Mohon tunggu...
Ray Indra T. Wijaya
Ray Indra T. Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Pejuang Literasi

Studied Business Intelligence | Web Developer | Pencinta Humanisme dan Teknologi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Revolusi Pendidikan di Indonesia, dari Metode Belajar Hingga Mata Pelajarannya

31 Maret 2017   15:18 Diperbarui: 28 Agustus 2017   18:33 3876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tawuran antar Pelajar via tempo

Sistem pendidikan di Indonesia masih terbilang kurang bagus, bukan berarti buruk yaa tetapi urgent dan wajib adanya revolusi pendidikan di negara kita tercinta ini. Kenapa? Karena kita harus mengikuti zaman, bukan malah stagnan. Teknologi berkembang dengan sangat cepatnya, sekolah-sekolah di Indonesia harus mulai banyak berinovasi. Mungkin kita bisa belajar atau meniru sistem pendidikan di negara-negara lain, sebutlah seperti Singapura, Jepang atau Finlandia. Namun, bukan berarti kita harus mengikutinya secara mentah-mentah sistem pendidikan negara-negara tersebut tanpa mengkaji ulang kembali. Ada yang harus benar-benar diubah dan ada pula yang harus dipertahankan.

Salah satu hal yang wajib diubah dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah peran antara siswa dan guru. Saat ini, guru lebih mendominasi dalam kelas dibanding siswa. Mari kita ilustrasikan peran siswa dan guru di kelas seperti di bawah ini.

Guru datang ke kelas dan kemudian mengajarkan teori tentang Aljabar kepada para siswa, lalu setelah itu guru menawarkan pada siswanya untuk bertanya (biasanya tidak ada, sekalipun ada beberapa siswa yang belum mengerti), lalu setelah itu guru memberikan tugas yang sudah ada di dalam buku untuk dikerjakan oleh para siswa. Tugas dikumpulkan dan selesai.

Bandingkan dengan ilustrasi di bawah ini. 

Guru datang ke kelas, kemudian membagi siswa menjadi beberapa kelompok secara fair (minimal ada siswa 10 besar di kelompok tersebut) untuk mengerjakan tugas Aljabar. Guru berkeliling dan siswa pun mau tidak mau harus bertanya, karena mereka sama sekali belum diajarkan perihal Aljabar tersebut. Setelah tugas selesai, setiap kelompok mengirimkan satu perwakilan untuk menjelaskan dan menjawab satu soal di depan kelas.

Apa yang membedakan ilustrasi pertama dengan kedua? Keduanya sama-sama mempelajari tentang Aljabar, namun hal yang paling kentara perbedaannya adalah peran siswa dan metoda pembelajarannya. Ilustrasi kedua lebih banyak mengikutsertakan peran siswa dibandingkan guru. Mungkin akan terdengar sulit jika siswa diharuskan untuk mengerjakan sesuatu tanpa mempelajarinya terlebih dahulu. Namun hal ini melatih siswa untuk berpikir secara kritis, bagaimana mengatasi masalah dan melakukan sesuatu secara berkelompok. Mungkin agak sedikit ekstrim, tetapi patut untuk dicoba meskipun tidak semuanya harus dikerjakan secara kelompok dan kadangkala harus dikerjakan secara individual.

Metode pembelajaran lainnya, seperti dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Mungkin guru bisa mencoba menyediakan buku (membeli/meminjam di perpustakaan), semisal novel Laskar Pelangi untuk dibahas di kelas selama beberapa minggu. Selama beberapa minggu tersebut guru maupun siswa akan berdiskusi tentang isi buku tersebut secara bertahap, beberapa bab setiap harinya: Majas apa saja yang digunakan, tentang paragraf, unsur ekstrinsik dalam cerita, membaca penggalan cerita, makna yang terkandung di dalam cerita, dsb. Terakhir, setelah semuanya selesai. Guru akan menugaskan siswa untuk membuat resensi buku atau memberikan tes tertulis/lisan seputar novel Laskar Pelangi tersebut.

Selain novel, di minggu lainnya, objek bisa diganti mengunakan majalah, paper, koran, biografi, dsb. Membaca puisi di depan kelas, membuat cerpen, membaca pidato, dsb. Intinya siswa tidak hanya diam dan menerima tugas semata, ada peran dan keikutsertaan mereka dalam kelas. Mereka diajak untuk berpikir kreatif dan berwawasan luas.

Selain metode pembelajarannya, mata pelajaran pun harus ada yang ditambahkan. Ini hanya opini saya saja, mungkin sekolah-sekolah di Indonesia harus menerapkan 7 mata pelajaran di bawah ini ke dalam kurikulum mereka:

  1. Entrepreneurship
    Entrepreneurship atau kewirausahaan, mata pelajaran ini bisa mulai diterapkan saat jenjang SMA atau perguruan tinggi. Siswa maupun mahasiswa dituntut untuk mempelajari dan paham tentang dunia kewirausahaan secara teori maupun secara praktik. Nantinya, hasil akhir ini siswa dituntut untuk melakukan praktik secara langsung dan melaporkannya secara tertulis. Banyak hal yang bisa dilakukan siswa untuk menghasilkan uang, semisal dengan cara berjualan; berjualan kue, berjualan pulsa, pakaian, dsb. Dan nantinya, hasil penilaian akan dilihat dari kinerja maupun laporan tertulisnya. Manfaat yang akan siswa dapatkan dari mata pelajaran ini, yaitu merangsang mereka untuk ke depannya bisa menjadi wirausahawan yang handal dan dapat membuat lowongan pekerjaan baru bagi yang lainnya. 
  2. Musik
    Mungkin musik sudah termasuk dalam pelajaran Kesenian, namun porsinya sangat sedikit. Jadikanlah musik sebagai pelajaran tambahan tersendiri, siswa diajarkan untuk bernyanyi, membaca not balok, memilih dan memainkan instrumen musik yang mereka sukai, dll. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa musik memiliki dampak positif bagi otak, mengurasi rasa sakit, baik untuk kesehatan mental, dsb. Siswa pun perlahan akan berpikir secara kreatif, melatih otak kanan dan menambah kepercayaan diri mereka.
  3. Pendidikan Moral
    Mungkin ini bisa digabung atau dipisah dengan mata pelajaran Pendidikan Agama. Namun, nyatanya sekolah dengan sistem pendidikan agama sekalipun tidak menjamin seseorang untuk menjadi siswa yang bermoral. Intinya, mata pelajaran ini mengajarkan siswa untuk saling menghormati satu sama lain, terhadap teman sebaya, guru maupun orangtua. Toleransi dalam beragama, berlaku sopan terhadap siapapun, menghormati perbedaan, berkata santun, dll. Hal ini bertujuan untuk menjadikankan siswa memiliki moral yang baik, mencegah perilaku anarkis, kegiatan tauran, amoral, dsb.
  4. Teknologi Informasi dan Komunikasi
    Sangat disayangkan ketika TIK dijadikan sebagai pelajaran tambahan, bukan wajib. Sekolah-sekolah di Indonesia harus berubah dan mulai berinovasi, salah satunya contohnya adalah SMA 1 PSKD yang menambahkan eSport sebagai mata pelajarannya. Jangan sampai, saat nanti siswa sudah memasuki dunia kerja tidak mampu mengerjakan tugas dari atasan, semisal menggunakan Microsoft Excel atau malah ada siswa yang tidak bisa mengoperasikan komputer sama sekali (miris). Siswa-siswa di Indonesia jangan sampai masuk dalam kategori gaptek (gagap teknologi), minimal mereka bisa mengoperasikan komputer, Microsoft Office, mengirim email, dll.
  5. Memasak
    Mungkin terdengar lucu, namun di Jepang sana ada pelajaran khusus untuk memasak dan disediakan juga ruangan khusus untuk memasak. Hal ini bermanfaat untuk para siswa, khususnya bagi laki-laki yang notabenenya jarang memasak. Jadi, diharapkan siswa nantinya dapat memasak sendiri, tanpa harus selalu bergantung pada orangtua ataupun orang lain. Pelajaran ini akan mulai terasa manfaatnya ketika siswa sudah tidak tinggal lagi dengan orangtua, tinggal sendiri di kost atau merantau ke kota/negara lain. 
  6. Kesehatan
    Pelajaran ini mungkin bisa diterapkan saat kelas 3 SMA, siswa dituntuk untuk mengetahui cara melakukan pertolongan pertama, seperti pernapasan buatan, mengobati luka, dll. Selain itu diajarkan pula tentang Sex Education, seperti bahaya aborsi, cara menggunakan kondom, bahaya HIV/AIDS, mengetahui proses kehamilan, dll. Diajarkan pula tentang nutrisi, bahaya obesitas, gizi, bahaya makanan cepat saji (junk food), dll.
  7. Kemandirian
    Di jepang setiap siswa diajarkan sejak dini untuk pergi maupun pulang ke sekolah sendiri, mereka diajarkan untuk hidup secara mandiri. Pelajaran Kemandirian ini bisa mengajarkan pada siswanya untuk hidup secara mandiri, tanpa harus terus menerus bergantung kepada orang lain. Seperti naik kereta (di Jepang ada pejarannya), berkemah, mengadakan pertukaran siswa antar sekolah, pergi ke bandara, menginap beberapa bulan di suatu desa terpencil, dll. 

Sebenarnya tidak apa-apa banyak perubahan pendidikan di negara kita, lihat saja sekelas Jepang pun pernah beberapa kali merombak sistem pendidikannya. Namun, yang terpenting adalah rentang waktu untuk mengkaji, meneliti maupun menganalisis sistem baru pendidikan tersebut. Tidak boleh terburu-buru, dan setelah proses panjang pun, harus ada sosialisasi yang masif dan matang, seperti pengumuman perubahan sistem pendidikan, dilakukan secara bertahap di beberapa daerah/kota, mengadakan training/latihan kepada seluruh SDM guru maupun staf sekolah, sosialisasi pada siswa maupun orangtua, dll. Jangan hanya berfokus pada perkotaan, lihat pula di beberapa daerah tertinggal yang masih banyak sekolahnya yang rusak, bahkan ada yang sampai tidak layak untuk dijadikan sekolah bahkan sampai kasus sekolah roboh pun pernah terjadi di negara tercinta kita ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun