Kebakaran hebat kembali melanda California, menghanguskan rumah dan hutan, diperburuk oleh angin kering Santa Ana yang bertiup kencang. Meskipun angin Santa Ana biasanya terjadi pada periode tertentu, ada indikasi bahwa perubahan iklim dapat mempengaruhi pola dan frekuensi kemunculannya. Suhu yang lebih tinggi dan kondisi yang lebih kering dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi angin ini untuk muncul lebih awal atau dengan intensitas yang lebih besar.
Cuaca yang semakin ekstrem menciptakan kondisi ideal bagi api untuk menyebar dengan cepat, menghanguskan rumah-rumah, hutan, serta mengancam kehidupan manusia dan satwa liar. Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal mereka, dan ribuan orang harus dievakuasi ke lokasi yang lebih aman. Kebakaran ini tidak hanya menghancurkan properti tetapi juga menyebabkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Sayangnya, di tengah musibah ini, muncul narasi yang menyakitkan, seperti anggapan bahwa kebakaran ini adalah "hukuman" atas apa yang terjadi kepada Palestina. Alangkah baiknya jika kita melihat situasi ini dengan hati yang lebih terbuka dan penuh empati. Masyarakat California terdiri dari berbagai latar belakang, dan banyak di antara mereka juga tidak setuju dengan tindakan pemerintah mereka terhadap Palestina. Bahkan, mungkin saja korban dari kebakaran ini adalah orang-orang biasa yang juga peduli terhadap isu kemanusiaan.
Dalam situasi krisis, penting bagi kita untuk mengutamakan rasa kemanusiaan. Tidak ada yang ingin kehilangan rumah atau orang yang dicintai akibat bencana alam. Bayangkan jika kita sendiri atau keluarga kita yang kehilangan rumah, harta benda, atau bahkan nyawa akibat kebakaran ini. Akankah kita ingin penderitaan kita dianggap sebagai hukuman? Atau kita lebih berharap ada tangan-tangan yang terulur, memberikan bantuan dan dukungan moral?Â
Kebakaran di California mengingatkan kita bahwa perubahan iklim adalah ancaman global yang juga bisa berdampak pada negeri kita. Lebih jauh lagi, kebakaran ini menegaskan bahwa perubahan iklim bukan cuma teori, melainkan realitas yang sudah kita hadapi saat ini. Suhu global yang meningkat menyebabkan musim panas yang lebih panjang dan lebih kering, memperburuk risiko kebakaran hutan. Fenomena ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan mendorong tindakan nyata dalam mengurangi dampak perubahan iklim.
Alih-alih menyebarkan narasi yang menyakitkan, mari kita memilih untuk bersikap bijak dan menunjukkan solidaritas kemanusiaan. Kita bisa membantu dengan cara sederhana: menyebarkan informasi yang benar, berdonasi ke lembaga kemanusiaan, atau mengirimkan doa bagi mereka yang terdampak. Masyarakat dunia perlu bersatu dalam menghadapi bencana seperti ini, karena dampaknya tidak hanya dirasakan oleh satu negara, melainkan oleh seluruh dunia.
Pada akhirnya, kepedulian dan kasih sayang antar sesama adalah nilai yang harus terus kita jaga, tanpa memandang latar belakang atau perbedaan politik. Tidak ada manfaat dari saling menyalahkan atau menghakimi di saat orang lain sedang mengalami penderitaan. Musibah ini seharusnya mengingatkan kita bahwa sebagai manusia, kita semua berada di perahu yang sama menghadapi tantangan perubahan iklim dan bencana yang bisa terjadi di mana saja.
Mari kita membangun dunia yang lebih baik, bukan dengan menebar kebencian, tetapi dengan menguatkan empati dan persaudaraan sebagai sesama manusia. Dengan demikian, kita tidak hanya membantu mereka yang sedang mengalami kesulitan, tetapi juga menciptakan dunia yang lebih damai dan penuh kepedulian bagi generasi yang akan datang.
Kita bisa memulainya dengan lebih peduli pada lingkungan sekitar dan tidak mudah menghakimi mereka yang sedang tertimpa musibah. Karena pada akhirnya, empati adalah bahasa universal yang bisa menyatukan kita semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI