Mohon tunggu...
Rayhan Aulia Prakoso
Rayhan Aulia Prakoso Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Masih anak SMAN 10 Malang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika 'Kebebasan' Menjadi 'Kebablasan'

18 Januari 2015   18:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:52 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polisi tampak berjaga di depan kantor majalah Charlie Hebdo (sumber: http://cdn.sindonews.net/dyn/620/content/2015/01/14/41/950377/prancis-penyerang-charlie-hebdo-dibiayai-pihak-asing-Iby.JPG)

[caption id="" align="aligncenter" width="558" caption="Polisi tampak berjaga di depan kantor majalah Charlie Hebdo (sumber: internasional.sindonews.com)"][/caption] Sebenarnya, sudah sejak lama saya menyimpan rasa muak berlebih terhadap Barat, khususnya jagat persnya. Kenapa? Lihatlah yang baru saja terjadi. Ya, insiden penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo. Majalah tersebut dikenal sebagai majalah yang sering memuat karikatur yang menyakiti kalangan Muslim, bahkan juga sering membuat kaum Katolik dan Yahudi jengkel dengan karikaturnya tersebut. Namun, anehnya, penghinaan melalui karikatur tersebut justru disikapi pemerintah Barat sebagai 'kebebasan pers', khususnya penghinaan Islam. Bahkan sampai membuat negara-negara Muslim marah luar biasa, penghinaan tersebut tetap dianggap sebagai kebebasan. Sebelum saya beropini tentang kasus ini, terlebih dulu saya jelaskan bagaimana bisa penghinaan dinilai sebagai kebebasan berekspresi di Barat, terutama di Eropa. Penghinaan yang dikaitkan dengan kebebasan memang tidak lepas dari gejala Islamofobia atau ketakutan dengan Islam. Kenapa ada Islamofobia? Apakah karena Islam selalu dikaitkan dengan aksi ngebom sana ngebom sini? Apakah karena sistem liberal yang berlaku? Mungkin dua alasan yang baru saja saya sebutkan itu ada benarnya. Tetapi, pada kenyataannya, yang lebih benar adalah sistem liberal yang saat ini berlaku. Sistem liberal yang berlaku di sebagian besar negara Eropa memang memungkinkan muncul penghinaan agama seperti yang dilakukan majalah Charlie Hebdo. Kenapa bisa? Ya apalagi kalau bukan karena kebebasan dinilai mutlak semutlak-mutlaknya, bahkan sekalipun kebablasan. Bicara soal kebebasan, juga tidak lepas dari batasannya. Percaya atau tidak, sebebas-bebasnya kita berjalan-jalan di jalan raya, kita juga tidak sebebas-bebasnya meloncati pagar rumah orang, kan? Sama dengan kebebasan pers, ada batasan di mana sebuah pemberitaan atau opini siapapun dilarang dipampang di media massa. Lho, kenapa? Karena sebuah pemberitaan mampu memunculkan beragam reaksi. Yang bikin tertawa terbahak-bahak, yang bikin kebingungan setengah mati, sampai bikin tawuran pecah pun bisa. Inilah kekuatan pers yang luar biasa, yang mampu menggiring masyarakat untuk bereaksi sesuai opininya. Nah, supaya kebebasan pers ini tidak berubah menjadi kebablasan pers, maka harus ada pagar-pagar yang membatasi. Lho, apa itu berarti mengekang kebebasan pers? No, itu tidak menghambat pers sama sekali. Kebebasan pers itu tidak mutlak, artinya harus ada pertanggungjawabannya juga. Harus dapat mempertanggungjawabkan maksud dan tujuan pemberitaan maupun publikasi selainnya. Jangan cuma gara-gara mengejar oplah terus semaunya sendiri kalau mempublikasi berita atau opini di media massa. Ingat, pers bukan hanya soal uang, namun juga soal tanggung jawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun