Mohon tunggu...
Brilian Eby Raynangge
Brilian Eby Raynangge Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pemimpi paruh waktu, penikmat seni dan teh, florist

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum 2013 dan Hal-hal Lucu Lainnya

19 Desember 2014   01:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:00 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Yooo... akhir-akhir ini, semua pada ramai membicarakan penyetopan kurikulum 2013 atau yang sering disebut K-13. Di berbagai media cetak, televisi, atau mungkin radio juga (karena tak pernah mendengarkan radio jadi saya tak tau) tapi sepertinya memang begitu. Ada pro dan kontra terkait keputusan Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan yang menyetop pelaksanaan K-13 ini. Tapi entah kenapa rasanya dasar perut saya jadi panas ketika membaca pemberitaan beberapa media terkait masalah K-13 ini. Saya akan sedikit membahas beberapa poin pemberitaan yang kurang relevan entah itu kurangnya informasi atau memang sengaja dipelintir dengan tambahan beberapa informasi yang saya ketahui dan sedikit pendapat pribadi saya mengenai hal ini.

Di Jawa Pos tanggal 9 Desember 2014 pada kolom jati diri di halaman empat. "Jelas membingungkan, jelas membuat nelangsa. Banting setir mendikbud Anies Baswedan untuk menyetop kurikulum 2013 (K-13) mulai menimbulkan kegentaran, ongkos besar untuk membeli buku-buku baru. Anak-anak, yang tak ikut diajak bicara, harus menanggung berubahnya "politik pendidikan" tersebut.

saya yakin pemberitaan yang serupa juga banyak dimuat di media lain, tapi karena yang saya baca itu ya jadi itu saja yang saya cantumkan.

pertama, adalah masalah ongkos besar yang digunakan untuk membeli buku-buku baru. Pak Anies sudah pernah dengan jelas menyatakan mengenai penyetopan K-13 ini karena K-13 dinilai belum siap dilaksanakan. "Kurikulum 2013 baik, tapi masalah utama ada pada implementasi yang terburu-buru". Ujar pak Anies dalam wawancara dengan majalah Tempo. Nah, masalah buku yang telah terlanjur dicetak, semua pada ribut mengenai kerugian yang sekian trilyun. Bukannya tidak terjadi apa-apa dengan buku tersebut? Buku juga tidak ditarik dari sekolahan, cukup disimpan dan setelah selesai melatih para guru, buku bisa dipakai lagi. Masalah kontrak dengan penerbit juga tidak dibatalkan bukan? Pak Anies menambahkan "Agak menyesatkan kalau membicarakan kebijakan baru dan kontrak dibatalkan". Nah, masalah pelatihan guru akan saya bahas dalam poin tersendiri nanti.

Kedua, adalah adanya kalimat "Anak-anak yang tidak ikut diajak bicara". Oke saya bertanya, apakah dalam proses penyusunan K-13 anak-anak juga pernah diajak bicara sebelumnya? (Jawabannya akan muncul di poin ketiga nanti). Atau apakah kementrian sebelum dipimpin Anies pernah mengajak anak-anak bocara dalam membuat kebijakan yang terkait sebelumnya? saya rasa tidak pernah dan justru baru pak Anies yang datang langsung ke sekolah-sekolah meninjau pelaksanaan K-13 dan membicarakan dengan siswa langsung mengenai bagaimana dan apa yang sebenarnya anak-anak inginkan. Dan kegiatan pak Anies ini dilakukan sebelum dia mengeluarkan kebijakan penyetopan K-13. Silahkan googling untuk mencari berita terkait, saya rasa sudah banyak media yang memberitakannya, apalagi televisi.

Ketiga, dalam pemberitaan koran tersebut disebutkan pula "Bahkan menteri secerdas Anies Baswedan harus memoratorium K-13 dengan "melupakan" bahwa dia ikut menyusun K-13!". Yakin pak Anies ikut menyusun K-13? Udah salah dalam memberitakan, nulisnya pakai tanda petik pula. Mungkin yang nulis lelah dan kurang piknik. Pak Anies memang pernah diundang sebagai narasumber untuk dimintai pendapat terkait penyusunan K-13. Namun, ketika pendapatnya berbeda, Anies tak pernah diundang lagi. Nah, yang menarik adalah pendapat pak Anies yang berbeda ini. Waktu menjadi narasumber pak Anies bertanya "Pernahkan bapak-bapak satu minggu ada di sekolah dan memperhatikan mereka? dan pertanyaan pak Anies ini dianggap tak relevan, sehingga pak Anies mengubah pertanyaannya menjadi, "Pernahkan bapak-bapak sehari di sekolah? Dan mereka menjawab tidak pernah. (Jawaban untuk pertanyaan poin kedua nih). "Bagaimana mau menyusun sebuah kurikulum untuk anak-anak jika Anda tak pernah ada disana untuk anak-anak?". Dan Pak Anies tak pernah diundang lagi, sekian.

Keempat, disebutkan pula di paragraf keempat, "Kini semua buku menjadi fosil". Nah, mengenai ini seperti poin pertama tadi sudah cukup menjawab mengenai buku. Buku disimpan menunggu kesiapan implementasi K-13 terkait kompetensi guru dan persiapan lainnya.

Kelima, di Jawa Pos tanggal 16 Desember 2014, di rubrik opini, ada tulisan yang mengangkat topik K-13 pula, dan disana dengan tegas menuliskan nilai rata-rata hasil pelatihan guru mengenai K-13 yang lebih tinggi daripada nilai pelatihan guru di kurikulum 2006, yang secara tak langsung menyatakan, guru lebih paham dan lebih mengerti mengenai kurikulum 2013. Oke, memang dengan hasil pelatihan seperti itu dapat diketahui telah ada guru yang ahli, setidaknya paham, ah mengertilah, tapi ingat itu hanya statistik. Kita mau mengejar statistik atau perubahan? Toh pelatihan yang dilakukan juga bersifat administratif, bagaimana menulis laporan yang benar, nggeh nopo nggeh? Pendidikan adalah interaksi antara pendidik dan peserta didik, kurikulum hanyalah alat untuk menstrukturkan interaksi tersebut, sehingga tujuan pendidikan bisa tercapai. Jadi yang perlu dilatih bukan hanya guru tapi seluruh ekosistem sekolah. Whole School Training. Itulah mengapa beberapa sekolah yang telah terlanjur lama melaksanakan K-13 (kalau tidak salah 3 semester) tetap menggunakan K-13. Sekolah-sekolah ini akan dijadikan percontohan nantinya.

Secara unum permasalahan K-13 adalah ketidaksiapan dan implementasinya yang terburu-buru. Contoh lain adalah evaluasi yang menggunakan sistem elektronik saja softwarenya baru selesai beberapa minggu yang lalu, kenapa dipaksakan untuk dijalankan sekarang kalau sarana dan prasarana belum disiapkan?

Sekian semoga bermanfaat dan mencerahkan bagi yang lelah dan kurang piknik. Saya memang mengagumi pak Anies, tapi saya memilih menjadi seorang realistis, idealis yang bebas. Saya tetap nyinyir ketika saya rasa pak Anies salah atau bertindak kurang tepat (walau itu menurut saya pribadi). Saya juga sering nyinyirin pak Anies ketika dia jadi timsesnya jokowi dulu, tapi disini lebih mengenai pemberitaan media yang agaknya kurang valid dan kurangnya telaah lebih jauh. Tentu saja setiap kebijakan yang dbuat tak akan menyenangkan setiap orang, tapi kalau tak suka kritiklah dengan tepat dan kritis, jangan asal nulis, itu kan media nasional, yang membaca juga dari berbagai kalangan, berita yang terlalu dipelintir juga bisa menyesatkan publik, media kan pembentuk opini publik, semua tau itu. kecuali ibuku.

Dan satu lagi, perubahan itu butuh proses, butuh waktu, kalaupun konsisten mungkin Indonesia baru akan merasakan dampak kebijakan ini 7 atau 8 tahun lagi. Kalau mau yang instan ya bikin saja mie instan, saya rasa yang rasa rendang lebih enak. Jadi kalian dulu yang mengusung pemerintahan sekarang juga harus siap mengkritisi pemerintahan sekarang bila dirasa setiap kebijakan tak menguntungkan rakyat. Jangan malah takut dibilang menjilat ludah sendiri, atau apalah. Itu kalau kalian mau menjadi seorang yang bebas, seorang intelektual yang bebas. Jadilah seorang yang bebas, tentunya bebas dan bertanggungjawab.

sumber : Jawa Pos tgl 9 dan 16 Desember 2014, aniesbaswedan.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun