Mohon tunggu...
Ray Patrick S.
Ray Patrick S. Mohon Tunggu... Freelancer - Undergraduate Student

Writer

Selanjutnya

Tutup

Analisis

MK Resmi Menghapus Presidential Threshold Dan Berakhirnya Privilege Partai Besar

3 Januari 2025   16:23 Diperbarui: 3 Januari 2025   16:23 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. MK sudah mengetuk palu dan resmi menghapus presidential threshold, kendati banyak tantangan dan rintangan yang datang menanti. Foto: Safan 

Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusannya menghapus ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden atau dengan kata lain syarat pada pilpres mendatang. Pada waktu yang sama, MK mengabulkan uji materill atas pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Majelis hakim konstitusi menilai pasal yang mengatur tentang Presidential Threshold (PT) itu bertentangan dengan konstitusi.

MK berpendapat bahwa pasal 222 UU Pemilu tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah (equality before the law), hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sebagaimana yang termaktub di dalam pasal 27 ayat (1), pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI tahun 1945.

Lantas kembali dipertanyakan apa yang dimaksud presidential threshold?

Secara pragmatis, presidential threshold merupakan syarat bagi pencalonan presiden dan wakil presiden. Hal ini diatur pada pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan bahwa pasangan calon (paslon) diusulkan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta pemilu yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau memperoleh 25 persen suara yang sah secara nasional pada pileg DPR sebelumnya. Aturan itu merupakan pasal turunan sebagai bentuk konsekuensi dalam menjalankan amanat konstitusi yakni, pasal 6A ayat (2) yang merupakan hasil dari amandemen ketiga.

Presidential Threshold sebenarnya sudah di terapkan di Indonesia sejak Pilpres tahun 2004. Namun nilai-nilai persentase syaratnya cenderung berubah-ubah dari pemilu saat itu hingga pemilu selanjutnya. Pada pilpres tahun 2004, presidential threshold ditentukan sebesar 15 persen kursi DPR dan 20 Persen perolehan suara sah secara nasional.

Kemudian, syarat yang sama juga berlaku pada pilpres tahun 2014, namun pada pilpres 2019 dan 2024 kembali berubah menjadi 20 persen kursi DPR dan 25 perolehan suara sah secara nasional pada pileg DPR sebelumnya. Kini, pasal 222 UU Pemilu yang mengatur soal presidential threshold telah dinyatakan secara resmi oleh MK sebagai inkonstitusional.

Keputusan MK tentang penghapusan presidential threshold itu termaktub dalam putusan nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dinilai akan membuka keran partisipasi bagi siapapun yang mau mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden, namun di sisi lain, putusan yang bersifat progresif oleh MK juga dinilai akan menimbulkan problematik yang lebih kompleks terutama dalam sistem pilpres mendatang.

Dalam pertimbangannya, MK menilai proses kandidasi calon di pilpres selama ini hanya selalu didominasi oleh partai-partai raksasa. sehingga hal ini berimplikasi pada fenomena yang mereduksi hak konstitusional bagi setiap pemilih untuk memperoleh calon alternatif pemimpin yang mereka butuhkan.

MK juga menilai implementasi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden justru menimbulkan tendensi agar pilpres hanya diikuti oleh dua paslon. padahal, jika kita melakukan refleksi berdasarkan pengalaman masa lalu yang secara langsung memperlihatkan dua paslon akan membuat seluruh elemen masyarakat akan mudah terjebak dalam polarisasi.

Dalam konteks pilpres mendatang, partai-partai besar tidak akan terlalu diandalkan sebagai perahu atau pemegang tiket emas dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. hal ini disebabkan karena semua parpol yang bahkan tak memiliki kursi sama sekali di DPR bisa mengusung calon mereka sendiri. Oleh sebab itu perlu kita amati dinamika catur perpolitikan yang akan kita dengar nantinya melalui pernyataan para pimpinan partai politik terhadap putusan MK yang mengundang reaksi masyarakat sekaligus putusan MK itu memang bersifat open legal policy yang artinya penerapannya tetap harus melalui revisi undang-undang pemilu yang memerlukan konsensus fraksi di parlemen bersama dengan pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun