Mohon tunggu...
Manzila Manzila
Manzila Manzila Mohon Tunggu... -

nanti ya...kalau sudah banyak yang keren-keren yang bisa dituliskan...sebentar lagi....sabar....

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tentang Let a Thousand Flower Bloom nya Homogenic

29 Juli 2010   18:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:28 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Saya tak nekat nulis review album deh. Saya jarang sekali menulis resensi musik. Seingat saya cuma dua kali. Yang pertama saya menulis tentang Ports of Lima nya Sore di Friendster (jaman dulu banget ya?hehe). Lalu yang kedua sebenarnya nggak layak dibilang resensi, karena saya cuma cerita, bilang kalau saya suka triphop, Everybody Loves Irene, dan Kartika Jahja, itu saja.

Nah, jadi ini resensi ngaco saya yang ketiga. Jangan berharap banyak. Saya ini buta sama sekali tentang teori musik, jenis-jenis dan genre-genrenya. Pokoknya nol besar lah. Saya hanya seorang penikmat sejati. Cuma bisa terima jadi. Proses dan teknisnya sih saya awam!

Oke-oke, sudah siap?

Ini tentang Let A Thousand Flower Bloomnya Homogenic.

Homogenic. Saya nggak tahu band ini alirannya apa. Saya pertama tahu mereka waktu SMA. Dari MTV. Lagu yang pertama saya dengar adalah Utopia. Kesan pertama: Riang. Baru setelah saya tahu liriknya saya jadi tertarik dan mulai kagum. Bagi saya lirik lagu utopia sebenarnya relatif getir sih.

Hadirmu utopia. Senyumku utopia. Rinduku utopia. Khayalku utopia.

Sedih juga ya kan? Tapi bagian lain liriknya optimis, manis.

Kudengar dunia bernyanyi lagi. Nada-nada terindah mendamaikan bumi. Nananaa kujelang hari, kujelang mimpi.

Hum, saya suka kesedihan yang diungkapkan dengan cara yang tidak berlebihan. Rasanya kesedihan itu wajar, dan masih bisa dijadikan menyenangkan. Selalu ada harapan. Dan sejak itu, ketika saya sedih, merasa gagal, tapi sedang tak ingin berlarut-larut, maka Utopia lah yang saya putar. Dan biasanya saya nggak jadi nangis, dan adegan sedih akan berubah jadi adegan dansa kecil-kecilan, biasanya sambil nyapu atau mencuci piring :p.

Saya lalu hunting lagu-lagu Homogenic yang lainnya. Saya nggak jatuh cinta sama semua lagu mereka di album Epic Symphony dan Echoes of Universe. Soalnya ternyata memang nggak semua se-‘ceria’ Utopia. Homogenic cenderung apa ya musiknya? Yang tenang dan kontemplatif gitu, dan kadang sedih juga sih. Saya suka juga, cuma nggak selalu. Jadi favorit saya beberapa saja, Transmutasi, Kekal, Faithful Dreams, Akhir Episode, hum...sisanya saya dengarkan kalau moodnya memang sedang datang. Kalau didengar pas lagi nggak mood, beberapa lagu di dua album mereka ini kadang terdengar agak seragam di kuping saya (kuping saya lho ini) dan saya jadi kurang bisa mengapresiasi.

Saya mulai dengar Homogenic lagi setelah nonton film c.i.n.(T).a. Nah diwaktu inilah saya baru nyadar kalau beberapa lirik mereka bisa jadi dilematis dan religius. Cocok ternyata sama filmnya. Tengok saja liriknya Kekal, main score nya tuh film kayanya.

Langkahku terpejam. Titik ku berada. Perlahan arahku memudar

Semu bayangku. Cermin tak berujar. Kemana arahku berjalan?

Nah, karena lihat film ini juga saya jadi tahu kalau Homogenic bikin album baru. Let A Thousand Flower Bloom. Dan saya sedari awal tertarik. Soalnya lagunya memang unik-unik. Apa ya? Relatif lebih segar daripada lagu-lagu mereka sebelumnya (kemeruh). Soundtracknya c.i.n.(T).a pake Homogenic semua ternyata. Nah yang lucu tuh, kalau lagu-lagu dari album Epic Symphony sama Echoes of The Universe selalu diputer untuk mengiringi momen sedih, lagu-lagu dari Let A Thousand Flower Bloom sebaliknya, untuk momen yang lebih ceria, atau kalo nggak yang manis-manis.

Destiny misalnya, diputar di awal film untuk mengiringi adegan hari pertama Cina di arsitektur ITB. Musiknya yang lumayan semangat, cocok sekali digabung dengan scene Cina berangkat ke kampus dengan jalan agak lari-lari girang, berlari menaiki tangga, juga adegan yang menampakkan spanduk selamat datang dengan tulisan “Selamat datang putra-putri terbaik bangsa”

Selain itu ada juga Senja Berganti dan Seringan Awan yang mengiringi bagian paling klise sekaligus manis dari film itu. Jatuh Cinta! Hahahahaha

Well, tentu saja album ini tak harus selalu dikait-kaitkan dengan film itu lah. Menurut saya album ini memang bagus pada dasarnya, entah itu dikorelasikan dengan film yang disoundtrackin atau dinikmati sendiri, terpisah.

Album ini lebih ceria dan lebih berwarna dari album sebelumnya (lagi-lagi kemeruh). Jujur saja, bagi saya ini album terbaik Homogenic. Pertama mendengar full albumnya, kesannya indaaah sekali. Nggak tahu kenapa juga sih. Saya nggak bisa menjelaskannya. Anda juga mungkin merasakan kesan yang berbeda. Tapi manis, bagi saya album ini manis.

Kalau dinikmati dengan suasana hati yang tepat, anda bisa serasa dibawa bertamasya sambil berdansa. Ke tempat dimana a thousand flower bloom. Kebun bunga! Dunia imajinasi yang indah, hahahaha. Nggak tahu lah. Lebay mungkin tapi serius, itu yang saya rasakan.

Beberapa lagu dalam album ini mengingatkan saya pada beberapa lagunya Guruh atau Djaduk Ferianto ya? Nggak tahu, dulu pas saya SD ayah saya pernah nyetel komposisi-komposisi macam itu pokoknya.Yang tenang dan aduh apa itu namanya, lagi-lagi saya nggak punya kosa kata musiknya... Coba dengar sendiri saja lah. Senja Berganti dan Weeping Mother Earth. Agak etnik juga sedikit mungkin (kalau nggak salah diksi nih), di bagian awal-awalnya.

Selain itu juga ada yang beatnya unik. Ceria dan liriknya pun “silly sweet”. Judulnya Radio.

Baby I’m in trouble. No, you’re in trouble. Yes we’re in trouble

But, it’s sweet anyway

I might miss you. No...Yes I miss you. Gonna-gonna miss you. I might be runaway from you. No.... Yes I’ running from you. But I’m gonna-gonna miss you.

Saya suka musiknya dan suka juga bagian-bagian repetitif dari liriknya. Secara keseluruhan juga kesannya “mbanyol” lagu ini. Semacam cinta bingung karepe dewe. Nggak tahu menurut anda, tapi yang ini saya suka :D

Surrealism juga seru. Musiknya cocok sama judulnya, somehow surreal :p.

Tapi beberapa lagu juga terdengar ngepop sekali ( ini rasanya istilah saya untuk kurang Homogenic, saya nggak nemu padanan kata lain yang pas, saya miskin kosakata L). Lagi-lagi ini cuma pendapat subyektif saya sih. Tapi pertama kali saya dengar Dear Lullaby sama Happy Without You saya agak nggak ngeh kalo ini Homogenic. Baru setelah saya dengar beberapa kali, saya manggut-manggut. Iya sih...masih Homogenic kok. Hehehehe.

Overall, album ini hebat. Oia, tapi saya nggak tahu album ini digarap pake formasi lama ato baru. Tapi rasanya tetap asik saja lagu-lagu mereka.

Coba deh! Buat yang nggak biasa denger lagu-lagu band indie, Homogenic relatif mudah diterima kok. Saya berhasil mempengaruhi dua orang teman saya yang biasanya nggak suka musik beginian. Sekarang malah mereka dengan senang hati mendeklarasikan bahwa Homogenic itu bagus, entah itu di status facebook, atau di info musik kesukaan mereka. Hahahaha. Menurut saya memang sebenarnya musik-musik ini nggak seaneh yang mereka kira sih. Mereka cuma belum nyoba dengar dengan seksama aja. Hehe.

Okeh! Capek sudah saya ngetiknya. Silahkan dicoba, dan mari kita lihat apakah pengalaman dan khayalan “kebun bunga fantasia” saya itu gila atau masuk akal juga adanya... :p

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun