Di suatu siang, saya dikejutkan dengan sebuah permintaan teman yang akan menikah. Permintaan ini bukan permintaan biasa karena yang akan dinikahinya adalah seorang Warga Negara Asing (WNA), alias hubungan beda negara.
Yang membuat saya bingung, adalah permintaan itu untuk membantu bagaimana cara menikahi sang pujaan hati dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Maklum, saya ordinary people yang tidak pernah bersentuhan dengan isu semacam itu.
Beruntung saya mempunyai teman-teman baik yang menikahi bule. Setelah memilih satu nama, saya langsung menelepon dan menanyakan apa saja syarat-syarat menikah dengan WNA.
Bukan jawaban yang saya terima, tapi malah pertanyaan yang menohok, ”Emang siapa yang mau kawin? Lu, mau kawin lagi?” diiringi tawa bahagia di atas penderitaan orang lain.
Lalu teman saya yang baik hati itu melanjutkan obrolan dengan memberi berbagai macam persyaratan lainnya. Saking banyaknya, pembicaraan langsung saya potong, “Lu, WA aja ya, cuy!”
Lanjutnya kemudian adalah hal yang menarik dan jangan sampai terlewatkan oleh para perempuan, sebuah perjanjian. Perjanjian itu bernama Prenuptial Agreement atau Perjanjian Pranikah.
Perjanjian ini bermanfaat terkait harta yang dimiliki selama pernikahan hingga perceraian. Teman saya berbagi kisahnya untuk mewarisi harta yang dimilikinya untuk sang anak.
Pilihan tersebut dia ambil agar harta dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi masa depan pendidikan dan modal hidup anaknya. Karena dia belajar dari sebuah kasus, harta pihak perempuan dihabiskan oleh suami dan anak menjadi terlantar.
Belum lagi pengalaman lain yang merugikan pihak perempuan saat perceraian karena sebagian besar hartanya terkuras akibat adanya ketentuan dalam perjanjian yang membagi dua kekayaan bersama bila terjadi perceraian.
Walaupun di sisi lain, ibu yang sudah memiliki 2 anak itu memperingatkan bahwa perjanjian semacam ini masih tergolong tabu untuk dibicarakan karena pertimbangan latar agama, sosial dan budaya.