Mohon tunggu...
Raymond J Kusnadi
Raymond J Kusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis adalah sebuah keberanian

http://www.unite-indonesia.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Tenganan Pegringsingan, Masyarakat Tanpa Kelas

28 Juni 2010   19:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:13 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_180040" align="alignleft" width="168" caption="Kain Gringsing di pinggang "][/caption] “Bila dahulu kita dijajah dengan bedil, sekarang otak kita dijajah globalisasi!” Kata-kata itu terlontar dari ucapan Pak Sadra ketika saya ekowisata ke Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Desa Adat Tenganan Pegringsingan terletak di Karangasem, Bali. Berjarak sekitar tiga jam dari ibukota Bali, Denpasar. Dalam perjalanan menyusuri pantai, anda akan disuguhkan oleh jalan berbelok, kanan dan kiri. Jalan meliuk-liuk ini bukan karena sedang melintasi daerah perbukitan, tapi karena di sepanjang jalan sedang ada proyek pengaspalan jalan raya. Cukup membuat bosan dan butuh kesabaran karena membuat perjalanan menjadi lama. Kain Gringsing Desa ini terkenal dengan kain bernama Gringsing yang harganya selangit. Proses pewarnaannya yang memakan waktu bertahun-tahun, melambungkan harga kain itu sendiri. Terdapat tiga warna yang dominan dalam setiap helai kainnya: merah, kuning atau putih dan hitam. Warna merah didapat dari kulit akar mengkudu, kuning dari kemiri dan hitam dari sejenis semak. Gringsing berasal dari kata gring yang berarti sakit dan sing yang artinya tidak. Kain ini mempunyai makna yang terkait dengan unsur-unsur yang terkandung di alam semesta. Warna kuning melambangkan unsur udara. Warna merah mewakili unsur api. Warna hitam berarti air. Bila ketiga unsur alam ini ada salah satu yang terganggu maka tubuh manusia akan sakit. Ini artinya manusia tidak terlepas dari alam di sekitarnya. Bila tidak dijaga dan sampai rusak, alam akan hancur seiring dengan manusia yang tinggal di dalamnya. Menolak Retribusi Ketika masanya Tenganan Pegringsingan menjadi daya tarik wisata, Pemerintah Daerah Karangasem tiba-tiba memungut restribusi dan memasang papan pengumuman di pintu masuk desa adat. Pungutan liar di jaman Orde Barunya Soeharto itu kemudian langsung ditolak karena tanpa seijin masyarakat sebagai pemilik tanah dan lokasi wisata. Karcis yang sedianya diberlakukan untuk pengunjung kemudian disobek-sobek dan papan pengumuman dicopot dari tempatnya. Ketika waktunya tiba saat setoran retribusi ke pemda, kepala desa mendapat surat untuk segera mengirimkan hasil penjualan karcis untuk kas daerah. Suratpun dibalas dengan surat yang menyatakan bahwa masyarakat tidak bisa menerima kebijakan sepihak seperti itu. Tak puas dengan jawaban surat, akhirnya pemda memanggil kepala desa ke kota. Di sana, pemda menanyakan kembali soal retribusi tersebut. Pertanyaan demi pertanyaan dijawab dengan sederhana. Penerapan karcis kepada setiap pengunjung ditolak oleh masyarakat karena sejak dahulu memang tidak pernah ada pungutan bagi wisatawan. Lalu soal retribusi yang katanya berdasarka peraturan daerah, dijawab dengan pertanyaan, “Apa yang sudah pemda taruh di desa?” Kehabisan akal, pemda menyatakan bahwa persoalan ini akan dibahas dalam rapat yang akan datang. Hingga saat ini, rapat itu tidak pernah ada karena gigihnya penolakan masyarakat atas intervensi pemerintah yang hanya memikirkan soal uang. Masyarakat Tanpa Kelas Masyarakat desa mempunyai kebudayaan yang berbeda dengan budaya masyarakat Bali pada umumnya. Arti perayaan Nyepi bagi mereka adalah tidak menimbulkan suara yang gaduh. Maknanya adalah untuk mengingatkan mereka akan keheningan sebagai waktu untuk berefleksi diri. Seperti hari biasa, mereka tetap menjalankan kegiatan di saat Nyepi: memasak, menenun Gringsing, berjualan, berkebun. Keragaman budaya ini justru dihormati oleh masyarakat Bali yang sedang menjalankan Nyepi di luar desa adat. Ini adalah bentuk toleransi masyarakat Bali dalam mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika di kepulauan Nusantara dalam keseharian mereka. Keunikan desa ini adalah tidak mengenal istilah kasta alias masyarakat tanpa kelas. Nenek moyang mereka menganut kepercayaan Dewa Indra yang dipengaruhi oleh Majapahit dan Hindu. Setiap jengkal tanah di desa ini adalah tanah milik desa, mulai dari pemukiman, hutan, kebun dan sawah. Status kepemilikan tanah adalah milik bersama, komunal. Kepemilikan pribadi dilarang di desa ini. Semua lahan yang ada digunakan untuk kepentingan bersama dan dikelola masyarakat. Masyarakat hidup dalam suasana egaliter. Rumah sudah disediakan bagi para pasangan yang baru saja menikah. Mereka diberi tenggat tiga bulan untuk hidup mandiri dan lepas dari orang tuanya. Kemudian mereka memilih lahan untuk dibangun rumah dengan memberitahukan ke kepala desa. Saat itu juga lahan pilihan mereka secara sah sudah menjadi sebuah tempat tinggal keluarga baru di desa adat. Kebun dan lahan yang ada diolah bersama dengan pembagian 1:1 antara pemilik pohon atau kebun dengan pihak yang merawatnya. Keserakahan yang merusak hubungan sosial sangat ditentang dengan adanya aturan bagi hasil seperti ini. Hasil dari pohon, misalkan buah, tidak dengan sendirinya menjadi hak si pemilik pohon. Namun yang dapat menikmati buah tersebut adalah orang yang menunggui buah saat jatuh di bawah pohon itu. Aturan ini bermakna untuk mengingatkan pemilik pohon agar berbagi dengan orang yang membutuhkan, bukan semata dinikmati sendiri. Kearifan Lokal Tentang pola kepemilikan atas tanah seperti inilah yang membuat desa adat tidak tergerus oleh tangan-tangan luar. Privatisasi oleh orang asing menjadi sesuatu yang haram di dalam desa adat. Kerusakan alam akibat eksploitasi alam yang mengakibatkan bencana, terhindar dengan adanya kearifan lokal. Di desa adat ini, hutan tidak bisa dijual kepada korporasi yang selama ini telah terbukti menggundulkan hutan dan mengeruk tanah ratusan meter dalamnya, seperti yang dilakukan Freeport. Tanah masyarakat desa adat tidak bisa ditenggelamkan akibat kesalahan penambangan seperti yang terjadi pada kasus lumpur Lapindo yang berlarut-larut hingga kini. Bencana “alam” yang sesungguhnya ditimbulkan oleh tangan manusia sendiri, semestinya dapat dihindari bila manusia mau berkaca dari alam. Adalah tepat bila Gandhi pernah berujar bahwa bumi ini cukup untuk menghidupi manusia yang tinggal di dalamnya, tapi bukan untuk keserakahan satu manusia. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanahkan bahwa bumi, air, tanah dan kekayaan alam digunakan sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Seorang Belanda menulis dalam bukunya bahwa Desa Adat Tenganan Pegringsingan adalah sebuah republik yang memiliki aturan sendiri dalam mengelola alamnya. Sangat miris bila kita menyadari bahwa orang luarlah yang justru menggali kearifan lokal bagi kita yang sesungguhnya ada di dalam diri kita sendiri! (raymond, unite-indonesia.blogspot.com) Foto: YSIK Tulisan lainnya: Sepatu Lionel Messi di Kaki Buruh Pabrik Adidas Blikkiesdorp, Kamp Relokasi Korban Piala Dunia Afsel Jabulani dan Tangan-tangan Mungil Buruh Anak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun