Mohon tunggu...
rayyanauliarohadatulaiss
rayyanauliarohadatulaiss Mohon Tunggu... Relawan - Mhasiswa

saya adalah anak pertama perempuan, yang memiliki hobi membaca, menulis dan menggambar. saya merupakan mahasiswa aktif yag tertarik pada hal hal pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Membongkar Eksploitasi dalam Pemikiran Tradisional.

9 Desember 2024   23:06 Diperbarui: 9 Desember 2024   23:27 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Analisis Feminisme dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari

Novel Entrok merupakan novel pertama Okky Madasari yang berlatarkan tahun 1950- an, novel ini menceritakan bagaimana realitas kehidupan sosial khususnya perempuan pada masa itu, yang masih mengalami ketidakadilan dan ketimpangan gender dalam berbagai aspek kehidupan. Kisah Entrok sendiri bagian dari kisah nyata yang dialami nenek Okky Madasari, menambah kesan realistis bagaimana perempuan pada waktu itu   terjebak dalam eksploitasi kerja dan ketidakadilan gender. Latar kisah   dibangun oleh tokoh bernama Sumarni dan Rahayu, dua generasi   yang hidup dalam hegemoni patriarki. Keduanya merupakan korban pada sistem yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat,   tidak hanya dalam ruang domestik melainkan juga dalam ruang publik.

Sumarni, tokoh utama dalam ceritanya, menjadi patron perlawanan sistem patriarki yang tumbuh subur dalam lingkungan sosialnya. Tantangan yang dihadapi Marni  dalam memenuhi kebutuhan hidup cukup dirasakan melalui pekerjaan berat dengan ketidaksetaraan upah yang didapat. Penggunaan kata " Entrok" Yang berarti BH atau bra menjadi metafora simbolik yang menggambarkan bagaimana perjuangan perempuan untuk mencapai kebutuhan dasar mereka yang tak mudah.

Dalam pandangan Simone de Beauvoir, perempuan tidak dilahirkan sebagai "perempuan," melainkan dijadikan perempuan oleh sistem yang membatasi mereka. Hal ini terlihat jelas dalam kehidupan Marni, yang bekerja keras di pasar hanya untuk diberi upah berupa bahan makanan, sedangkan laki-laki mendapatkan uang. Perempuan pada saat itu di paksa menerima begitu saja status mereka sebagai second seks atau seks kedua. 

Simone de Beauvoir   juga menjelaskan dalam karya monumentalnya, The Second Sex bahwa perempuan seringkali tidak dipandang sebagai individu merdeka, tetapi the other yang lain. Relevansi Sumarni yang hidup dalam masyarakat yang memandang perempuan sebagai pelengkap laki-laki, dengan ruang geraknya dibatasi oleh konstruksi sosial. Patriarki yang terbentuk juga sebab adanya budaya Jawa yang masih kental dengan pendapat, bahwasanya perempuan tidak pantas atau tidak sepatutnya untuk melawan konstruksi yang sudah tercipta sejak lama " Ndak ilok ".Dari situlah budaya patriarki  terus berdaya dan terus menghasilkan ketidakadilan lintas generasi. Lewat kutipan seperti "Nduk, semua itu sudah ada jatahnya..." , menjadi bukti kekuatan  masyarakat  dalam menyuburkan ketidakadilan gender atas nama adat dan tradisi.

Sementara itu Rahayu mewarisi luka patriarki harus terus berjuang melawan konstruksi budaya, Ia harus menghadapi eksploitasi fisik dan emosional saat mencoba menjalankan peran yang seharusnya bisa dijalankan oleh laki-laki.

Novel ini menjadi panggung bagi kritik Simone de Beauvoir terhadap budaya patriarki, yang mengajarkan perempuan untuk tunduk, menerima, dan mengorbankan kebebasan demi tradisi. Dalam narasi Entrok, perempuan yang melawan dianggap membangkang, tetapi dalam konteks feminisme, mereka adalah agen perubahan yang mendobrak rantai patriarki.

Okky Madasari dengan cerdas ingin menyampaikan  kritik terhadap konstruksi budaya yang menjadi masalah utama budaya patriarki kian berdaya. Novel  Entrok ini juga mengingatkan pembaca bahwa perjuangan feminis adalah perjuangan melawan sistem yang menempatkan perempuan di pinggiran, bukan menuntut untuk setara melainkan menuntut keadilan.

Entrok menjadi seruan lantang  yang menantang para patriarki dan misoginis, serta mendukung keadilan gender, dan memerdekakan perempuan dari tradisi dan adat istiadat yang mengekang eksistensialisme perempuan.  Sebagaimana Simone de Beauvoir menegaskan, perempuan harus berani mendefinisikan ulang dirinya di luar konstruksi sosial yang menindas, dan inilah yang diperjuangkan oleh Marni dan Rahayu dalam novel ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun