Tanggal 26 Desember 2024 menjadi salah satu hari yang penuh warna dalam perjalanan hidup saya. Hari itu, saya berinisiatif untuk mengajak keluarga saya untuk berpergian keluar kota untuk mencoba wisata kuliner. Kami sekeluarga menumpuh perjalanan melintasi tol Pasteur, salah satu jalur yang cukup terkenal di Bandung. Suasana tol saat itu benar-benar mencerminkan semangat Natal dan akhir tahun, ramai, penuh dengan kendaraan, dan dihiasi oleh berbagai macam emosi, mulai dari kesabaran hingga kejengkelan.
Pagi itu, saya bersama keluarga saya berangkat dari rumah menuju Bandung. Saya duduk di kursi kemudi, sementara ibu saya duduk di kursi penumpang disebelah saya, memberikan arahan dan sesekali membahas rencana hari itu. Di kursi belakang, adik perempuan dan adik laki-laki saya sibuk dengan gadget mereka, tapi sesekali terlibat dalam obrolan ringan dan disisipi beberapa candaan yang membuat suasana dalam mobil itu seperti hidup dan tidak terkesan hampa, meski suasana sedikit tegang akibat kemacetan yang sudah terlihat sejak memasuki area tol, kami tetap mencoba menjaga semangat.
Langit cerah saat itu, tapi entah mengapa suasana hati saya terasa sedikit suram setiap kali melihat deretan kendaraan yang seakan tak bergerak. Pada saat kami keluar dari tol Pasteur suasana di luar tol sangatlah chaos, dikarenakan volume kendaraan yang sangat amat padat bahkan membutuhkan waktu sekitar 45-55 menit agar kami bisa keluar dari area tol Pasteur. Pada saat menunggu kemacetan tersebut kami merasa bahwa ini adalah ujian kesabarn yang tak berujung. Kendaraan berjalan merayap bahkan hampir tidak bergerak, klakson yang bersaut-sautan, dan pengumuman dari pengeras suara di beberapa titik mengingatkan pengendara untuk tetap berhati-hati.
Pada saat kami bermace-macetan tersebut ibu saya menyarankan agar berpindah jalur ke sebelah kiri dikarenakan ibu saya tau jalan pintas agar tidak terlalu terjebak oleh kemacetan, kemudian setelah ibu saya menyarankan hal tersebut saya dengan perlahan berpindah jalur kesebelah kiri dengan selalu memeperhatikan kaca spion agar saya tidak menyerempet atau menabrak kendaraan lain, akan tetapi ada salah satu pengendara mobil yang tidak memberikan saya jalan, padahal keadaan mobil saya sudah setengahnya masuk kejalur mobil tersebut otomatis jika terus dipaksakan akan menimbulkan kecelakaan ringan yang terjadi beruka berserempetan antar mobil. Disitu saya sudah menyadari betul keadaannya seharusnya seperti apa akan tetapi saya yang aga sedikit kesal dan egois terus memepertahankan posisi mobil saya, tapi ibu saya sudah panik karna beliau takut jika kendaraannya kenapa-kenapa akhirnya saya dan ibu saya ada sedikit bersinggungan hingga akhirnya ibu saya membunyikan klakson yang cukup Panjang agar kendaraan sebelumnya mengalah dan selesailah pertengkaran kecil di jalan itu.
Akhirnya, setelah drama yang terjadi di tol, kami berhasil melewati kemacetan itu, rasanya seperti kemenangan kecil yang patut dirayakan. Wajah kami seolah bersinar meskipun lelah, dan saya bisa merasakan semangat baru yang mengalir di mobil. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menuju tujuan berikutnya, sebuah tepat makan bernama Sambal Goreng Mang Ujang. Tempat ini cukup terkenal di Bandung, terutama bagi pecinta makanan pedas seperti keluarga kami. Setiap kali mendengar Namanya, pikiran langusng terbayang akan kelezatan sambalnya yang menggigit dan aroma masakan khas yang menggugah selera.
Perjalanan menuju Sambal Goreng Mang Ujang sendiri cukup menarik. Jalanan yang kami lalui mulai menampakkan kehidupan kota Bandung dengan segala hiruk pikuknya. Di sepanjang jalan, kami melewati deretan toko-toko kecil, kafe, dan penjual kaki lima yang ramai melayani pelanggan. Adik perempuan saya sempat menunjuk sebuah kedai es krim yang terlihat menarik, tapi kami memutuskan untuk fokus terlebih dahulu pada rencana makan siang kami. Ibu saya memperlihatkan Google Mapsnya kepada saya, sesekali mengomentari perubahan rute dan suasana kota Bandung yang menurutnya semakin bekembang namun tetap mempertahankan keunikannya.
Ketika akhirnya kami tiba di Sambal Goreng Mang Ujang, suasana langsung terasa berbeda. Aroma sambal yang khas menyambut kami di pintu masuk, memancing rasa lapar yang seolah tak tertahankan. Rumah makan itu tampak sederhana namun ramai dengan pelanggan yang sebagian besar terlihat menikmati hidangan mereka dengan antusias. Kami memilih makan didalam karna itu adalah area yang bebas asap rokok, suasana ruangannya cukup luas untuk kami berempat, dan duduk dengan rasa antusias menanti makanan yang akan kami pesan. Pelayanan yang ramah datang membawa menu dan menjelaskan beberapa rekomendasi andalan rumah makan ini.
Pada saat kami memesan, kami terkadang sempat batuk dan bersin-bersin dikarenakan aroma sambal yang sangat kuat menyebabkan hidung kami gatal dan pedih. Akan tetapi kami mencoba fokus memesan beberapa hidangan yang menggugah selera, sambal goreng special dengan level kepedasan yang bisa disesuaikan, kami pada saat itu memesan cumi goreng dengan bumbu khas sambal gorengnya Mang ujang, kemudian ayam geprek, dan juga udang tepung. Lalu tidak lupa juga kami menambahkan jukut goreng untuk melengkapi pilihan lauk kami. Saat menunggu makanan tiba, kami berbincang ringan sambal menikmati suasana rumah makan yang penuh canda tawa dari pelanggan lain. Beberapa dinding rumah makan dihiasi dengan foto-foto pengunjung yang tampaknya berasal dari berbagai kota dan juga ada bebreapa foto aktris terkenal yang di pajang di dinding itu.
Ketika makanan tiba, kami semua serentak terkagum. Piring-piring besar dengan warna-warni makanan yang menggoda memenuhi meja kami. Sambal gorengnya terlihat begitu menggugah selera dengan warna merah menyala, dan aroma rempahnya langsung menyeruak ke seleruh ruangan. Saya melihat ibu saya tersenyum puas, sementara adik-adik saya sibuk mencoba memadukan berbagai sambal dengan lauk yang ada. Setiap suapan terasa istimewa, dengan rasa pedas yang menghangatkan tubuh namun tetap membuat kami ingin terus makan. Adik perempuan saya yang biasanya kurang suka makanan pedas, bahkan berulang kali menambahkan sambal ke nasi dan ayam gepreknya. Kami tertawa melihat reaksinya yang terkejut sekaligus puas menikmati rasa pedas yang unik ini.
Setelah makanan habis, kami tidak langsung beranjak. Kami memutuskan untuk menikmati teh manis hangat sambil berbincang lebih lama. Ibu saya mulai bercerita tentang pengalaman masa mudanya di Bandung, termasuk tempat-tempat makan yang dulu menjadi favoritnya. Adik laki-laki saya, yang biasanya lebih pendiam, bahkan ikut berbicara tentang rencana-rencana yang ingin ia lakukan selama liburan. Suasana yang hangat ini benar-benar menutup hari yang penuh tantangan di Tol Pasteur dengan cara yang sangat memuaskan.
Hari itu berakhir dengan perasaan lega dan puas. Meski perjalanan melewati Tol Pasteur cukup melelahkan, kebersamaan dengan keluarga dan pengalaman makan di Sambal Goreng Mang Ujang membuat semua itu terasa sepadan. Kami pulang dengan perut kenyang dan hati yang penuh kebahagiaan, siap menyambut tahun baru dalam beberapa hari mendatang.