Tinggal 2 minggu lagi, bulan Ramadhan akan menyapa kita, umat Islam di seluruh sudut bumi. Baik setiap orang, masjid ataupun musholla, channel televisi, dan masih banyak lagi, berbagai persiapan sudah dilakukan. Kali ini, penulis, yang sudah lama sekali tidak menulis di Kompasiana, akan membeberkan apa saja yang biasa penulis soroti dan lakukan saat bulan suci ini, mungkin pembaca juga demikian. Hal pertama yang penulis soroti adalah bagaimana pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama RI, menentukan awal bulan Ramadhan. Beberapa kali sidang isbat membahas hal tersebut, beberapa perwakilan ormas yang hadir, seringkali berdebat luar biasa soal tanggal mulai puasa. Sampai-sampai, Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin, mengatakan kalau pihaknya mulai tahun ini tidak akan menghadiri sidang isbat lagi. Alasannya, sidang isbat selama ini dianggapnya tidak demokratis. Maksudnya, pemerintah selalu memaksa-maksakan soal tanggal 1 Ramadhan maupun 1 Syawal. Sementara, mulai dari Muhammadiyah, NU, FPI, Jamaah Naqsabandiyah Sumatera Barat, sampai Islam Aboge di Situbondo, metode untuk menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal berbeda-beda. Muhammadiyah dengan cara yang sama dengan FPI yaitu hisab yang kebanyakan dipakai negara Timur Tengah dan Eropa, NU dengan cara rukyat yang dipakai Malaysia dan Brunei Darussalam, dan Jamaah Naqsabandiyah yang berpegang pada kitab pendahulunya. Penulis kira, semua ini terjadi karena semua ormas maupun Kementerian Agama sama-sama otoriternya sehingga jangan heran dengan perdebatan keras yang terjadi saat sidang isbat. Hal yang kedua adalah saat kita mengawali puasa, yaitu SAHUR. Saat yang begini adalah saat yang paling asyik buat penulis, karena penulis biasanya memasak sendiri makanan untuk santap sahur. Belum lagi, semua channel TV menayangkan acara-acara khusus saat Ramadhan di jam sahur. Satu hal lagi yang menarik, setiap daerah pasti punya cara untuk membangunkan masyarakat untuk bersahur. Ya, mulai dari perkusi sampai hanya mengumumkan dari speaker masjid. Oh ya, satu lagi. Banyak orang berpikiran kalau sudah Imsak berarti sudah tidak boleh makan. Itu salah. Imsak masih boleh makan, baru tidak boleh makan kalau sudah terdengar Adzan Subuh. Hal ketiga adalah saat siang hari. Penulis pernah memperbincangkan ini dengan teman penulis. Waktu itu, penulis bilang, kalau siang hari saat puasa panasnya minta ampun, saat itulah 'seni'nya puasa muncul. Sudah panas, ada warung buka, dan terlihat seorang yang tidak ikut berpuasa dengan lahapnya makan. Memang lucu, tapi ada benarnya juga, karena semua itu adalah cobaan di bulan Ramadhan. Hal keempat adalah saat sore hari, intervalnya antara setelah Ashar sampai menjelang Maghrib. Saat seperti ini, di pinggir jalan mulai bertaburan pedagang-pedagang takjil (makanan untuk berbuka puasa). Penulis biasa memanfaatkan jam segitu untuk berburu jajanan, mengikuti kebiasaan penulis yang suka berwisata kuliner, hehe. Untuk menghindari antrean yang sulit ditebak durasinya, penulis biasanya sudah siap 'hang out' saat setelah Ashar, yaitu antara pukul 15.00 sampai 15.30 sore. Penulis biasanya pulang sebelum pukul 16.30 karena mengikuti jadwal imaskiyah region Malang Raya waktu Maghrib rata-rata pukul setengah enam sore.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H