Film yang disutradarai oleh Putrama Tuta  dengan judul "A Man Called Ahok" kembali mendapatkan perhatian masyarakat di ranah perfilman Indonesia. Lika-liku kehidupan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Belitung Timur didalam film tersebut diangkat dari sebuah buku karya Rudy Valinka dengan judul yang sama yaitu "A Man Called Ahok". Rentetan opini publik pun mulai meluap melalui pemberian rating yang beragam semenjak film ini tayang serentak pada Kamis, 8 November 2018 di seluruh bioskop Indonesia. Namun, pantaskah "A Man Called Ahok" untuk ditonton?
Bicara soal pantas atau tidak pantasnya sebuah film untuk ditonton tidak hanya dilihat dari rating yang diberikan oleh penontonnya, melainkan moral atau pesan yang terkandung didalamnya hingga cara pengemasan film tersebut patut untuk dipertimbangkan. Film "A Man Called Ahok" sendiri lebih menitik beratkan pada hubungan sang ayah (Kim Nam) dengan anaknya (Ahok) serta mengupas sepak terjang yang dihadapi oleh Ahok dalam bidang politik di Belitung Timur.Â
Di sisi lain, imajinasi penonton cenderung membentuk expektasi yang tinggi terhadap film"A Man Called Ahok". Judulnya yang menarik mengarahkan imajinasi penonton pada kontroversi kisah asmara Ahok dengan Veronica, perjalanan politik Ahok dari Bupati Belitung Timur hingga Gubernur Jakarta, Gerakan 212 hingga keluh kesah Ahok dibalik jeruji. Namun, sepanjang durasi 102 menit, harapan tersebut justru tak terpenuhi.
Kim Nam yang berprofesi sebagai seorang pengusaha timah di Belitung Timur terus menanamkan prinsip-prinsip hidup yang diyakininya walau terkadang tidak sejalan dengan keinginan Ahok. Jarang memiliki cara pandang yang sama membuat Ahok sesekali memberontak akan petuah-petuah dari sang ayah, hingga lambat laun ia pun sadar bahwa yang dilakukan oleh sang ayah hanya demi masa depannya.Â
Secara garis besar, tiga per empat dari film ini menceritakan masa kecil Ahok di Belitung bersama keluarganya sedangkan seperempat lainnya mengambarkan kisah Ahok yang terjun ke dunia Politik dan mencalonkan dirinya sebagai Bupati Belitung Timur dengan tujuan membasmi praktek korupsi hingga kolusi dikampungnya. Dengan demikian, film "A Man Called Ahok" dapat dikatakan timpang sebelah atau lebih berat diawal. Proses pembentukan karakter Ahok menarik waktu yang cukup lama sedangkan perjalanan Ahok di dunia Politik yang menjadi daya tarik penonton justru ditampilkan secara minim.Â
Memang benar, pesan moral yang terkandung dalam film ini sangat menyentuh dimana orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam  membentuk karakter anak di masa yang akan datang.  Seperti halnya Ahok  yang tumbuh sebagai orang yang tegas, berintegritas, jujur dan peduli terhadap sesama tanpa memandang bulu, suku dan agama berkat didikan sang ayah (Kim Nam). Oleh karena itu, film ini memang pantas untuk ditonton oleh khalayak ramai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H