(Surat An-Nahl ayat 90)
Ayat di atas menarik untuk dibahas, sebab sering dibaca khatib di akhir khutbah Jumat. Memang tidak semuanya, namun sebagian besar khatib membacanya di akhir khutbah. Ayat ini menekankan kita agar berbuat adil, kebaikan, dan memberi. Dari sini mengerucut pertanyaan, bagaimana sejarah awal mulanya  dan bagaimana praktek keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Sengaja saya membahas adil, sebab Anda tahu sendiri kan keadilan hukum di negeri ini bagaimana. Barangkali ini juga akan menjadi modal bagi Capres-Cawapres yang akan terpilih dan memimpin negeri ini selama 5 tahun ke depan. Artikel ini juga saya tujukan kepada para penegak hukum yang sewenang-wenang dalam mengawal hukum di negeri ini.
Awal mula pemakaian surat An-Nahl ayat 90 ini bermula di zaman Kekhalifahan Umayyah. Pada masa Muawiyah, sudah menjadi kebiasaan pada saat itu seluruh khatib menutup khutbah Jumat ataupun khutbah hariannya dengan mencaci maki Ali bin Abi Thalib r.a. Mengapa demikian? Karena untuk menekan Alawiyin (keturunan Ali bin Abi Thalib yang menjadi oposisi) yang menentang pengangkatan anak Muawiyah, Yazid bin Muawiyah, menjadi khalifah setelah Muawiyah. Kebiasaan mencaci maki Ali r.a di akhir khutbah itu berlangsung ada kurang lebih 60 tahun. Sampai kemudian, tampuk kekuasaan berganti ke Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau melihat ini sebagai gejala yang tidak sehat sehingga beliau merasa harus segera bertindak. Akhirnya, beliau mengeluarkan maklumat yang isinya melarang seluruh khatib menutup khutbahnya dengan mencaci maki Ali bin Abi Thalib. Di sinilah letak kearifan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sekalipun hanya memerintah selama 2 tahun 5 bulan 5 hari, namun apa yang beliau lakukan berhasil mengubah kebiasaan jelek menjadi kebiasaan baik. Oleh karenanya, banyak sejarawan yang menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin ke-5 setelah Ali bin Abi Thalib.
Oleh karena di dalam ayat tersebut tersurat perintah Allah untuk berbuat adil, maka apa yang kita lakukan haruslah selaras dengan apa yang dititahkan Allah kepada kita. Banyak orang yang mempersepsikan adil adalah sama rata sama rasa. Itu tidak salah, namun tidak bisa dibenarkan. Adil dalam kehidupan sehari-hari adalah memperlakukan segala sesuatu sesuai tempat, porsi, dan kepentingannya. Â Tetapi, di negeri kita, keadilan adalah sesuatu yang langka. Koruptor yang harusnya dihukum seberat-beratnya justru dihukum ringan, bahkan dibiarkan berkeliaran macam kucing liar begitu. Padahal, mereka telah mencuri uang rakyat, memakan apa yang bukan haknya, dan telah membuat rakyat sengsara luar biasa, bahkan bisa dikatakan para koruptor ini membunuh rakyat kecil secara pelan-pelan. Sebaliknya, seorang yang miskin mencuri karena kelaparan justru dihukum berat. Miris melihatnya, sebab kenyataan di sini adalah memperlakukan sesuatu tidak pada tempatnya, tidak sesuai porsinya. Apakah ini yang namanya adil?
Berkacalah pada kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab dan cicitnya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Karena keadilan mereka, masyarakatnya sejahtera dan ekonominya terdepan. Tidak ada satupun yang kekurangan, tidak ada satupun yang kelaparan, juga tidak ada satupun yang berpakaian compang-camping. Kalau keadilan dua khalifah tersebut ditiru oleh pemimpin kita, Insya Allah, Indonesia akan menjadi yang terdepan, menjadi yang nomor satu, tidak akan tertinggal lagi seperti yang dulu.
Sumber :Â http://chirpstory.com/li/16986 dan khutbah Jumat sebulan yang lalu di masjid depan sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H