Adapun arti sejarah yang kedua berhubungan dengan ilmu sejarah. Ilmu sejarah ini mengungkapkan sekaligus menemukan kaitan antara hukum-hukum dan sebab-musabab yang teradi di dalam berbagai peristiwa dan kejadian yang ada di masa lalu hingga masa sekarang. Adapun objek dari ilmu sejarah menurut Syariati, adalah materi-materi sejarah yang dikaji atau berkaitan dengan proses pencarian sumber yang ditelusuri. Dalam proses pencarian pun tidak menutup kemungkinan meminjam berbagai alat analisis untuk menemukan faktor-faktor, sebab-musabab, hukum-hukum dan kaidah-kaidah sejarah yang dihasilkan dari proses pencairan tersebut. yang berkaitan dengan hakikat di balik peristiwa sejarah ini oleh Syariati disebut Filsafat Sejarah.
Ali Syariati menguraikan filsafat sejarah meliputi konsep perubahan sejarah, dialektika, dan sejarah masa depan. Syariati mengartikan perubahan sejarah sebagai proses terjadinya pergeseran bentuk dan tatanan yang berbeda dengan sebelumnya. Syariati memandang persoalan ini sangat berkaitan dengan bagaimana cara sejarah itu berubah dari satu titik ke titik yang berbeda, atau dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Perubahan-perubahan di dalam sejarah terjadi dikarenakan adanya dialektika dua kutub atau pertentangan yang terjadi di antara dua hal yang antagonis dan kehendak unuk berubah dengan cara berpindah (hijrah) dari satu tempat ke tempat yang lain.
Menurut Syariati, sejarah adalah keberadaan manusia dalam ruang dan waktu, yang dalam aktivitasnya menghasilkan perubahan sejarah. Perubahan ini dalam perjalanan sejarah terbagi dalam dua bentuk yakni:
- Dialektika Dua Kutub
Dialektika Dua Kutub ini disimbolkan dengan Habil dan Qabil sebagai konflik awal peradaban manusia yang berakhir dengan peniadaan pada salah satu kutub, yaitu Habil mewakili kaum yang ditindas. Dalam konteks sosial historis (dengan merujuk pada Al-Qur'an) antara mustadhafin dan mustakbarin. Mustadhafin diwakili para nabi beserta orang-orang yang lemah; yang menentang mustakbarin yang diwakili para raja, tiran, dan bangsawan atau pemerintah yang menindas. Dalam proses dialektika kedua kutub saling meniadakan dan berakhir dengan pemusnahan pada salah satunya. Tidak terjadi sintesis seperti Hegel, tetapi mirip dengan Marx bahwa kaum mustadhafin di masa depan yang akan meraih kemenangan dengan meraih kaum mustakbarin. Dalam setiap peradaban dan zaman, akan selalu ada dialektika yang diwakili dua kutub ini. Al-Qur'an mengisahkan dialektika para nabi (yang berada dalam barisan kaum dhuafa) melawan musuh-musuhnya dari kalangan mustakbarin disimbolkan dengan raja-raja dan kekuatan dominan di masyarakat. Misalnya Nabi Adam a.s. melawan Iblis, Nabi Nuh a.s. melawan kaumnya, Nabi Ibrahim a.s. melawan Namrud, Nabi Musa a.s. melawan Firaun, Nabi Isa a.s. melawan Kaisar Romawi, dan Nabi Muhammad SAW melawam kaum bangsawan Mekkah. Sejarah Islam pasca Rasulullah SAW pun tampak bagaimana 'Ali bin Abu Thalib r.a. berhadapan dengan Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai penguasa Bani Umayyah dan tragedi al-Husain di Karbala, Irak, kala berhadapan dengan kekuatan Bani Umayyah yang menindas. Dari seluruh peristiwa dialektika dua kutub itu tidak berakhir penyatuan (sintesis), tetapi peniadaan pada salah satu kkutub. Syariati percaya dialektika ini berlangsung sampai menjelang kiamat bahwa Imam Mahdi mewakili kutub mustadhafin melawan kutub mustakbarin yang disimbolkan oleh Dajjal dan Yajuj Majuj.
- Migrasi atau Hijrah
Perubahan sejarah terjadi juga dengan kehendak (manusia) yang ingin mengubah kehidupannya melalui perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya; atau dalam makna substansi melepaskan diri dari kebodohan menjadi pintar; dari keunduran menjadi kemajuan, dan lainnya. Menurut Syariati behwa hijrah menjadi faktor kemunculan peradaban umat manusia di seluruh dunia. Syariati menulis: "semuanya, dua puluh peradaban yang kita ketahui secara historis, tidak satu pun yang bukan hasil dari hijrah. Menurut catatan, suatu suku primitif akan menjadi beradab dan akan menciptakan budaya yang lebih tinggi hanya bila ia berpindah dari tempatnya, bila berhijrah dari negeri yang ia tempati. Semua peradaban dunia, dari yang terbaru, yaitu Amerika, sampai yang tertua seperti Sumeria, berdiri karena hijrah. Ini berarti bahwa suku primitive akan tetap primitif bila ia tetap berada di negerinya sendiri. Segera setelah berhijrah, dan mereka menetap di negeri yang baru, ia mencapai apa yang disebut sebagai peradaban".
Pernyataan Syariati bisa dibuktikan dalam sejarah ketika Islam mencapai peradaban yang gemilang sejak abad 6-13 M diawali dengan hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Selanjutnya masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalin R.A. yang melakukan hijrah dari Madinah ke Kufah (Irak) dan Damaskus, Baghdad, Kordoba, Delhi, Kairo dan kota-kota yang pernah menjadi ibukota kerajaan Islam menjadi jejak dari pusat peradaban Islam. Dengan bukti sejarah ini, Syariati percaya bahwa hijrah sebagai cara atau proses dari adanya perubahan sejarah, yang sekaligus bermakna falsafah hidup dan prinsip-prinsip sosial yang ada di dalam masyarakat (umat manusia). Syariati menerangkan bahwa perubahan sejarah terjadi karena ada faktor penggeraknya, yaitu an-nas (masa) atau rakyat yang membuat transfromasi dan perkembangan sejarah. Nabi sebagai orang besar dalam agama tidak menjadi faktor dasar, tetapi Nabi hanya berperan sebagai penyampai risalah, pembawa misi dan pembimbing pada jalan kebenaran dan pelaku perubahannya adalah an-nas. Syariatu merujuk pada ayat;".....bagi mereka adalah apa yang mereka usahakan, dan kamu akan mendapatkan apa yang kamu kerjalan" (QS. Al-Baqarah: 134). Dan ayat;"....sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka" (QS. Ar-Ra'd: 11). Dengan ayat ini, Syariati menjelaskan bahwa ada tanggung jawab sosial dan ada tanggung jawab individu dalam kehidupan masyarakat. Sebab manusia dan masyarakat adalah makhluk hidup yang memiliki kebiasaan untuk berkehendak bebas dalam hidupnya. Dengan kehendak bebas ini mereka dapat membangun sekaligus meramalkan nasibnya yang lebih baik bagi masyarakat maupun individu-individunya. Hal ini pula yang menjadikan kekuasaan dalam membentk atau menentukan nasibnya melalui tokoh-tokoh maupun norma-norma tertentu yang berlaku di dalam masyarakat.
Menurut Syariati bahwa sejarah mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Sebagaimana ditulis oleh Syariati bahwa: "Sejarah akan mempunyai nilai apabila kita menulis sejarah masa yang akan datang. Apabila sejarah tidak menolong kita untuk mengetahui masa depan atau setidaknyaa umat manusia dewasa ini atau umat manusia yang akan muncul nanti, maka sejarah menjadi tidak berarti. Sebab, semua ilmu pengetahuan paling tidak harus bermanfaat untuk membantu dalam memahami umat manusia, kehidupan umat manusia di masa yang akan datang serta umat manusia yang ideal pada saat sekarang dan masa-masa yang datang. Memahami umat manusia di masa lalu haruslah merupakan langkah awal bagi kita untuk memahami diri kita sendiri serta masa depan kita".
Ali Syariati merumuskan konsep sejarah masa depan didasarkan pada dua hal, yakni:
- Bahwa manusia sebagai pelaku sejarah bisa menyongsong masa depan dengan melakukan daya cipta dan kreativitas yang diperlukan hingga tiba masa batas hidup (ajal). Dengan menyiapkan diri dengan berbagai sarana atau bentuk-bentuk pendidikan beserta keterampilan, sehingga bisa diperkirakan kelak (seorang individu manusia akan menjadi apa dan bekerja sebagai apa) hingga akhir hidupnya. Untuk melihat masa depan manusia dalam konteks kolektif (masyarakat) Syariati menyajikan metode segitiga kerucut atau piramida. Yakni melihat kekuatan dominan yang menguasai zaman dari masa ke masa (yang memegang kendali ummah seperti otoritas agama dan ilmuwan, pemerintah, pelaku bisnis yang menguasai perekonomian maupun kekuatan politik); dan melihat kekuatan devian, yang dalam perjalanannya melakukan kritik atau sikap tidak puas dengan kekuatan kaum dominan yang berada di puncak kerucut. Selanjutnya kaum devian ini dalam perkembangannya akan menjadi kekuatan dominan dan memegang otoritas. Perjalanannya berbentuk dialektika yang saling meniadakan dan terus bergulir sampai akhir dari kehidupan dunia (kiamat).
- Bahwa yang dimaksud dengan masa depan adalah Mahdawiyah. Ali Syariati meyakini akhir sejarah berada pada otoritas Imamh Mahdi yang memegang kendali dunia dan mengatur umat manusia sesuai ajaran Ilahi yang bersifat universal; segala bentuk kezaliman akan dimusnahkan dan orang-orang yang besar akan meraih kemenangan di seluruh dunia.