Suatu hari saya pernah berpikir tentang kesehatan mental. Kalau baca isi sosial media Twitter dan Instagram yang banyak orang merasa insecure atau anxiety pada sesuatu, saya hanya penasaran pada satu hal. Apakah orang zaman dulu juga merasa insecure?
Maksud pertanyaan tersebut adalah orang zaman dahulu di masa penjajahan atau masa revolusi industrI misalnya. Apakah orang-orang pada zaman tersebut juga mengalami insecure seperti halnya generasi milenial belakangan ini?
Mungkin jawabannya adalah iya, tetapi tidak separah sekarang. Orang zaman dahulu mungkin mengkhawatirkan diri dan keluarga mereka yang belum tentu bisa makan, atau hidup serba kekurangan. Mengkhawatirkan adanya perbudakan atau ancaman perang atau bisa juga mengkhawatirkan wanita-wanita yang dianggap sebagai penyihir padahal mereka mempelajari alam. Semua itu bisa saja bukan?
Tetapi kenapa generasi milenial yang belakangan ini paling sering mengalami insecure? Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman semua untuk melatih dan membiasakan hidup dengan penuh kebahagiaan dan keceriaan walau memiliki masalah yang harus diselesaikan. Karena menurut saya, insecure adalah hal yang normal dan masing-masing dari kita yang punya penyembuhnya.
Saya pernah mengalami menjadi orang yang insecure. Singkat cerita saya memiliki lingkaran pertemanan yang cukup baik, tetapi kami memiliki beberapa teman yang sering mengalami insecure. Tentu sebagai teman kita berusaha menemaninya di saat ia punya masalah dan mengalami insecure itu tadi.
Seiring berjalannya waktu, entah bagaimana kami dalam lingkaran pertemanan tersebut hampir atau mengalami insecure termasuk saya. Kadang saya merasa insecure atas hal-hal sepele yang ada di kehidupan saya. Khawatir akan nilai buruk, tidak bisa melanjutkan kuliah dan masalah lainnya. Pertanyaannya, kok bisa?
Pada saat saya merantau dan jauh dari lingkaran pertemanan saya tadi dan memiliki teman-teman baru di kampus, saya tidak lagi mengalami insecure berlebihan. Saya bersyukur punya lingkaran pertemanan yang baru dan kami saling menudukung dari mulai permasalahan kuliah sampai masalah pribadi. Pertanyaannya lagi, ke mana perginya insecure saya tadi?
Belakangan saya belajar bahwa lingkungan saya berada akan mempengaruhi diri saya. Lingkaran pertemanan pertama di mana saya mengalami insecure terjadi karena pengaruh pertemanan yang membahas masalah. Sementara lingkaran pertemanan kedua memberikan pengaruh pertemanan yang membuat solusi. Insecure bisa terjadi karena pengaruh lingkungan dan ternyata itu hal yang nyata teman-teman.
Saya melihat bahwa kita dengan anugrah teknologi dan media sosial menjadikan diri kita mendapatkan pengaruh yang sangat banyak baik positif maupun negatif yang pada akhirnya membentuk karakter dan diri kita. Sama seperti apabila kita terbiasa melakukan sesuatu lama-lama akan menjadi kebiasaan.
Pengaruh media sosial yang “toxic” dan negatif hampir setiap hari memberikan pengaruh atas kepribadian kita. Gaya hidup yang serba mewah dan konten media sosial yang sudah seperti peragaan busana internasional menyebabkan kita tidak yakin atas apa yang kita kerjakan dan menggerus kepercayaan diri kita. Membuat konten untuk mengejar like dan comment misalnya, juga menjadi salah satu yang mengurangi kepercayaan diri kita sehingga kita tidak bisa yakin dan berkarya secara genuine.
Persepsi yang kita hadirkan akan segala sesuatu serba negatif turut memberikan pengaruh atas kepribadian kita. Padahal, apabila kita terbiasa untuk berpikir positif setiap harinya hal tersebut akan menambah energi positif yang sangat bisa kita manfaatkan untuk keseharian kita. Persepsi mempengaruhi segalanya teman-teman.