Mohon tunggu...
Rauzatul Jannah
Rauzatul Jannah Mohon Tunggu... Mahasiswi President University Jurusan Akuntansi -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pura-Pura Amnesia atau Keheningan yang Mengkhawatirkan?

13 November 2018   19:06 Diperbarui: 13 November 2018   20:44 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peristiwa besar yang terjadi pada 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 dini hari atau yang lebih dikenal dengan "G30S/PKI" telah menewaskan enam jenderal dan satu perwira TNI AD yang terdiri dari Jend. Ahmad Yani, Mayjen. Donald Ifak Panjaitan, Letjen. M.T Haryono, Kapten Piere Tendean, Letjen. Siswono Parman, Letjen. Suprapto, dan Mayjen. Sutoyo Siswomiharjo. Tulisan Dariyanto, E. & Jajeli, R. (2017) memaparkan bahwa tujuh pahlawan revolusi ini dikubur dalam sebuah sumur mati dengan diameter 75 cm dan kedalaman 12 m oleh sebuah gerakan yang menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September. Sumur tersebut bernama lubang buaya.

Disisi lain, Taher (2010) mengatakan bahwa "Rezim Soeharto mengklaim bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) bertanggung jawab atas G30S; partai itu memimpin atau mengorganisasikan G30S". Dengan tujuan untuk menyelesaikan peristiwa ini, Soeharto tidak hanya menahan tokoh yang dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut. Ia juga memperluas sasaran dengan mengatasnamakan PKI yang dituduh terlibat dan mendalangi G30S (Zurbuchen, 2002). Penyiksaan, penahanan, pelecehan, dan pembunuhan massal terhadap semua orang yang dicurigai "komunis" mengarah pada perkataan Soeharto "Lebih baik salah membunuh sepuluh orang, daripada membiarkan lolos seorang komunis!". Tindak kejahatan kemanusiaan ini berlangsung bak roda yang selalu berputar namun media cetak tidak pernah memberitakan kejadian tersebut karena mereka berada dibawah kontrol orde baru yang dipimpin oleh Soeharto.

Film Senyap (2014) menceritakan perjalanan Adi yang berpura-pura menjadi tukang kacamata dengan tujuan meluruskan sejarah terkait kisah pembunuhan massal di Deli Serdang. Pengungkapan kebenaran peristiwa 1965-1966 ini berjalan dengan penuh kontraversi, dimana beberapa narasumber yang ia temui sangat enggan dan bersikap pura-pura lupa tentang PKI dan politik yang terjadi pada lima puluh tahun silam. Namun, ada beberapa hal mencolok yang dapat digaris bawahi diantaranya proses pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1965-1966,  perkataan Komandan pasukan pembunuh sungai ular yaitu Amir Siahaan dan pernyataan dua orang pembunuh Ramli.

Pertama, hampir seluruh proses pembantaian dilakukan dengan cara yang sangat keji, dimana 20 hingga 30 orang tahanan dibawa pada malam hari dengan menggunakan truk. Namun, dalam perjalanan menuju ke sungai ular, para tahanan sudah terlebih dahulu dibuat babak belur dan tak berdaya sebelum di turunkan dari truk. Hal ini bertujuan untuk membuat mereka tidak mampu melakukan perlawanan pada saat dipenggal dan ditendang ke sungai ular secara tidak manusiawi. Kedua, pernyataan mengejutkan juga dilontarkan oleh Amir Siahaan yang mengatakan bahwa "Yang berbahaya bukan PKI yang terdaftar tapi yang tidak terdaftar". Lain halnya dengan pernyataan pembunuh Ramli, mereka menceritakan bahwa "Pada saat proses pembunuhan dilakukan, para TNI AD berjaga disekitar truk dan tidak berjalan ke sini (sungai ular), karena kalau ini dikatakan perjuangan pemerintah maka dunia akan marah karena Indonesia membasmi PKI. Padahal, pada kenyataanya, kami (rakyat) melakukannya atas dasar perintah mereka". Dua pernyataan ini jelas mengundang berbagai pemikiran mendalam tentang siapakah PKI yang tidak terdaftar, siapa dalang dibalik semua peristiwa yang tak berujung ini dan apakah PKI akan bangkit lagi.

Munculnya video yang diunggah oleh Jakartanicus pada tahun 2017 dengan judul "Road to Justice", menjelaskan bahwa beberapa peneliti dari Indonesia dan luar negeri telah menemukan bukti mengenai peristiwa setelah 1 Oktober 1965 yang terjadi di Indonesia. Namun, penemuan ini sangat berbahaya apabila di bahas di Indonesia karena di Indonesia sangat rentan di cap negatif dan dibubarkan. Oleh karena itu, pada tahun 2014, muncul inisiatif untuk membentuk International People Tribunal (IPT 65) yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara resmi dan sukarela dengan menggunakan format sidang pengadilan. IPT 65 yang diselenggarakan di Denhag (Belanda) menghadirkan 20 saksi terkait peristiwa tak manusiawi tersebut seperti saksi dari Pulau Buruh, saksi dari Komisioner KOMNAS HAM, KOMNAS Perempuan, para peneliti hingga korban dari peristiwa tersebut. Setelah melalui proses pengamatan dan diskusi mengenai penemuan bukti-bukti baru terkait peristiwa 1965-1966, pada Juni 2016, hakim mengumumkan hasil sidang sebagai berikut: a) Indonesia bertanggung jawab untuk menyelidiki dan menghukum pelaku baik secara hukum Indonesia maupun hukum Internasional. b) Terdapat dua jenis pelanggaran berat  yang terjadi di Indonesia yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. c) Indonesia harus mengungkapkan kebenaran dengan apa yang terjadi sebenarnya sehingga generasi selanjutnya dapat mengambil pelajaran dari masa lalu.

Hingga saat ini, kebenaran tentang siapa dalang dibalik peristiwa 1965-1966 terus menjadi pertanyaan publik dan kembali memunculkan tanda tanya baru. Hal ini dipicu oleh pernyataan mantan panglima TNI jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo melalui akun twitter miliknya pada tanggal 20 September 2018. Ia menuliskan seandainya Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) tidak berani mengeluarkan perintah kepada prajuritnya untuk menonton film gerakan 30 September, maka KSAD seharusnya melepas pangkatnya. Meski demikian, Gatot yakin jika KSAD dan Panglima TNI bukanlah orang yang penakut. Ajakan nonton bareng film G30S/PKI yang disutradarai oleh ARifin C. Noer diputar setiap tahun di masa orde baru namun nyaris tidak ditayangkan lagi setelah reformasi. Hal inilah yang menjadi tolak ukur bagi Gatot dengan tujuan agar generasi muda mengetahui sejarah Indonesia di masa lalu dan dapat menjadikannya sebagai bahan evaluasi.

Lebih lanjut lagi, Suryowati (2017) memuat penelitian yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research & Consulting pada September 2017 dan menemukan bahwa isu kebangkitan PKI hanya dipercaya oleh 12,6% penduduk Indonesia yang berada dalam rentang usia dibawah 21 tahun yang tinggal di daerah perkotaan dan sedang menempuh pendidikan tingkat perguruan tinggi. Selain itu, isu kebangkitan PKI juga sengaja di mobilisasi untuk kepentingan kekuasaan menuju Pemilu 2019 dan untuk mengalihkan perhatian publik. Namun, guru besar Universitas Pertahanan Salim memiliki kacamata yang berbeda dan menelaah kecurigaan bahwa PKI bangkit lagi dipengaruhi oleh adanya gerakan-gerakan masyarakat yang mencoba untuk meluruskan narasi sejarah terkait PKI dan tragedi 1965 (Abdulsalam, 2017).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun