Merdekanya Indonesia dari cengkraman para penjajah pada 17 Agustus 1945 tampaknya tidak pernah menyelesaikan polemik bangsa ini. Muara nasionalisme kembali didengung-dengungkan sebagai titik balik dalam berbangsa dan bernegara. Globalisasi pun ikut tertuduh sebagai "pelaku utama" penyebab terjadinya problematika tanah air. Lantas, sudah selaraskah paham nasionalisme kita?
Dewasa ini, nasionalisme dihadapkan dengan masa transisinya dan penafsiran yang mulai beragam dan terus berkembang, sehingga keeksistensian nasionalisme di Indonesia kian memudar. Contohnya saja, menurut Yasirli (2015), nasionalisme merupakan sebuah kalimat patriotik yang membuat suatu bangsa sesuai dengan perkembangan zamannya.Â
Sedangkan, Hans Kohn (1984) berpendapat bahwa nasionalisme merupakan perasaan yang dapat diakui secara umum. Maka pada hakekatnya, nasionalisme adalah kesadaran kolektif suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama untuk mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa.
Pengeklaiman lagu "Rasa Sayang-sayange" dan "Reog Ponorogo" yang dilakukan oleh negara jiran beberapa tahun silam, secara tiba-tiba menyerukan rasa nasionalisme bangsa Indonesia. "Ganyang Malaysia!" menjadi slogan persatuan untuk menghadapi "ancaman" dari luar. Masyarakat berbondong-bondong memberikan komentar kejamnya terhadap negara jiran dan mengagung-agungkan bahwa Indonesia lah pemilik asli lagu "Rasa Sayang-sayange" dan "Reog Ponorogo" di sosial media seperti twitter, whatsapps dan facebook. Namun anehnya, sikap cinta tanah air ini hanya muncul sesaat.
Perjuangan para pembela tanah air yang mengorbankan harta, tahta bahkan nyawa seakan tidak berharga. Nasionalisme dibiarkan tergilas modernisasi dan individualisme. Indonesia memang sudah merdeka secara fisik namun tidak dengan mental dan ideologinya. Beragam budaya dan paham kebarat-baratan diberikan keleluasaan untuk menerobos ketahanan nasional Indonesia. Akulturasi hingga hilangnya jati diri kian menunjukkan keberadaannya di tanah air.
Saat ini, masyarakat Indonesia hanya memikirkan apa yang negara berikan untuk mereka tanpa memikirkan apa yang telah mereka lakukan untuk negara. Dengan kata lain, keegoisan lebih condong kepada menuntut hak daripada melaksanakan kewajiban. Salah satunya seperti kemudahaan yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya melalui penerapan self-assessment dalam proses pembayaran pajak.Â
Namun, tak dapat dipungkiri, masih ada saja masyarakat Indonesia yang bersikap enggan untuk membayar pajak dengan alasan kuno seperti tidak paham bagaimana cara mengisi surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak dan tidak ada pihak yang yang membantu dalam proses pelaporan pajak. Alasan seperti ini telah menghakimi fungsi dan tujuan adanya kantor pelayanan pajak (KPP) pratama di setiap daerah.
Perhatian publik saat ini lebih fokus pada praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang merajalela mulai dari hulu sampai ke hilir dan pemberantasannya yang tebang pilih, pelanggaran HAM yang tidak bisa diselesaikan, kemiskinan, konflik antar suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan isu-isu politik. Tujuan dibentuknya negara dan perjuangan para pahlawan dianggap angin lalu. Sedangkan, emosi bangsa hanya tumbuh saat yang dimilikinya direbut dan diambil pihak lain. Realita ini menamparkan keras perjuangan The Founding Fathers yang diagungkan seabad lalu.
Dihadapkan pada situasi seperti ini, Indonesia sangat membutuhkan pioner yang mampu menggugah kembali semangat dan percaya diri bangsa. Disamping itu, janganlah merasa kita ini sebagai bangsa yang besar kalau kita tidak dapat mengatasi persoalan-persoalan yang kerap terjadi di tanah kelahiran kita sendiri. Mari kita bangun negeri ini dengan kerja keras, melaksanakan tugas dengan profesional dan sikap nasionalis yang selalu menggelora, agar negara asing segan dan menghormati kita (Budayawan, 2009).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H