Mohon tunggu...
Ray RS
Ray RS Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Warganegara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Pangan dan Kedaulatan

25 November 2015   23:28 Diperbarui: 25 November 2015   23:36 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dan dalam diplomasi internasional, setiap tindakan pasti akan ada pamrih di belakangnya dan ini wajar-wajar saja. Jangan berharap ada ketulusan jika berbicara dalam entitas bernama negara, entah karena persamaan rumpun/ras, agama maupun persamaan lainnya.

Ketahanan Pangan (dalam istilah internasional disebut food security) merupakan sebuah elemen penting dalam ketahanan nasional sebagai jaminan terjaganya kedaulatan sebuah negara baik dari ancaman internal maupun ancaman ekternal. Kebutuhan pangan warga negara harus dijamin tersedia agar tidak terjadi permasalahan, baik berupa gejolak sosial, bencana kemanusiaan serta intervensi eksternal.

Gejolak sosial dapat dipicu karena langkanya bahan pangan yang secara linier diikuti dengan tingginya harga. Masyarakat dengan daya beli rendah kesulitan mendapatkan makanan. Kesulitan ini jika terakumulasi akan menjadi frustasi yang berujung pada kerawanan sosial dan kerentanan terhadap konflik sosial. Bencana kemanusiaan dapat disebabkan oleh ketidaktersediaan pangan bagi masyarakat dengan berbagai penyebab yang berujung pada tragedi kelaparan dan meningkatnya tingkat malnutrisi atau kekurangan gizi pada wilayah yang terkena bencana tersebut.

Indonesia dalam sejarahnya memang belum mencapai gejolak sosial yang disebabkan oleh kelangkaan pangan, namun bencana kemanusiaan berupa kelaparan mulai menghantui dan sudah terjadi di beberapa tempat dengan akses minim seperti Yakuhimo, Papua. Demikian juga dengan kejadian malnutrisi atau kekurangan gizi yang muncul melalui berita-berita di media massa baik cetak maupun elektronik.

Meskipun belum mencapai gejolak sosial, namun tingkat ketergantungan pangan kita terhadap impor dan kemampuan produksi yang tidak imbang dengan populasi yang terus bertambah harus diwaspadai dan mulai dilakukan antisipasi secara sistematis dan dengan ukuran pencapaian target yang jelas. Meskipun terlambat, mesti dilakukan untuk menghadapi kondisi ke depan, baik di dalam maupun di luar negeri. Peningkatan populasi yang tidak hanya terjadi di Indonesia tentu akan mempengaruhi perebutan bahan pangan impor dari negara eksportir pangan. Dan daya tawar negara eksportir akan meningkat seiring dengan keterdesakan negara importir akan kebutuhan lokalnya. Transaksi yang akan terjadi tidak hanya pada urusan jual-beli produk pangan, namun akan diikuti dengan transaksi lain, baik ekonomi maupun politik.Dan pada titik ini, intervensi ekternal harus menjadi ancaman serius pada kedaulatan negara.

Intervensi ekonomi bisa berupa syarat pembukaan pasar Indonesia untuk produk lain yang dimiliki negara eksportir. Pembukaan pasar ini akan menyebabkan masalah tambahan baru, karena jika produk yang akan masuk juga memiliki produsen lokal maka dapat dipastikan persaingan pasar akan semakin menyulitkan produsen lokal jika mereka tidak mendapatkan dukungan penuh dari negara dalam melakukan persaingan di pasar. Dukungan tidak harus berupa proteksi, namun juga dukungan dalam meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya-biaya yang tidak perlu serta dukungan riset dan teknologi.

Intervensi politik dapat berupa perubahan beberapa regulasi dan kebijakan yang berujung pada keleluasaan negara eksportir untuk masuk melakukan penetrasi baik secara sosial (dengan infiltrasi budaya) maupun secara ekonomi (dengan keunggulan bersaing yang didukung kebijakan yang diubah sebelumnya).

Kepentingan negara-negara eksportir tersebut bukan merupakan sesuatu yang aneh dan haram. Justru sudah seharusnya seperti itulah peran sebuah negara dalam mendukung kekuatan dan daya tawar nasionalnya terhadap negara lain. Dan dalam diplomasi internasional, setiap tindakan pasti akan ada pamrih di belakangnya dan ini wajar-wajar saja. Jangan berharap ada ketulusan jika berbicara dalam entitas bernama negara, entah karena persamaan rumpun, ras, agama maupun persamaan lainnya.

Pertanyaan besarnya bagi kita kemudian adalah apakah kita ingin berdaulat di negara kita sendiri atau kita hanya ingin menjadi bangsa pedagang semata? Pertanyaan ini mesti dijawab oleh pemerintah sebagai pelaksana harian negara ini. Jangan berharap petani memikirkannya, karena memikirkan hidup sehari-hari di tengah gempuran produk impor saja sudah cukup memusingkan.   

 

Catatan: Penah dimuat di Majalah Agro Swakarsa, Edisi Mei 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun