Mohon tunggu...
Rayhana Ayu
Rayhana Ayu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Roro Anteng dan Joko Seger

6 Februari 2016   14:36 Diperbarui: 6 Februari 2016   14:56 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

RORO ANTENG dan JOKO SEGER

Rayhana Ayu Amelia Putri

Pada zaman ini, hiduplah sepasang suami istri yaitu Raja Majapahit dan permaisurinya yang melarikan diri dari negerinya karena kalah  melawan putranya sendiri. Mereka hidup bahagia karena dikaruniai seorang anak. Suatu ketika sang istri melahirkan seorang anak perempuan sehat secara normal layaknya bayi pada umumnya. Namun sang raja merasa ada keanehan pada anaknyatersebut. Dia heran mengapa anak yang dilahirkan dari Rahim ibunya tidak menangis seperti bayi normal lainnya. Akhirnya mereka memberi nama bayi dengan wajah yang tampak cemerlang dengan nama Roro Anteng, perempuan yang diam atau tenang.

Pada saat yang hampir bersaman, di tempat lain yang lokasinya tak jauh dari rumah mantan raja Majapahit, juga dilahirkan seorang anak laki-laki dari pasangan suami-istri pendeta. Saat dilahirkan, bayi tersebut menangis dengan suara yang keras. Bayi itu tampak sehat dan segar, sehingga kedua orang tuany memberi nama Joko Seger yang berarti seorang laki-laki yang berbadan segar.

Waktu terus berlalu kedua bayi itu tumbuh menjadi dewasa. Joko Seger tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah. Sementara Roro Anteng tumbuh menjadi gadis cantik nan mempesona hingga memikat hati para pemuda pria untuk datang meminangnya. Namun tak ada satupun pria yang cintanya diterima oleh Roro Anteng kecuali Joko Seger. Sayangnya Joko Seger harus bersaing dengan seorang raksasa sakti bernama Kyai Bima yang menjelma menjadi badak besar yang hidup di hutan. Tetapi Roro Anteng mencari cara untuk menolak pinangan dari sang raksasa. Sang raksasa akan merusak desa sekitar jika Roro Anteng tidak menerima pinangannya. Akhirnya dia meminta raksasa untuk membuat danau di atas Gunung Bromo itu sebelum hari menjelang pagi. Sang Raksasa gagal mempersunting untuk menyelesaikan permintaan sang calon istri karena Roro Anteng membangunkan seluruh anggota keluarga dan ayam-ayam untuk berkokok bahwa itu pertanda waktu sudah pagi.     

Akhirnya Roro Anteng menikah dengan Joko Seger. Mereka berdua membangun dusun baru yang disebut Tengger (Teng dari kata Anteng dan Ger dari kata Seger). Mereka berdua hidup bahagia. Namun mereka merasa ada keresahan dalam hati karena mereka belum dikaruniai anak walupun sudah lama menikah. Joko Seger putus asa tetapi Roro Anteng menyerahkan ini semua kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lalu Joko Seger mengucapkan ikrar “Jika Tuhan mengaruniai 25 anak, aku berjanji akan mempersembahkan seorang anak di antara mereka untuk dijadikan sesajen di kawah Gunung Bromo. Setelah Joko Seger mengikrarkan janji tersebut, tiba-tiba muncul api di kawah Gunung Bromo pertanda doa dia dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Roro Anteng akhirnya mengandung buah hati dari dia dengan Joko Seger. Rasa bahagia itu tampak pada wajah sang suami, Joko Seger. Roro Anteng setiap tahun mengandung bayi hingga berjumlah dua puluh lima anak. Joko Seger berterima kasih kepada Tuhan karena telah menabulkan permohonannya. Pasangan suami istri ini merawat kedua puluh lima anaknya hingga tumbuh dewasa. Saking bahagianya kehidupan Joko Seger dan Roro Anteng, sampai-sampai Joko Seger lupa akan janjinya dengan Tuhan. Pada suatu malam, Joko Seger ditegur Tuhan melalui mimpinya. Akhirnya Joko Seger mengumpulkan istri dan seluruh anaknya dan menceritakan nadzarnya itu. Joko Seger meminta kesediaan putra-putrinya yang dia sayangi untuk mengorbankan dirinya untuk dijadikan sesajen untuk menghindari bencana di dusun mereka. Kedua puluh empat anaknya tidak ada yang mau mengorbankan dirinya. Namun putra sulung dari Joko Seger berani mengorbankan dirinya. Joko Seger tidak menyangka hal itu. Dewa Kusuma, putra sulung Joko Seger dan Roro Anteng meminta ayah dan kedua puluh empat saudaranya untuk menyerahkan ternak yang dihasilkan dan hasil bumi setiap tahun pada tanggal 14 bulan Kasada (penanggalan Jawa). Akhirnya pada tanggal itu Dewa Kusuma diceburkan ke kawah Gunung Bromo yang diiringi isak tangis sanak saudaranya.

Hingga saat ini masyarakat Suku Tengger setiap tahunnya melakukan acara persembahan sesajan ke kawah Gunung Bromo setiap tanggal 14 bulan Kasada untuk mengenang dadn menghormati pesan Dewa Kusuma.

Nilai moral dari cerita ini adalah seorang anak yang ingin membahagiakan kedua orang tuaya dan menyelematkan orang lain dari bencana walaupun dirinya sendiri yang dikorbankan. Hal itu ditunjukkan oleh Dewa Kusuma yang berani mengorbankan dirinya sendiri untuk keselematan keluarga dan masyarakat. Nilai ketuhanan yang dapat dipetik adalah memohonlah kepada Tuhan jika mempunyai suatu keinginan, pasrah akan takdir Tuhan, dan tunaikanlah janji yang telah diikrarkan. Nilai kebudayaannya adalah menyerahkan sesajen ke kawah Gunung Bromo untuk menghindari bencana.        

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun