Charta Politica sebagai salah satu lembaga survey menyatakan bahwa 57,9% warga DKI Jakarta memilih pasangan nomor urut 3 dan 42,1% memilih pasangan nomor urut 2 berdasarkan hasil quickcount. (sumber : http://quickcount.liputan6.com/ )
Secara pribadi, saya mengartikan angka ini dengan kalimat : 57,9% warga DKI Jakarta tidak menghendaki Pak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Bukan dengan kalimat : 57,9% warga DKI Jakarta memilih Pak Anies menjadi Gubernur DKI Jakarta (coba dicerna dengan baik bahwa ini adalah 2 pernyataan yang serupa tapi berbeda). Dengan alasan isu SARA, isu minoritas-mayoritas, isu penistaan agama, atau isu ketidakpuasan terhadap kinerja Pak Ahok (mungkin gak ya?), saya rasa lebih tepat menyatakan 57,9% warga tidak menghendaki Pak Ahok ketimbang 57,9% memilih Pak Anies.
Coba saja tanya apa alasan pemilih Anies, saya yakin mayoritas menjawab dengan alasan kafir, alasan mulut kasar, dan alasan-alasan lain kejelekan Ahok. Jika memiliki alasan karena kehebatan Anies, paling-paling kehebatan kata-kata santun ala Anies, yang notabene adalah menyindir Ahok yang kurang pandai merangkai kalimat santun. Atau jangan-jangan pemilih Anies adalah pendukung Prabowo, yang mana Prabowo adalah lawan politik Jokowi, dan Jokowi adalah pasangan Ahok sebelum ia menjadi Presiden dan mengalahkan Prabowo.
Tapi yasudah, sebagai pendukung pasangan yang kalah kita haruslah berbesar hati. Inilah fakta, inilah realita, inilah hasil dari setiap pemilihan, dari setiap pemungutan suara, dan dari setiap hasil diskusi. Dari pemilihan RT, pemilihan Bupati, pemilihan Presiden, bahkan pemilihan ketua kelas pun pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Perbedaan pendapat itu sah-sah saja selama terjadi dalam proses diskusi atau proses musyawarah. Perbedaan pendapat itu justru harus hadir dalam setiap proses berdemokrasi, namun satu hal yang harus diingat, kita harus mencapai mufakat dan bisa menghargai keputusan akhir.
“Perbedaan pendapat selama berdiskusi itu wajib, namun bersatu menjalankan keputusan akhir adalah kunci utamanya.”
Indonesia dipandang dunia sebagai salah satu negara yang berhasil menjalankan proses demokrasi dengan baik. Namun rasanya ada satu kesalahan pemahaman demokrasi yang mendasar di Indonesia. Seharusnya :
“Demokrasi adalah kebebasan memilih yang baik dan yang benar, bukan kebebasan memilih seorang sosok.”
Kita seringkali terlalu fanatik terhadap satu dua tokoh, misalnya dalam hal ini ada sebagian pendukung fanatik Anies maupun fanatik Ahok. Salah satu sumber bahkan mengatakan bahwa hasil pemilu DKI Jakarta putaran pertama menggambarkan seberapa besar suara loyalis SBY, seberapa besar suara pendukung Prabowo, dan seberapa besar suara penggemar Megawati+Jokowi+Ahok. Setuju? Ini tentu sikap yang tidak benar, ketika hal ini dilakukan maka kita akan menganggap apapun yang dilakukan jagoan kita itu benar.
Tentu ini salah dan inilah salah satu penyebab munculnya faham radikalisme. Tompi bahkan dalam kesempatannya di televisi dengan lantang menyatakan bahwa ia bukan mendukung Ahok secara individu, namun ia mendukung sosok yang bisa bekerja dengan benar untuk mewujudkan mimpi masyarakat. Inilah sikap yang seharusnya kita contoh, menilai kebenaran dan kebaikan bukan fanatik terhadap sosok.
Tapi yasudah, kini bukan saatnya kita mencari kejelekan Pak Anies dan meratapi kekalahan jagoan kita. Kini saatnya kita berikan selamat dan berikan dukungan untuk pasangan Anies-Sandi dan kita kawal supaya apa yang disampaikan selama masa kampanye terealisasi dan tidak sebatas pada janji manis. (manis bukan Anies loh ya). Semoga Pak Anies bisa tetap menjaga kebersihan sungai kita, bisa menjaga transparansi rapat dengan mengunggahnya di Youtube, bisa menyapa warga setiap pagi sebelum bekerja, bisa mempertahankan layanan terpadu satu pintu yang nyaman, cepat, bersih, yang tidak ada alasan tutup istirahat makan siang.
Intinya, bisa tetap menjalankan dan mengadopsi kelebihan Pak Ahok dan jangan lupa dikasih plus-plusnya. Saya tentu tidak sabar bisa menjadi wirausahawan muda dengan dukungan modal dari OKE OCE dan melihat 200.000 pengusaha baru dalam lima tahun. Bayangkan 200.000 pengusaha : (365hari x 5tahun) = 109 pengusaha baru/hari. Luar biasa kan? Bayangkan setiap hari akan ada 109 pengusaha baru dan tentu saya sangat ingin dan berharap bisa menjadi bagian dari gerakan OKE OCE ini. Tentu juga saya sangat berharap bisa mendapatkan rumah dengan DP 0 rupiah (tolong di Jakarta ya Pak Anies..). Dan tentunya saya sangat menunggu ketegasan Pak Anies untuk berani memberhentikan pejabat-pejabat korup dan bukan sekedar BERANI MEMBERHENTIKAN GUBERNURNYA saja.