Mendengarkan paparan dari Hangzhou Boiler Group Co (HBG) yang difasilitasi oleh PT BRIL mengenai Mesin Incinerator PLTSa pada 30 Oktober 2014 di Hotel Aston, Bandung. Dimana dalam pemaparan tersebut dijelaskan secara detail tentang gas buang dan cara kerja mesin yang menjadi kekhawatiran selama ini ternyata masih dalam tahap aman bagi masyarakat, dijelaskan pula akan ada alat kontrol bagi masyarakat berupa control board yang selama 24 jam memantau terus gas buang dan emisi yang dihasilkan oleh mesin tersebut. Ditambah pernyataan Ketua Komisi C DPRD Kota Bandung yang mengatakan apabila dalam perjalanannya ternyatamesin tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah dijanjikan, beliau akan berada di garis paling depan untuk menutup PLTSa tersbut. Tetapi setelah pertemuan antara kedua pihak yang pro dan kontra terhadap permasalah tersebut, pada akhirnya tetap saja masih ada keraguan dan kekhawatiran dari sebagian pihak.
PLTSa sebagai salah satu alternatif kebijakan yang diambil oleh pemerintah kota bandung terdahulu dalam menangani masalah sampah harus dilihat hanya merupakan salah satu bagian dari solusi permasalahan pengelolaan sampah di kota bandung, terlepas dari isu sosial dan ekonomi yang menyeruak terhadap kebijakan tersebut, PLTSa bukanlah solusi final. Perlu kita ketahui bersama pada saat ini Kota Bandung menghasilkan sampah sebanyak 1.500 Ton/Hari dimana pada pemaparan tersebut dijelaskan bahwa PLTSa hanya mampu mengolah sampah sampai 700 Ton/Hari, maka masih ada sisa sampah yang cukup besar yang perlu dipikirkan penanganannya.
Sistem konvensional Open Dumping yang sedang berjalan saat ini di kota bandung mempunyai kelemahan dan keterbatasan, selain memerlukan lahan cukup besar yang tidak berada dalam wilayah administratif kota bandung, sistem ini juga sama-sama menimbulkan masalah sosial dan lingkungan bagi masyarakat disekitarnya. TPS Sarimukti yang kemarin gencar diberitakan di media, dimana masyarakat sekitar TPS menuntut Pemerintah Kabupaten Bandung untuk menutup TPS tersebut dikarenakan menurut mereka Pemkot Bandung Lalai dalam merealisasikan kompensasi yang telah dijanjikan bagi masyarakat yang terkena dampak menjadi peringatan bagi kita, bahwa kita tidak dapat selalu menggantungkan solusi terhadap daerah lain, karena ketika hal seperti ini terjadi maka kita tidak dapat berbuat banyak.
Masih terngiang dibenak kita juga saat Pemkot terlambat dalam mengantisipasi dan gagal dalam membuat rencana alternatif dalam menangani sampah pada tahun 2005, ketika TPA leuwigajah mengalami musibah longsor, selain menelan korban jiwa, saat itu seminggu setelah penutupan TPA tersebut, kita dapat mudah melihat tumpukan atau lebih tepatnya disebut gunungan sampah di TPS- TPS di daerah atau di jalan dan lahan kosong di Kota Bandung, sehingga Bandung sempat dijuluki Bandung Lautan Sampah.
Perlu Kita ketahui bersama bahwa Lebih dari 50 Persen sumber sampah berasal dari pemukiman, dan yang lainnya berasal dari pasar, industri, fasilitas umum, area komersial, walaupun untuk beberapa tempat yang saya sebutkan pengelolaan di tingkat areal teserbut dapat termanage dengan baik, hal itu terjadi karena memang ada regulasi yang mengikat dan dapat diawasi dengan mudah. Tetapi bagi sampah yang berasal dari pemukiman terlihat tidak ada upaya serius dari pemkot untuk membenahi pengelolaan sampah di tingkat RT maupun RW.
Saat ini telah ada upaya dari pemerintah kota bandung, dalam hal ini Bapak Walikota Ridwan Kamil yang mulai membenahi pengelolaan sampah di Kota Bandung dengan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi, dan memberikan edukasi untuk meningkatkan kesadaran warga, atau juga membangun infrastruktur pendukung yang membuat masyarakat ikut berpartisipasi dalam menangani masalah sampah tersebut. Gerakan Pungut Sampah (GPS) yang terus disosialisasikan di dalam lingkungan pemerintahan, sekolah maupun di komunitas-komunitas, dan masyarakat umum dapat diapresiasi sebagai usaha Walikota untuk meningkatkan kesadaran warga, walaupun dalam pelaksanaannya hal ini kurang efektif karena hanya bersifat imbauan dan dalam pelaksanaannya hasil yang diperolah tidak dapat terukur. Begitu juga dengan infrastruktur pendukung yang dibangun oleh pemerrintah kota dengan tempat-tempat sampah di jalanan kota dan pada titik-titik tertentu terlihat belum mendapatkan tempat di hati msayarakat, hal ini sebagian besar disebabkan oleh penempatan infrastruktur tersebut di titik yang tidak sesuai dan juga karena masyarakat belum tergerak untuk sedikit mengupayakan membuang sampah pada tempat yang telah disediakan. Terakhir ada satu rencana Pemerintah Kota yang menarik, yang saya pikir akan mempunyai dampak yang signifikan dalam mengatasi permasalahan sampah ini, yaitu akan diaktifkannya PERDA yang menyatakan bahwa tindakan membuang sampah di sembarang tempat akan mendapatkan denda yang besarannya antara 250 ribu s/d 50 juta tergantung tingkat pelangarannya. Peraturan ini apabila disosialisasikan dan dijalankan dengan benar akan memaksa masyarakat untuk ikut bertartisipasi menjadi bagian dari solusi permasalah di kota bandung.
Melihat hal-hal diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kunci utama dalam meanangani maslaah sampah adalah manusia'nya itu sendiri, dimana solusi yang diambil harus dimulai dan berasal dari tingkat dan lingkungan daerah terbawah yaitu lingkungan RT dan RW. Disinlah seharusnya pemerintah Kota memusatkan perhatiannya dalam pengelolaan sampah. Buatlah analisa mengenai titik dan alur sampah dari daerah pemukiman di tingkat RT dan RW, sehingga kita dapat memetakan dimana seharusnya infrastruktur pendukung pegelolaan sampah dapat ditempatkan, dan Pemerintah Kota pun harus segera membuat program yang terukur yang dalam pelaksanannya melibatkan warga di daerah tersebut dengan misalkan mengkombinasikan gerakan pungut sampah dengan pengelolaan sampah swadaya seperti Bank Sampah yang mana selain dapat mereduksi volume sampah juga dapat memberdayakan warga sekitar, atau misalkan pemerintah kota membentuk team yang dikoordinasikan oleh dinas terkait untuk menangangi dan bertanggung jawab atas permasalahan sampah di tingkat RW yang jumlah personilnya disesuaikan dengan jumlah sampah yang berasal dari daerah tersebut.
Merujuk kepada prinsip 4P (reduce, reuse, recycle, replace), banyak hal yang dapat dilakukan dari hasil pemilahan sampah tersebut, masyarakat misalnya dapat diberikan pelatihan keterampilan mengolah dan mengkreasikan sampah non organik menjadi sebuah produk yang dapat dijual ataupun digunakan kembali, atau sampah organik yang dapat dibuat sebagai pupuk kompos. Akan tetapi biasanya program-program seperti ini selalu macet ditengah jalan, karena kurang konsisten dukungan dari pemerintah kota.
Saya yakin ketika pemerintah kota mulai serius dalam merencanakan hal ini dengan matang maka pada saatnya nanti ketika pengelolaan sampah di tingkat masyarakat telah menjadi budaya, maka permasalahan sampah di kota bandung akan dengan mudah terselesaikan, kalaupun PLTSa ada akhirnya diputuskan untuk dibangun, maka sisa volume sampah yang ada akan secara signifikan tereduksi. Karena cara apapun dan secanggih apapun teknologi dalam menyelesaikan masalah sampah ini, tanpa kesadaran dan keterlibatan warga maka akan sangat sulit masalah sampah ini dapat terselesaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H