Mari kita lihat apa saja yang terjadi di media sosial dalam waktu 1 bulan ini. Mulai dari Work from Home, rapat online dengan google meet atau zoom, kegaduhan media sosial akibat teori konspirasi virus corona, orang-orang ngumpul buat foto di restoran yang mau tutup, mau berbagi tapi boong, tuntutan buat orang yang gak sengaja nyiram air keras, sibuknya orang-orang ngebut RUU yang entah ada manfaatnya atau engga, lagu boneka yang viral dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebut satu-satu. Tapi mendengar semua isu dan kegaduhan di sosial media itu bagi aku hanya ada satu kata, “Capek!”
Bayangkan saja, tiap hari kita disodorin sama isu-isu yang belum tentu bikin kita kaya dan belum tentu juga bikin kita kenyang. Semua orang seakan-akan membuat kita tidak punya pilihan selain memakan isu-isu tersebut tiap hari. Pertanyaannya cuman satu, “Ini mesti banget kita ngikutin ini semua?”
Ternyata engga juga temen-temen, kita yang membuat pilihan buat makan menu yang mana. Kita yang memilih mau menonton apa, mau mendengarkan apa, mau mengomentari siapa itu pilihan kita.
Walaupun kita memilih untuk tidak lagi makan menu tertentu, beberapa isu seakan tidak bisa lepas dari pandangan seakan-akan isu tersebut ada salesnya dan menarik minat kita untuk baca, kritik dan komentar.
Menghadapi itu semua, aku merasa perlu untuk keluar sejenak dari dunia maya dan segala isu yang lagi-lagi belum tentu bikin kita kaya. Aku melakukan detoksifikasi media sosial, atau menghilangkan racun-racun media sosial yang menempel di pikiran kita.
Bagi aku, melakukan hobi merupakan cara yang menurut aku paling mudah dilakukan untuk mengobati racun-racun di sosial media di pikiran kita. Aku pribadi melakukan hobi yang belakangan ini sedang aku gencarkan yakni membaca.
Bagi aku, membaca bukan sekedar menambah ilmu atau wawasan, tapi juga untuk belajar dari pengalaman orang-orang yang menulis di buku karena apalah daya aku yang masih 20 tahun dan mau menaklukan dunia.
Dengan melakukan hobi dan meninggalkan media sosial sejenak, tidak mengurangi kepekaan dan daya kritis kita terhadap isu tertentu. Justru untuk mempertajam pikiran kita untuk menanggapi isu-isu yang lebih penting dan lebih menguntungkan di kemudian hari.
Racun media sosial tidak dapat dihindari temen-temen, hanya saja diri kita sendiri yang punya satu-satunya obat mujarab untuk menjadi penawar racun tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H