Ngumpul di sebuah rumah makan, kafe, warkop, atau juga kedai menjadi tempat persinggahan untuk makan dan minum. Apapun itu bentuk dan jenisnya yang penting bisa jadi tempat ngumpul bareng teman kuliah bahkan juga tempat reuni teman SD, SMP hingga SMA. Ada yang memilih bersantai di rumah tanpa peduli kegiatan-kegiatan sosial di luar sana, lebih memilih bercanda tawa via jejaring sosial, seperti Whatsapp, Instagram, Telegram, Facebook, atau Twitter. Sebagian dari mereka memilih bermain game online seharian yang menyebabkan seseorang menjadi pemalas dan menunda berbagai aktivitas.
Hal-hal diatas merupakan gambaran budaya untuk Generasi Y atau lebih sering dikenal sebagai Generasi Millenial. Lantas bagaimana cara Millenials dalam menyikapi budaya yang ada di Indonesia?Â
Padahal jika kita menelusuri kebiasaan dan kesenangan yang mereka lakukan sehari-hari dapat dijadikan sebuah dorongan, pegangan, atau tonggak untuk melestarikan budaya yang ada di Indonesia. Melihat munculnya teknologi di era masyarakat Millenials adalah sebuah tantangan dimana mereka harus dihadapkan oleh berbagai hal-hal baru yang sebelumnya tidak pernah terlihat. Hal itu bisa menjadi keuntungan, juga bisa menjadi kerugian baik dalam skala kecil maupun besar.
Generasi millenials sangat gemar bermain game online. Daripada mengadopsi game dari luar, mendingan belajar untuk mencoba membuat game sendiri. Mereka yang punya keahlian di bidang teknologi, seperti komputer, teknik, dan desain bisa menjadi peluang untuk berkreatifitas ciptakan game buatan Indonesia.Â
Bukanlah sebuah kejutan lagi apabila mereka selalu menggenggam smartphone di setiap waktu. Video editor juga bisa mempromosikan karya-karya puisi karangan sastrawan Indonesia melalui pembuatan video baik itu berupa slide gambar atau juga video bergerak. Yang nantinya akan disisipi tulisan-tulisan karya sastrawan Indonesia, seperti Chairil Anwar, Taufiq Ismail, Ahmad Tohari, dan lainnya. Karya tersebut juga diiringi dengan lagu atau musik sesuai pilihan editor. Mereka bisa berbagi hasilnya melalui postingan di sosial media yang bisa dilihat oleh khalayak ramai. Tidak hanya oleh sesama kalangan muda, orangtua, bahkan orang yang berada di luar negeri juga bisa melihatnya.
Mereka yang punya jam istirahat sekali dalam seminggu, misalnya di hari minggu atau hari lainnya dapat mengikuti kursus menari atau melukis untuk mengisi jam kosong yang lebih bermanfaat. Memperkenalkan variasi tarian, melukiskan pemandangan, peninggalan sejarah  atau tempat wisata lainnya yang ada di Indonesia.
Lalu kenapa malu mempromosikan budaya kita? Kenapa tidak mempromosikan budaya Indonesia di dunia Internasional? Orang luar juga mempromosikan budayanya melalui platform sosial media. Baik itu berupa makanan, minuman, musik hingga fashion. Akhirnya kita mengenal minuman Thailand yang namanya Thai tea. Makanan Jepang seperti sushi dan dorayaki. Disamping itu, genre musik K-Pop juga ikut mendarah daging di Indonesia.
Tidak salah dan tidak dilarang jika kita mengenal budaya luar. Justru itu menjadikan kita sebagai pemikir yang kritis, menambah teman, pengetahuan dan pelajaran positif lainnya yang bisa diambil. Yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana jika mereka para kaum millenial begitu menggilai budaya luar hingga nekad melakukan apa saja sekalipun itu membahayakan dirinya juga orang sekitar. Kita ambil contoh festival anime yang ada di Indonesia.Â
Para cosplayer wajib mengoleksi dan membeli kostum serta peralatan yang lumayan mahal. Kenapa mereka tidak mempertunjukkan Malin Kundang yang merupakan cerita rakyat dari Sumatera Barat? Bukankah itu senjata untuk memperkuat agar anak bangsa di negri ini tetap mengenal, mengingat, dan menghargai budaya sendiri? Bagi mereka yang tinggal di daerah Sumatera Utara, apakah mereka tahu bahwa salah satu lagu daerah Sumatera Utara adalah Mariam Tomong? Mungkin sekedar tahu, tapi tidak mengenali lirik, nada lagu, serta makna didalamnya.Â
Bagi mereka yang bersuku Jawa lalu menetap ke daerah yang dominan bersuku Batak, apakah mereka masih bisa mempertahankan bahasa Jawa? Ataukah hanya beberapa kalimat saja yang masih diingat? Orang Aceh tapi tidak mahir berbahasa Aceh. Orang Bandung tapi tidak mahir berbahasa Sunda.
Harusnya kita sadar melihat perjuangan para pahlawan dalam membela dan mempertahankan NKRI. Melestarikan budaya adalah salah satu cara kita menghargai jasa para pahlawan Indonesia.Â