Mohon tunggu...
Rayn Kuki
Rayn Kuki Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Addicted into: Music//Rain//Sweet things//Pleasure | Mahasiswa Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Take It Away, Let It Flow!

21 Juli 2014   17:32 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:45 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Actually, cerpen ini udah bertahun-tahun jadi draft yang nggak terjamah mata. Aku kirim juga belum dimuat sih. Jadi daripada mengendap, aku sundulin ke atas aja. Haha

Delta murka bercampur kesal. Ketika pulang dari SMA yang tadi ia datangi bersama omnya untuk mendaftar. Sial. Dia tak bisa mendaftar di SMA itu. Kata petugas admin, yang luar provinsi sudah ditutup jauh hari yang lalu. Delta melongos di atas sepeda motor omnya yang melaju kencang di Jalan Taman Siswa. Ini pasti gara-gara surat keterangan lulus gue telat! Huh! Lebay deh sekolah gue, kutuknya dalam hati. Delta baru saja pindah dari Kendal ke Jogja. Hey! Pasti kalian nggak tau kan, Kendal? Iyalah. Sedikit terisolir sih, ups! Nggak. Mungkin karena kota itu kecil dan … yeah, nggak terlalu terkenal. Secara geografis, kota itu terletak di utara Pulau Jawa. Sebelahnya Semarang, Ibukota Jawa Tengah. Makanya, setiap kali ditanya orang, “kamu emang pindahan dari mana?” Delta selalu menjawab, “dari Semarang” dan jarang sekali ia menjawab, “dari Kendal”. Ya daripada orangnya nggak tau, terus Delta malah jadi guru geografi dadakan yang nggak dibayar, mending jawab Semarang aja kan?.

Motornya berhenti dikantor tempat Omnya bekerja. “Kamu pulang naik Trans Jogja aja ya?” Kata Omnya sambil memberi beberapa lembar uang sepuluh ribuan. Heloooooooo? Om! Aku baru sebulan disini yaaaa? Belum hafal jalur Trans Jogja, masa iya sekarang harus naik bus sempit itu? Kalo diculik gimana dong? Nanti dunia bisa menangis menjerit-jerit, batin Delta. “Tapi Om, aku nggak hafal jalurnya” Delta mencoba memelas. “Kamu kan bisa nanya Del,” Omnya tak peduli. “iya deh” Delta melengos. Kali ini lengosannya keraaaaaaaaaaas banget. Sampai-sampai motor diparkiran ikut goyang seperti diterpa topan. “Om ada rapat, udah ya hati-hati” Delta menyalami tangan Omnya, kemudian manusia yang mengantar Delta itu pun melesat jauh ke dalam gedung yang menjulang gagah disepanjang Jalan Kusumanegara.

Delta hanya meratapi nasibnya yang amat sangat tragis(nggak juga sih, mungkin ini yang kedua kalinya setelah ia pernah merubuhkan etalase di supermarket). Ia berjalan gontai menyusuri trotoar menuju shelter Trans Jogja. Petugas shelter menanyakan tujuannya. “Mau kemana Dik?” kata petugas itu ramah. “Eerrr … anu,” Delta gelagapan mengingat-ingat alamat rumah Omnya. Sial! Kenapa gue bisa lupa sih? Gue juga nggak nanya tadi. Mimpi buruk apa ini?! Delta meracau nggak jelas di shelter. “APMD” dengan susah payah akhirnya Delta bisa mengucap. “Oya, Adik naik jalur 4B nanti. Tunggu disina ya” Petugas itu meminta Delta untuk membayar seharga tiga ribu rupiah dan memberikan sebuah kartu gesek untuk membuka pintu shelter. Untung petugasnya masih muda. Kalau udah tua, yaiks! Delta nggak bakal datang dan menunggu di shelter bulukan itu. Ia duduk dipinggiran shelter sambil menikmati angin sepoi yang berayun lembut membelah Jalan Kusumanegara. Tet! Tet! “Jalur 4B…” Petugas shelter berteriak kepada para penumpang yang menunggu. Delta langsung bergegas dan menapakan kaki ke dalam bus itu.

***

Seminggu lagi liburannya benar-benar berakhir. Dan buruknya, ia sudah tak memakai celana pendek indigo kesukaanya. Alangkah mengerikan! Ia sekolah di pinggiran, karena tak tau lagi harus mendaftar dimana? Alasannya, SMA se-Kota Yogya semua hampir sama, tak bisa menerimanya, yeah. Cukup satu alasan. Karena telat daftar. Alangkah mengerikan! Berarti ia akan sekolah disekolahan yang muridnya sebagian preman pasar. Alangkah mengerikan! Ia nggak bisa ketemu sama gengnya dulu. Dan sangaaaaaaaaaaaaat mengerikan! Ia akan bersekolah disekolahan yang diibaratkannya seperti rumah tahanan!

Dinar : Hey, mowning darl.

Me : Mowning, udah bangun lo?

Dinar: yuhuuuuuu, hari pertama gitu

Me: aaaah, iye, MOS nih. Lo siap?

Dinar : Siap!!! Wbu?

Me: Siap laaa,*may be iyuh

Dinar : haha, don’t sad. Not really bad

Me: Elo kan enaaaaaaak! Gueee? ><

Delta menjerit histeris merobek selembar catatan hariannya. Suaranya menggema di dinding kamar tidurnya, hingga lampu gantungnya bergetar dahsyat—mungkin yang menyebabkan gempa dulu itu dia?

“Ih! Nyebelin! Gue pengen pindah! Pindah!” ia meracau bak dikejar hantu Sundel Bolong. Akhirnya ia tertidur.

***

PING!!! Ada suara yang khas dari ponsel keluaran Kanada itu. Yap, ada satu chatt masuk. Dilihatnya. Dinarlaksitani.

****

“Heh kamu!” Suara seorang wanita terdengar dari belakang. Delta hanya celingukan dan memasukan ponselnya ke saku. “Ya? Ada apa kak?”. “Kamu baca nggak sih peraturan yang ada di buku panduan MOS?” katanya berkoar. Dih, buku apa? Panduan MOS? Lebih jelasnya sih ya, emmm … buku apa ya? Jelek ah yang pasti. Katanya dalam hati. “Eh iya maaf  kak, selamat pagi kak” Delta membungkukkan badan layaknya orang Jepang dan menyalami satu-satu kakak kelas yang ada digerbang. Kira-kira pagi itu pukul setengah enam, para panitia MOS mewajibkan siswa untuk datang lebih pagi. Ada lima orang yang berjaga di depan pintu gerbang sekolah, atau menyamar jadi satpam? Ada satu kakak kelas cewek, yang bisa dibilang “Ih Wow”. Bukan karena gadgetnya yang super mahal, ataupun dia yang kelihatan fashion- minded atau body-shape(aku nggak ngerti artinya, tapi temen-temenku bilang itu bagian dari B7, yah pokoknya gaul gela deh).Tapi itu hlo, aduh. Ya ampun. Badanya kayak Lady Gaga yang gagal suntik silikon. Gendut baaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaanget. Delta terkekeh sendiri melihatnya.

Upacara pembukaan MOS dimulai. Sekitar setengah jam sih. “Aduh, Nek. Panas banget.” Gerutu seorang cewek yang dari tadi sibuk mengibaskan tangannya ke muka. “Ssssst… kalo mau adem, lo upacara sono di Tennis Indoor Senayan.” celetuk seorang yang ada disamping Delta. “Sial! Gue diketawain sebelah lo tuh.” Kata gadis itu sambil menunjuk ke arah Delta. Cowok itu menoleh dan memicingkan matanya karena efek sinar matahari pagi. “Hey, gue Damon. Lu siapa?” kata Damon sambil mengulurkan tangannya. “Delta.”

***

Pembagian kelas dilakukan Jumat kemarin. Dan ia mendapatkan kelas X-C. Setelah kakak kelas mengatur sedemikian rupa, ia pun duduk. Dia berada di tengah. Diantara Leny dan Arya. Delta mencoba berbasa-basi sedikit sih, walaupun itu bukan keahliannya. “Eh, elo dari SMP mana?” Tanya Damon. “Kendal Mon, kamu?” Damon menjawab,“Global Islamic Del, by the way … Kendal itu mana yah?”. Sudah kuduga, selalu saja seperti itu. BERAPA SIH, NILAI GEOGRAFI LO? Ia ingin berteriak. “Semarang tau?” Jawab Delta sambil memamerkan senyum manisnya itu. “Owalah, Semarang tho? Kok ndak bilang dari tadi aja.” Delta memutar bola matanya seakan berkata “tolol”. “Kamu dari Jakarta ya?” Tanyanya kemudian. See?  Kayaknya basa-basi itu memang harus pakai pertanyaan retoris deh.

“Iye, orang Jakarte ni!” Sambil menepuka dadanya, layaknya King Kong. So? Gue juga orang Kendaaaal ni … so what?

”Kamu kenapa sekolah disini Mon? Kenapa nggak di kota aja?”

“Pengennya sih gitu, disini tuh anaknya culun deh, nggak gaul gitu….” Hadeh, ni anak ya … norak apa alay ya? Wah kayak elo dong, hampir saja ia berucap demikian. Delta hanya tertawa kecil.

”Dek! Ntar ada Tatib ya! Kalian harus siap. Udah pada dibawa kan barang-barangnya? Iya kan Dek?” Kata Jartini yang menjadi wali kelas selama Masa Orientasi Siswa. Tatib? Baru denger ya? Aku juga. Malah ada yang bilang tatib makanan apa ya?

”Duduk siap, grak!” Kata Ridhan spontan. ”Errr ... udah datang ya?” Timpal Yona kemudian dilanjut Jartini yang mengomandani, ”siapin Dhan!” Sambil berlari sipat kuping memegang kerudungnya. ”Duduk siap graaa ...” Dier! Dier! Eh eh, salah. Duk! Duk! Duk! Suara pintu digedor-gedor sedemikian rupa. Jantung Delta berdegub kencang sekali.

”Kami Tatib! Pemeriksaan! Wali kelas ... K-E-L-U-A-R!”. Jeglieeeeeeeeeeeer! (berlebihan ya?). Pintu terbuka, segerombol anak-anak yang lebih tua dari kami masuk dan menghajar seisi kelas. Seperti layaknya Dementor di film ”Harry Potter”. Tapi yang ini tanpa sihir, terus tanpa jubahnya yang baru nemu dari mulung.  ”Pandangan lurus!” Teriak seorang cowok yang hitam, tinggi, jelek, matanya melotot dan, euh. Nafasnya bau!

Mereka membongkar seisi tas dengan paksa. Yah, bisa dibayangin dong? Reaksi para juniornya? Mungkin ada yang lupa, bawa pakaian dalam emaknya, terus dipergokin deh. ”Ouh, ada yang bawa make up nih kaaaaak!” kata seorang cowok yang matanya sipit. Lantas, woy! Cewek gendut tadi pagi! Menghampiri seseorang yang ada dipojokan. Sebentar Delta melirik dengan mata kelinci. Wajahnya tertunduk kebawah, suara gemeretuk giginya sangat jelas terdengar. ”O! Mau jadi artis ya!” kata si gendut yang berkacak pinggang bak model. ”Errr, enggak kak” katanya. Heh, ndut! Lo tuh udah gendut,bego lagi! Ya jelas gue sekolah mau jadi Pelajar lah, masa jadi Artis? Mikiiiir! Dong, mikiiiir! Rutuk teman Delta dalam hati. ”Enggak kak, saya disini mau jadi pelajar. Bukannya Artis” katanya datar.

”Oh! Gitu ya! Bisa kamu jelaskan asal make up ini?” Si Gendut tetap membentak. Anak itu mendongakkan wajahnya keatas dan menatap tajam Si Gendut. ”Gue, nggak tau. Kayaknya tadi malem, Mama lupa ngambil make upnya. Semalem gue jemput Mama di bandara, beliau baru pulang dari Amrik. Kira-kira nyampai sini sih, jam delapan malem. Yang dirumah cuma ada aku. Papa lagi seminar di Jakarta. Yeah, jadi mungkin aku lupa kalau ditas ada make up Mama.” Katanya panjang lebar. Itu membuat anggota Tatib terlongo-longo. Buseeeeeet dah! Anak gaul coy! Batin Delta dalam hati. ”Namamu siapa? Lagian, ndak sopan banget sih bilang lu gue, lu gue. Ini Jogjaaaa yaaaaa!” Si Gendut berkoar-koar di depan muka cewek itu. Klotak! Suara kuahnya yang menghantam meja. Eeeeeee, buset dah. Liurnye aje kaya batu.

”Maaf kak, kebiasaan sih. Di Jakarta biasa aja deh, oh ya.. ini kan Bantul kak, bukan Jogja”.  ”Heh!” si Gendut seperti kehabisan kata untuk membalas kata-katanya. ”Nama kamu siapa?”. Sambungnya kemudian. ”Radhisya Terechiana Andatu, kak. Panggil aja Icha” Kata Icha mantap. ”Yowes” jawab si Gendut yang diketahui bernama Bimol. Bimoliana Dasanah.

***

MOS berlalu dengan penuh ketegangan dan kontroversionalnya. Tetap saja bagi Delta sekolahnya tak selalu menyenangkan. Hatinya selalu membanding-bandingkan. Kota lebih baik, lebih gaul, anak-anaknya keren. Bla ... bla ... bla ... itu membuatnya semakin membenci sekolah, terutama kelas dan teman-temannya. Memang sih, ia punya teman di kelasnya. Ada Jovanka, yang baik diawalnya. Tapi ternyata dia cowok yang suka ngomongin orang. Euh! Cewek banget. Tapi tak apalah. Masih ada Stelfy yang senantiasa menemaninya pulang. Tapi tetap saja ia tak nyaman dengan sekolahnya. Kangen sahabat-sahabtnya dulu ... kangen, kangen ... ia selalu menangis tiap malam. Tiap hari, tiap bulan. Hingga semester satu hampir usai. Prestasinya juga merosot, karena diotaknya penuh dengan tekanan. Yah, itu yang membuat belajarnya terganggu total. Hingga ulangan umum semester satu datang. Dan hasilnya, ia remidi tujuh mata pelajaran. Yah, Tante dan Omnya sudah pasrah mungkin, sedih melihatnya begini terus. Mamahnya uring-uringan memberi nasihat ngalor-ngidul. Tapi tetap saja ia seperti itu. Sahabat-sahabatnya senantiasa memberi dukungan. Mungkin itu yang membuatnya sedikit lebih baik.

***

Ujian semester 1 berakhir. Tinggal menunggu pembagian rapor. Ia sudah pasrah untuk ranking kelas. Paling juga sepuluh keatas. Tapi, pernah nggak? Kalian berfikir paling dapat pacar biasa eh, malah dikasih artis. Nah, ia kaget setengah mati ketika ternyata ia mendapat ranking delapan. D-E-L-A-P-A-N ! Wuih! Nggak disangka, dan nggak dibayangkan! Tapi, walau begitu. Nilainya tetap pas-pasan. Tapi, tak apalah. Biar Om sama Tante juga Mama-Papa seneng deh! Batinnya.

***

Studio 21 ramai. Yap, mungkin karena ini liburan kali ya?. ”Heh, mau nonton apa nih?” senggol Stelfy. ”Errr? ... apa yah? Bingung. Narnia aja ya? Bagus deh kayaknya” kata Delta. ”Yah, apapun itu deh.” Sambil mengangkat bahu Stelfy menuju ticket box. ”Nih, Studio 5. Emm.... masi seperempat jam lagi kok. Gue mau beli Popcorn sama Orange dulu deh.” Kata Stelfy berkoar-koar. Akhirnya mereka menuju beverage dan membeli beberapa snack ringan.

***

”Dahsyat efeknya!” pekik Stelfy yang membayangkan Edmund menusuk ular itu dengan pedangnya. ”Haha, makanya. Gue nggak salah pilih kan?” Puji Delta pada dirinya sendiri. ”Iya, iya ... eh. Laper nih. Maem yuk? KFC? Apa McD? Apa ...”. ”YOGYA CHICKEN!” Jawab mereka serempak. Taksi mereka melaju merayap melewati Jalan Solo yang padat. Tiiiiiiiiiiiiiiiin! Tiiiiin! Suara klakson mobil beradu diantara teriknya Matahari siang itu. Melebur menjadi satu antara amarah dan keputus asaan para pengemudi(kecuali kalau mereka menirukan adegan pada film Drive Angry, haha. Pasti kotanya hancur deh). Akhirnya mereka sampai dibelakang Empires. Makan Jogchick. Masyarakat Jogja biasa menyingkatnya demikian. Setelah membayar taksi, mereka menuju kedalam. ”Paket A satu Mbak, pahanya diganti ati ampela ya. Sama Jus Alpukatnya satu.” Stelfy menyebutkan pesanannya. ”Silahkan, terima kasih.” Kata petugas kasir itu. Mereka duduk didekat pintu masuk. ”Slurrrrrrrrrrrrrrrp....”Tak tahan dengan panasnya siang ini, Stelfy segera menyeruput Alpukatnya dengan sensasional(Duelnya JuPe sama DePe saja kalah). Membuat beberapa pengunjung mencoba mencari sumber suara, dan menemukan Delta. Ia pun menutupi prasangka dengan mengarahkan bola matanya ke Stelfy seolah berkata ”Itu, temen gue bo.” Astaga.

Setelah murka di Jogja Chicken, mereka berjalan beriringan melewati Jalan Urip Sumoharjo. Mereka berjalan layaknya Dora dan Boots(eh, nggak juga sih. Yang jelas girang banget). Mata Delta menangkap pemandangan yang membuatnya behenti meloncat dan berjalan datar. Delta tercengang melihat seorang anak. Kira-kira sih, seumurannya. Duduk dipelataran sebuah toko, sambil menenteng kotak semir. Kemudian dia berjalan, mendekatinya. Hatinya iba. Memelas. Yah, begitulah. ”Mau semir Mas?” tawar anak itu. Delta menjabat tangannya,”eerrr ... boleh nggak sekalian aku wawancarain? Hehe. Buat majalah sekolah. Gimana?” Katanya pelan. ”Emm, boleh kok Mas. Eh, nanti jadi terkenal ndak?” Kata anak itu polos. ”pasti, ya kan Stel?” kata Delta sambil menoleh kearah Stelfy. Stelfy hanya mengangkat bahu. Setengah jam Delta berbincang-bincang dengan anak itu. Stelfy bertugas mencatat. Namanya Diko. Umurnya lima belas tahun. Ia tinggal didekat Kali Code. Nggak punya keluarga, maksutnya ayah dan ibunya meninggal. Ia punya adik tiga. Dan harus menghidupinya. Hanya adik nomor tiganya yang masih sekolah. Setiap hari ia menjajakan jasanya untuk menyemir sepatu, dari Mall Ambarukmo hingga Tugu. ada sejuta harapan yang terpendam dalam dirinya, matanya berkaca. Sesekali ia menitihkan air penuh harap. Delta dan Stelfy terkagum-kagum melihat semangatnya itu. Delta lebih bisa melihat sirat matanya yang penuh tekad dan kekuatan untuk hari esok. Setelah berjabat tangan, mereka meninggalkan Diko. Melambaikan tangan dan menghilang ketika Taksi datang.

***

Yang penting kita harus pandai bersyukur Mas, apapun keadaannya. Toh mungkin ada yang jauh lebih sial dan menderita daripada kita.” Kata-kata itu masi terngiang ditelinga Delta. Ahh, ia ingat. Ingat. Ingat dirinya yang lebih beruntung ketimbang Diko. Ia lebih beruntung bisa merasakan jadi anak sekolah. Walau sekolah itu nonstandar. Tapi setidaknya ia sekolah kan? Err ... Yah, SMAku nggak terlalu buruk juga sih? Air matanya perlahan menitih. Betapa memalukannya dirinya. Dia sudah menyianyiakan apa yang sudah ia miliki. Ia sombong. Spontan ia menghapus air matanya. Tak perlu lagi kutangisi sekolahku. Toh, disini aku akan menuntut ilmu. Bukan untuk ajang pamer keelite-an ataupun prestise. Haha, sama dengan lagunya Bondan. Ketika mimpimu, yang begitu indah. Tak pernah terwujud ... ya sudahlah. Kalo menurut gue sih, ya gimana yah? Kalo emang hidup ini nggak sama seperti yang kita pengen, yaaah.... jalani aja deh semuanya penuh syukur, ikhlas, Let it flow! And taraaaa ... everythings gonna be okay. Hey! Sepertinya sekarang aku siap mengahadapi hari esok! Serunya dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun