Disclaimer: Tulisan ini mungkin mengandung spoiler, jadi kalau belum siap tahu detailnya, better nonton dulu baru balik lagi baca, ya!
Sebagai pecinta dunia sihir, rasanya susah banget nahan excitement buat bahas Wicked. Film dengan genre fantasi musikal ini disutradarai oleh Jon M. Chu (yep, sutradaranya Crazy Rich Asians) dan naskahnya ditulis sama Winnie Holzman dan Dana Fox. Lagu-lagunya? Nggak usah diraguin lagi, semuanya karya jenius Stephen Schwartz.
Kalau soal teknik film, musik, dan akting, kayaknya nggak perlu dibahas panjang lebar lagi deh, semuanya bener-bener on point! Dari set film yang bikin mata dimanjain, musik yang sukses bikin merinding, sampai akting para pemain yang full emosi, semua berhasil banget ngehidupin dunia Oz dengan sempurna.
Menurutku, daya tarik utama Wicked Part One justru ada di cara film ini ngegali karakter manusia. Ceritanya nggak cuma fokus pada sihir, tapi juga menunjukkan kalau baik dan jahat itu nggak selalu sehitam-putih yang kelihatan di luar. Deep banget, sih!
Wicked bukan cerita tentang Dorothy atau perjalanan menemukan "rumah", tapi tentang Elphaba Thropp (Cynthia Erivo), si penyihir hijau yang nantinya dikenal sebagai The Wicked Witch of The West, dan Galinda Upland (Ariana Grande) yang dikenal sebagai Glinda The Good.
Sejak awal Elphaba udah dianggap "berbeda" karena fisiknya yang hijau, cara berpakaian, dan sikapnya yang terlihat nggak peduli sama pandangan orang. Bikin dia gampang banget dicap sebagai penjahat.
Elphaba nggak butuh validasi dari siapa pun. Hal terpenting buat dia adalah mempertahankan apa yang dia yakini sebagai kebenaran, meskipun itu berarti dia harus berdiri sendirian melawan dunia. Dia nggak peduli kalau orang-orang menatapnya dengan jijik, menganggapnya aneh, atau bahkan melabelinya sebagai sosok jahat. Yang dia pedulikan hanyalah memperjuangkan apa yang menurutnya pantas dibela.
Ketidakadilan yang ada di sekitarnya adalah musuh nyata yang harus dia lawan, meski jalannya penuh dengan rintangan dan kesalahpahaman. Pandangan orang lain nggak pernah jadi prioritasnya. Dia tetap setia pada prinsip-prinsipnya, bahkan ketika itu berarti harus mengorbankan penerimaan dari orang-orang yang dia harap bisa mengerti dirinya.
Di sisi lain, Glinda adalah cerminan dari kebanyakan dari kita. Glinda bukan sosok yang jahat, cuma dia sering kali memilih kenyamanan daripada kebenaran. Lebih memilih untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi masyarakat, mencari penerimaan dan pengakuan, daripada melawan arus untuk membela apa yang sebenarnya dia tahu benar. Glinda merasa lebih nyaman berada di tengah kerumunan, menikmati popularitas, dan menjaga citra baik yang sudah melekat padanya.