Beberapa waktu yang lalu saya berbincang dengan seorang rekan. Ia lepas mengantar ibu dari kawannya periksa ke dokter. Di akhir cerita ia mengungkapkan simpatinya pada ibu tersebut sembari mendoakan semoga ibu itu lekas sembuh. Saya menyanggahnya dengan mengatakan bahwa "semoga diberi yang terbaik" lebih tepat dibanding "semoga lekas sembuh". Kemudian disanggah olehnya dengan "Yang terbaik itu ya kesembuhan". Hmmm..
Dengan profesi yang saya selami, walaupun dengan jam terbang yang mungkin masih kalah bila dibandingkan sejawat lain, saya belajar memahami bahwa sakit itu tidak selalu "buruk" dan sembuh itu tidak selalu "baik". Bahwa belum sembuh, tidak sembuh, tidak sehat bukan tidak memiliki arti. Bahwa lekas dan lambat tidak ada yang memiliki nilai mutlak.
Di dunia kedokteran ada istilah yang dinamakan prognosis. Menurut KBBI prognosis adalah "ramalan tentang peristiwa yang akan terjadi, khususnya yang berhubungan dengan penyakit atau penyembuhan setelah operasi". Yang namanya ramalan tentu ada ramalan yang baik dan ada pula yang buruk. Beberapa penyakit memiliki prognosis baik (bonam), sementara lainnya memiliki prognosis buruk (malam). Namun ada juga penyakit yang prognosisnya tidak dapat ditentukan/ragu (dubia), bisa dubia ad bonam (tidak dapat ditentukan/ ragu/ cenderung baik), bisa juga dubia ad malam (tidak dapat ditentukan/ ragu/ cenderung buruk). Saya dan sejawat saya, tanpa bermaksud mendahului kuasa Tuhan, sudah terbiasa untuk meramal, memperkirakan prognosis berlandaskan penelitian dan pengalaman yang ada. Kadang-kadang, begitu melihat kondisi atau mendengar diagnosis pasien, kami bisa langsung menerawang prognosis mereka.
Diagnosis = penentuan jenis penyakit
Jeleknya, kami -atau lebih tepatnya: saya- tanpa sengaja melakukan hal tersebut pada orang-orang yang bukan pasien. Pada keluarga dan orang-orang sekeliling, saya tanpa sengaja "meramal" mereka.
Cedera kepala berat, stroke hemoragi masif, kanker stadium akhir merupakan beberapa diagnosis penyakit dengan prognosis ad malam. Keadaan itu bisa saja terjadi pada tetangga saya, ayah teman saya, guru saya, bahkan keluarga saya sendiri. Ketika dihadapkan pada ramalan demikian, berat rasanya mulut ini berkata "semoga lekas sembuh" sementara otak saya berkata lain. Bukan pesimis, justru saya optimis. Saya lebih memilih "yang terbaik" walaupun itu tidak tampak "baik".Â
Apa sebuah kegagalan itu tidak baik?
Apa sebuah kelambatan itu tidak baik?
Apa sebuah ketidaksembuhan itu tidak baik?
Tapi dengan demikian bukan berarti lantas saya mengharapkan seseorang sakit selama-lamanya atau disegerakan sampai pada ajalnya. "Yang terbaik" itu sendiri sejatinya saya tidak tahu. Saya tidak bisa meramalkan.Â
Jika si sakit itu seorang istri yang sudah lanjut usia, kanker stadium akhir. Suaminya tidak bekerja lagi, pensiunan pun tidak punya. Ia sendiri memiliki keterbatasan fisiknya, di samping tak lagi muda. Anak-anaknya di luar kota, dengan gaji yang tidak seberapa pula.
Lalu apa yang terbaik buat mereka?
Jika si sakit itu seorang suami, stroke dengan perdarahan hebat, harus masuk ke ICU. Keluarganya berkecukupan, anak-anaknya pun sudah bisa hidup mandiri. Anak terakhir akan melangsungkan pernikahan sebentar lagi.
Lalu apa yang terbaik buat mereka?
Jika si sakit itu seorang mahasiswi, demam tifoid mengharuskannya istirahat total di ranjang. Jadwal tesis sedang mengejarnya. Dosen pembimbing sudah mulai mencarinya.
Lalu apa yang terbaik buatnya?
Apa sembuh adalah paling baik untuknya?Â
Butuh waktu yang lama untuk sembuh? Atau lainnya?Â
Saya tidak tahu. Saya juga tidak mau mendikte Tuhan yang mampu menyembuh-mati-atau-segala-kemungkinan-lain-kan.
Saya hanya berdoa untuk yang terbaik ^^