Mohon tunggu...
Rayla Wijaya
Rayla Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

belajar menulis tentang manusia dan lingkungannya...

Selanjutnya

Tutup

Money

Kekayaan Intelektual Bagi Karya Tradisional

19 September 2010   06:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:08 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Ketika ke pulau Lombok, saya beserta keluarga menyempatkan diri untuk pergi ke sentra kerajinan gerabah di banyumulek. Mengagumkan, menarik dan menyegarkan, begitu kira-kira ungkapan yang tepat untuk menggambarkan aneka ragam kerajinan dan produk bernuasa tradisional itu. Tidak dipungkiri, masyarakat Indonesia sangat kreatif. Hal itu harus menjadi kesadaran bersama bagi kita, terutama jika dikaitkan dengan upaya untuk memupuk kesadaran berbangsa. Begitu banyak hasil karya dan kreatifitas, tarian, lagu, musik, karya seni dan kerajinan serta bentuk karya lain yang dapat menjadi kebanggan bersama. Namun sayang, terdapat ironi dan nuansa kontradiktif dalam hal ini. Disatu sisi karya yang dihasilkan oleh masyarakat atau individu tersebut diakui memiliki nilai seni, unik dan memiliki nilai ekonomis. Namun disisi lain, ternyata para penghasil karya seni atau pengrajin, masih tetap dalam kondisi ekonomi yang cukup memprihatinkan. Artinya hasil karya mereka belum dapat meningkatkan taraf kesejahteraan hidup secara signifikan. Jika dibandingkan dengan praktek yang berlaku di negara lain, eropa atau amerika misalnya, kondisinya jauh berbeda. Di negara-negara ini, karya intelektual mendapatkan  perhatian besar dari masyarakat dan pemerintah. Hal ini diwujudkan dengan penegakan dan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), baik berupa hak cipta, paten, desain industri dan lain sebagainya. Mungkin kurang tepat, apabila kita membandingkan hal ini. Karena aspek budaya harus diakui memiliki peran cukup penting. Dari aspek budaya, Indonesia dengan sifat komunal atau sosial yang tinggi mengusung nilai-nilai toleransi, permisif, sehingga seseorang dapat dengan mudah memanfaatkan dan memproduksi karya intelektual milik orang lain tanpa memandang nilai-nilai materi. Tidak jarang suatu karya intelektual, seperti kerajinan yang dibuat di suatu desa, kemudian menyebar dengan pesat di daerah itu. Sedangkan di negara-negara barat, umumnya berlatar belakang individualistik dan materialistik. Kedudukan dan nilai individu lebih ditonjolkan, serta segala sesuatu dinilai dengan materi. Wajar saja jika mereka juga begitu peduli dan gigih memperjuangkan hak-hak intelektual dan nilai ekonomis yang didapatkan dari karya mereka. Beranjak dari kondisi yang terkesan kontradiktif di atas, perlu diambil langkah yang tepat untuk menjembatani upaya penegakan dan perlindungan hukum HKI. Khususnya terkait kepentingan ekonomis pencipta/pengrajin karya seni dan budaya disatu pihak, dengan upaya untuk menggerakkan ekonomi masyarakat di sekitarnya di pihak lain. Sehingga kehadiran HKI tidak dianggap sebagai sekadar proteksi atas karya intelektual semata, namun juga ikut berperan dalam meningkatkan roda perekonomian masyarakat secara luas. Pemerintah dalam hal ini tentu saja harus menerapkan kebijakan yang adil dan bijaksana. Peraturan perundangan mengenai HKI mencantumkan tentang adanya lisensi (izin pemanfaatan dari pencipta atau pemegang hak) terhadap suatu karya intelektual. Hal ini hendaknya perlu disebarluaskan kepada masyarakat. Proses untuk mendapatkan lisensi ini pun juga harus dipermudah. Bahkan pada kondisi tertentu lisensi harus diatur agar tidak memberatkan masyarakat sekitarnya yang ingin turut membuat dan memanfaatkan karya tersebut. Benar, lisensi masuk kepada ranah perdata, namun setidaknya pemerintah dapat memberikan aturan sebagai batasan mengenai hal ini. Tujuannya tidak lain agar masyarakat disamping turut memanfaatkan nilai ekonomis suatu karya cipta, juga ikut serta dalam penegakan hukum Hak atas Kekayaan Intelektual. (dimuat pula dlm blogku, http://yusranisnaini.com )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun