Mohon tunggu...
Rayn Kuki
Rayn Kuki Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Addicted into: Music//Rain//Sweet things//Pleasure | Mahasiswa Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ray dan Hujan

21 Juli 2014   17:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:43 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Halo fiksiana, ini cerita perdanaku :) hehe. Please follow, comments. Your comments are very important form me :) thanks.

Hujan masih menyisakan tangisnya di luar sana. Airnya meluruh melewati kaca Trans Jogja yang sedang melaju di atas jalanan sekitar Kotabaru. Jam swiss army semi mature yang melintang di tangan Ray, menunjukkan pukul lima sore. Langit mendung menggelap. Sambil earphone yang terpasang dari smartphone Blackberry keluaran Mexico itu, Ray mencoba rileks dalam duduknya. Sweater abu-abu, kemeja putih bermotif, celana jins ketat dan sepatu kanvas Converse yang high-top member perbedaan yang jelas kepada remaja itu terhadap penumpang lain.

Sepulang dari kuliah, memang sangat melelahkan, apalagi jika sore, Trans Jogja penuh dan ada sebagian penumpang yang mau tak mau harus berdiri berjejal, berdesakan.

Beep… beep… beep…. Ponsel Ray bergetar, dia tersentak dari nyawanya yang hamper saja berkelana.

“Halo?”

“Iya. Ray sedang di jalan kok.Udah mau nyampe rumah sakit.”

“iya. Bye”

Ray menutup pembicaraannya dan memasukan ponselnya kesaku kemeja. Pandangannya ia lemparkan ke langit yang warnanya kelam. Trans Jogja berhenti di depan rumah sakit di tengah Kota Jogja. Ray turun dari shelter, langsung membuka paying berwarna biru lebar. Hujan hingga maghrib masih mengguyur Jogja. Beberapa orang terlihat berteduh di warung depan rumah sakit, sekedar minum kopi dan menghangatkan diri. Ray berjalan menyusuri lorong-lorong yang dingin dan sunyi. Melewati kamar demi kamar yang membaringkan jasad-jasad yang rapuh, yang entah nantinya akan tetap hidup atau terbang kepadaNya.

Ray membuka bangsal yang ada di pojok ruangan.  Nicolous-X3, nama bangsal itu. Seorang wanita setengah baya, berambut pendek dan memakai blus merah tengah berdiri sambil merapikan sesuatu. Memasukkan beberapa barang di tas.Dan menoleh kearah Ray.

“Mom…” Ray mendekati wanita itu dan memeluknya. Setelah itu pelukan terlepas, dan ibunya mengatakan perpisahan.

“Kamu ini, lama banget Sayang. Mom pulang dulu yah, adekmu sakit kata Mbah, maaf ya Mom nggak bisa lama-lama. Kamu telfon Mom yah kalo ada apa-apa…. Udah ya Ray.”

“Trans Jogja ngadat, Iya Mom. Mom naik pesawat kan? Salam buat Ryn dan Mbah ya Mom.” Ray mencium kening mamanya dan memeluknya sekali lagi. Mamanya menciumnya, dan berjalan ke arah pintu sambil melambaikan tangannya untuk yang terakhir. Sekarang Ray sendirian berdiri di depan ranjang seseorang yang terbaring lemah di hadapannya.

Ayahnya. Sudah sebulan ini masuk rumah sakit, dan seminggu ini ayahnya mengalami koma. Mata Ray selalu berkaca-kaca setiap melihat kondisi ayahnya yang rapuh.

“Ayah kedinginan?” Suaranya terdengar parau. Ia mencoba untuk memanggil ayahnya. Agar bangun dan bisa mengobrol dengannya. Ruangan sepi, hanya ada dia dan ayahnya. Mungkin juga malaikat maut yang bersiap mencabut nyawa ayahnya.

Ray ingat, dulu pernah ketika Ray sakit, Ayahnya, Mommy dan Ryn adiknya ada di sebelah Ray. Sekedar berbicara, bercanda dan tertawa tapi itu bersama-sama. Jadi, semacam obat yang benar-benar tanpa efek samping dan mutakhir. Tapi, setelah dunia kecilnya hancur berantakan, semua yang ia bayangkan, nggak bisa sejalan dengan realitanya.

Ah!!! Ray menepis semua kerinduan yang bergelayut manja di memori masa lalunya. Air matanya kini mengalir. Bersama derai hujan yang sedari tadi belum juga usai. Atau mungkin takkan pernah usai?

~~

Pagi yang dingin. Ray mungkin akan bangun siang jika tidak mendengar suara gaduh yang dari tadi berkumpul di ruangannya.

“Mas Ray….” Mata Ray terbuka sedikit. Mencoba mencerna semua ini.

“Eh, iya Sus? Ada apa ya?....” Dia melihat ke arah ranjang ayahnya, “ayah kemana ya Sus?” tanyanya lagi.

Suster duduk di sebelah Ray, mengusap pundak Ray pelan.

“Ayah tadi kritis mas Ray, beliau anfal….” Mata Ray terbelalak lebar.

“Lalu sekarang bagaimana Sus!!!!!???”Ray menggenggam tangan suster erat.

“Beliau tadi langsung di larikan keruang ICU, mas……….” Ray melesat keluar, berlari melampaui angin yang bertiup. Hanya dua kalimat yang dibiarkan menggantung di pikirannya. ICU, ayah selamat. Beberapa orang melihatnya aneh, dia terus berlari melewati beberapa lorong yang sangat panjang, yang sepertinya, ujungnya nyaris tak ada.

“Dok!” Dokter yang berdiri di depan pintu masuk ruang ICU menoleh. Ray tiba-tiba bisa membaca wajah yang dokter itu munculkan. Air mata Ray tak dapat di bendung, sang dokter memeluk Ray dan terus mengucapkan kalimat-kalimat yang berisi mantra-mantra penenang. Namun Ray tak yakin, jika posisinya diubah, sang dokter pasti sudah meracau galau luar biasa. Dan pagi itu, menjadi sebuah memori luka yang akan Ray catat selamanya.

~~

Gerimis menjadi simfoni yang mengantar ayahnya pulang menemuiNya. Beberapa orang sudah pergi, setelah jasad ayah Ray, berselimut tanah merah yang menggunduk. Bau bunga kamboja yang khas, menambah kesan mistik yang membuat siapa saja bergidik. Keluarga Ray berada di mobil, di luar pemakaman. Menunggui Ray, juga Ryn yang terlihat menarik-ulur ingusnya yang terus meleleh. Tangisnya terus terdengar, menderu bersama gerimis yang terus turun.

“Ryn…. Sudahlah, Ayah baik-baik saja sayang.” Ray mengusap pundak adiknya lembut, kemudian mendekap tubuh adiknya. Mencoba tegar, namun hatinya juga sendu.

“Semua orang akan pergi Ryn nantinya….”

“Maka, kamu harus benar-benar bisa menikmati dan menghidupi jiwamu di dunia…”

“Ayah akan baik-baik sajakan Mas?”

“Iyah….”

“Kamu berdoa saja buat beliau…” Ryn mengangguk pelan.

Ada kekecewaan yang tak dapat ia bendung, karena ia jarang bertemu dengan ayahnya. Ray bangkit sambil menggamit lengan Ryn. Kemudian menabur bunga dan meletakkan seikat krisan di atas nisan ayahnya. Dan mereka berjalan, semakin menjauh dari pemakaman itu. Masuk ke dalam mobil dan melaju, menemui masa dimana ia harus tumbuh sebagai laki-laki dewasa. Meskipun gerimis mencoba menghalangi langkahnya, namun ia berpikir, mencoba untuk menari di bawah gerimis tersebut. Dan hari itu akan menjadi sebuah memori. Karena hidup terus melaju berputar seperti siklus. Terkadang basah karena hujan, atau kering karena kemarau.

Yang terkadang menyakitkan, tapi indah pada saatnya. Ray masih menikmati kesedihannya. Gerimis tadi menjadi hujan, tidak lebat. Namun cukup membuat jalanan terendam, berkubang. Sepertinya hujan mengerti sekali keadaannya, apa karena hujan menemaninya lahir?

Mobil Ray terus berjalan membelah Jogjakarta yang basah, lampu-lampu jalanan yang berwarna oranye menjadi buram karena titik-titik air yang menempel di kaca. Membuat suasana menjadi bertambah pilu. Matanya sembab, karena dia sedari terus menangis. Tapi sepertinya dia sudah lelah menangis, dan dia mulai tertidur. Berharap bermimpi bertemu ayahnya, dan memeluknya untuk yang terakhir kalinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun