Selamat pagi para pembaca sekalian, atau selamat malam kalau kalian membaca tulisan ini di malam hari. Saya menulis ini di malam jumat, saya pikir menarik apabila saya infokan hal ini hehe. Sudah lama saya tidak menulis di laman Kompasiana. Sebagai mahasiwa di semester-semester akhir, cukup menjadi tantangan kehidupan sehari-hari yang kami lalui. Tapi sebagai refreshing, saya pikir akan bagus semisal saya membagikan sedikit gagasan saya ke pada kawan-kawan semua (dalam hati pembaca: refreshing itu liburan, makan enak, main game. Malah nulis wkwk).
Kali ini saya ingin mengangkat sebuah permasalahan yang cukup mengganggu di pikiran saya. Permasalahan ini adalah salah satu fenomena yang hadir di tengah-tengah kita belakangan ini. Sebetulnya bila dipikir-pikir, fenomena ini sudah berakar jauh ke belakang. Namun, saya melihat bahwa hari ini kita masih mengalami atau bahkan melakukan "fenomena" ini. Padahal kita tahu, fenomena ini jelas sangat berdampak negatif bagi kita dan orang kebanyakan.
Permasalahan itu adalah stigma, stereotipe, atau istilah gampangnya "menjustifikasi" atau menilai sesuatu atau seseorang dengan kesan tertentu. Saya mengerti bahwa dimensi permasalahan ini sangatlah luas. Namun, saya ingin menjelaskan dan menceritakan permasalahan ini dengan dimensi yang lebih kecil (agar tidak "bermasalah" tentunya), yakni lingkungan pertemanan kita dan dampaknya bagi sekitar. Kenapa dimensi ini yang saya ambil, karena saya berpikir dengan menceritakan dimensi ini banyak kawan-kawan yang memperoleh perspektif berbeda dari sesuatu yang bisa berdampak sangat besar.
Kawan-kawan saya yang baik, judul yang saya pilih yakni "Kita yang Layaknya Membunuh Nyamuk dengan Bom Atom" memiliki alasan tersendiri. Saya ingin mengundang pemahaman saya dengan referensi di bidang yang sedang saya dalami yakni fisika. Saya mendapatkan istilah "Membunuh Nyamuk dengan Bom Atom" ketika saya duduk di kelas Filsafat Ilmu (anak fisika belajar filsafat ilmu? Ya tentu, mengapa tidak?). Ketika itu dosen mengibaratkan sebuah tindakan ribet yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah gampang. Â
Kawan-kawan semua dapat membayangkan bom atom yang dapat menghancurkan apapun di sekitarnya. Nah, saya ingin mengajak kawan-kawan semua untuk membayangkan bom atom sebagai kesalahan pertama dan paling besar dari stigma atau stereotipe. Mengapa demikian, karena pada dasarnya stigma dan stereotipe kadang kala muncul dari pengamatan secara gamblang atau istilahnya "yang kelihatan aja". Sementara, banyak aspek dan perspektif di balik "apa yang kelihatan di mata".
Terkadang, kita terlanjur "ngejudge" atau menganggap seseorang atau sesuatu dengan kesan tertentu. Misal, dahulu orang menganggap kucing hitam itu membawa sial dan hal buruk. Tentu saja ini menjadi anggapan yang umum kala itu karena minimnya pemahaman orang saat itu. Sehingga, butuh proses memahami agar kucing hitam mau diterima dan digemari orang banyak. Sehingga sekarang, dapat dilihat bahwa orang malah mencari-cari kucing berwarna hitam untuk dirawat dan dipelihara.
Namun, ada hal yang perlu digarisbawahi dari contoh kucing hitam tadi. Hal tersebut ialah, bukan kucing hitamnya yang harus berusaha memahami manusia namun manusialah yang harus belajar memahami kucing hitam. Selain karena alasan "bagaimana caranya kucing hitam berusaha memahami manusia, wong dia hewan", terdapat alasan lain yakni karena manusialah yang membuat stigma tentang kucing hitam tersebut. Dengan kata lain, manusia perlu menelaah ulang kebenaran dari stigma yang ia berikan ke kucing hitam.
Kawan-kawan semua, saya ingin menceritakan sedikit pengalaman saya tentang stigma. Saya merupakan anak yang dibesarkan di keluarga yang religius. Dapat kesempatan untuk duduk di sekolah berbasis agama saat SD dan SMP, lalu berpindah ke sekolah negeri ketika SMA. Bisa dibilang, saya tidak memiliki banyak teman yang berbeda agama dengan saya ketika saya sekolah. Namun, realitas ini berubah ketika saya masuk dunia perkuliahan.
Sebagai seseorang yang berkuliah di Surabaya, saya mulai melihat banyak perspektif lain kehidupan dari hidup di kota yang sangat beragam ini. Suatu ketika, saya dan kawan-kawan saya hendak melaksanakan sholat di masjid. Terdapat seorang kawan saya yang agamanya berbeda dengan saya, ikut dalam rombongan kami. Saya beranggapan, mana mungkin Ia bisa masuk ke ruang sholat. Ternyata, saya melihat Ia bisa duduk-duduk di ruang sholat dan everything is going fine. Anggapan itu terjadi karena saking sedikitnya atau bahkan tidak banyak kawan berbeda agama dengan saya. Sehingga, saya menganggap mereka tidak memiliki kemampuan atau melakukan suatu kegiatan tertentu.
Ternyata, anggapan itu salah dan kejadian saya "ngejudge" kawan saya, mengantarkan saya belajar banyak tentang stigma dan stereotipe. Saya belajar bahwa, dengan belajar mengenal dan memahami seseorang atau sesuatu, maka akan muncul kedalaman dan kelapangan pikiran. Dengan memperluas pertemanan kita dan belajar memahami satu sama lain, maka akan timbul empati dan kelapangan perspektif kita. Hal ini tentunya akan mengarahkan kita jadi orang yang bisa mencermati kondisi tertentu.
Kembali ke urusan "bom atom" tadi, stigma dan stereotipe negatif akan menjadi bom atom yang tidak hanya menghancurkan target, tetapi juga menghancurkan sekitarnya. Semisal kita beranggapan tentang kucing hitam pembawa sial, maka ketika kita melihat ada kucing di malam hari dan tidak terlihat warnanya, kita menganggap "diri ini sedang dikelilingi kesialan" (malam hari adalah kondisi tertentu). Atau ketika kita menilai negatif seseorang dari aspek tertentu, maka orang-orang dengan aspek serupa akan kita jauhi (contoh secara eksplisit tidak ditampilkan untuk mengantisipasi ketersinggungan, hehe).