Para pelaku sudah berusaha dan menunjukkan keberhasilan mereka mengorbitkan komoditas yang satu ini sebagai kekuatan. Sekarang kembali pada pemerintah sebagai pengelola negara ini, apakah mau dan punya keinginan yang sama.
Dalam globalisasi saat ini, keterkaitan dan saling ketergantungan antar negara dan bangsa tidak mungkin bisa dihindari. Untuk itu, maka disusunlah berbagai standar yang dijadikan acuan bersama atas suatu hal yang dianggap mempengaruhi globalisasi.Â
Dalam konteks kelapa sawit, standar yang sering digunakan adalah standar lingkungan hidup. Secara konseptual, standar tersebut baik dalam kaitannya menjaga dunia sebagai sebuah ekosistem besar dan kompleks. Namun standar tersebut sangat kental dengan kepentingan di luar kepentingan lingkungan hidup itu sendiri.
Jika bicara lingkungan hidup, mesti dilihat dalam sebuah kerangka besar lingkungan hidup dan faktor yang mempengaruhi dan bukan hanya masalah parsial seperti urusan kelapa sawit dan kerusakan hutan tropis belaka. Lihat saja Protokol Kyoto yang dulu dibuat bersama-sama untuk masalah lingkungan ternyata tidak diikuti dengan tindakan kongkrit dari negara-negara penggagas yang utamanya adalah negara maju seperti Amerika Serikat. Mengapa demikian? Tidak lain karena penerapan protokol tersebut akan mengganggu industri dan ekonomi mereka, yang tentu saja akan berdampak pada berkurangnya dominasi pada sektor tersebut. Atau ketika semua bicara emisi CO2. Negara lain yang berteriak, tapi hebatnya mereka juga pengemisi terbesar dan tidak terlihat upaya penurunan emisi yang signifikan dari mereka.
Kondisi tidak imbang dalam globalisasi ini adalah realitas yang kita hadapi dan mesti kita sikapi. Namun penyikapan itu tidak mungkin bisa dilakukan tanda adanya daya tawar yang cukup kuat dalam ‘pertarungan’ terutama di bidang ekonomi. Di sinilah kelapa sawit mesti dilihat sebagai salah satu daya tawar yang harus dioptimalkan. Tidak hanya bagi industri kelapa sawit itu sendiri, namun juga bagi kepentingan nasional kita. Tentu saja akan banyak pihak yang mencoba mengganggu penguatan daya tawar ini dan hal tersebut sah-sah saja dalam kompetisi bebas sekarang ini. Masalahnya, apakah kita mau ditekan tanpa memiliki daya tekan balik?
Kebutuhan dunia akan minyak nabati untuk berbagai kebutuhan terus meningkat dan peningkatan tersebut dapat dengan cepat dijawab oleh minyak kelapa sawit ketimbang minyak nabati lainnya. Akan lebih menarik lagi jika kita melihat bahwa minyak nabati ini dapat menggantikan minyak fosil sebagai bahan bakar yang makin berkurang dan akan habis. Dan bahan bakar nabati adalah bahan bakar ramah lingkungan serta dapat diperbaharui.
Jelas bahwa kelapa sawit kita memiliki daya tawar tidak hanya untuk saat ini, namun dalam jangka panjang. Dan ini harus dimanfaatkan untuk kepentingan kita.
Namun demikian, berbagai masalah yang mengganggu industri ini mesti terus menerus diperbaiki dan disempurnakan solusinya. Selain itu, perbaikan dan penyempurnaan tersebut harus juga memperhatikan sektor lain yang terkait. Â Hal ini dilakukan agar penguasaan kita tidak juga mengorbankan kepentingan lain kita, baik internal maupun eksternal.Â
Kepentingan dimaksud adalah kepentingan akan kelestarian alam yang berdampak pada kemampuan alam memberikan sumber dayanya kepada kita, ketahanan pangan berupa ketersediaan pangan domestik dan penguatan komoditas pertanian atau  produk lain, baik dalam memenuhi kebutuhan domestik maupun pada perebutan pasar internasional.
Pengembangan riset dan teknologi terkait kelapa sawit seperti pemanfaatan lahan terlantar dan pembangunan industri hilir yang dapat menyerap produksi merupakan salah satu solusi yang mesti diambil. Selain mengurangi berbagai dampak seperti lingkungan, ancaman ketahanan pangan dan konflik, semua hal tersebut dilakukan dalam upaya kita bersama mempertahankan sawit sebagai salah satu kekuatan kita sembari membuka peluang menghasilkan kekuatan-kekuatan baru di masa mendatang.
Para pelaku sudah berusaha dan menunjukkan keberhasilan mereka mengorbitkan komoditas yang satu ini sebagai kekuatan. Sekarang kembali pada pemerintah sebagai pengelola negara ini, apakah mau dan punya keinginan yang sama. Jika tidak, menjadi pertanyaan mau dibawa kemana industri kelapa sawit kita? Â