Hari ini, update terus mengenai Koalisi pendukung Jokowi dan PDIP. Sebelum saya lanjutkan, Kata Jokowi dan PDIP saya tebalkan, karena berbeda konteksnya. Mereka yang melakukan koalisi adalah untuk mendukung Jokowi "tanpa" permintaan atau transaksi apapun, dan PDIP sebagai Parpol untuk memayungi persyaratan presidential threshold (PT) minimal 25% suara atau 20% Kursi di DPR hasil Pemilu Legislatif 9 April lalu.
Partai yang sudah memberi dukungan koalisi seperti kita ketahui yakni PDIP, Nasdem, PKB, berikutnya Golkar, Hanura, dan PKPI. Kecuali Nasdem dan PKB. Golkar, Hanura, dan PKPI tidak turut dalam deklarasi Capres dan Koalisi yang kemarin lalu di lakukan di Kantor DPP PDIP. Dari 6 Partai tersebut sudah lebih dua kali lebih besar dari persyaratan PT yakni 55,63%.
Dilain pihak, jika benar berlanjut. Gerindra, PAN, PPP, dan PKS total 32,72%. Sehingga sisanya hanya Demokrat dan PBB sebesar 11,65%. Dengan sisa itu, maka Demokrat dan PBB hanya memiliki 2 pilihan yakni bergabung dengan dua poros tadi atau memang menjadi penonton. Atau memang, merayu parpol lain yang sudah mendukung poros tersebut untuk membentuk poros baru, walaupun hampir tidak mungkin. Namun demikian, dalam Politik tidak ada yang tidak mungkin. Jadi kemungkinannya masih tetap ada, sehingga ada tiga kemungkinan untuk Demokrat dan PBB.
Siapakah kemungkinan Cawapres Jokowi?
Jika Gerindra, sudah hampir pasti akan mengusulkan pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa, maka Jokowi - (......?). Masih kosong, masih tanda tanya. Calonnya sudah mengerucut jadi 2 jadi 3 jadi mungkin 4. Siapa dia? Bisa Pak JK, Abraham Samad, atau Puan Maharani atau bahkan mungkin ARB. bisa juga dengan Mahfud MD atau dengan Muhaimin Iskandar. Saya mencoba untuk menganalisa siapakah yang akan dijadikan cawapres?
- Jokowi - JK, apakah cocok? Beberapa kali baik JK maupun Jokowi sering melakukan pertemuan. Baik yang disengaja maupun yang "kebetulan". Cocok karena sering ketemu, namun ada perbedaan mencolok yang saya lihat perbedaan JK dengan Jokowi. JK, adalah pengambil Keputusan yang cepat dan cerdas, walaupun terkadang menjadi "salah" sehingga slogan dia "Lebih Cepat, Lebiha Baik", menjadi tidakterpilih pada Pilpres 2009. Sedangkan Jokowi, mungkin bukan satu-satunya pengambil keputusan di PDIP, maka untuk membuat keputusan menjadi Lambat, mungkin karena terlalu lama berpikir, atau sengaja pura2 berpikir, atau memang sengaja untuk melihat kondisi di luar sana (umum) padahal keputusannya sudah di saku Bu Mega dan Pa Jokowi.
- Jokowi - Abraham Samad, Jika lihat kecocokannya, tetap cocok. Pa Samad sudah memberikan Signal, dia suka dengan Jokowi, Dia merasa bahwa di KPK bukan dia satu-satunya orang hebat, sehingga Samad merupakan calon berikutnya. Namun Smad masih sangat dibutuhkan di KPK, kemungkinan untuk besanding menjadi kecil.
- Jokowi_Puan Maharani, sudah digadangkan akan dicalonkan sejak sebelum pemilu legislatif (dengan target PDIP mendapatkan 27%, tanpa membutuhkan dukungan koalisi. Namun karena perolehan PDIP tidak mencapai angka tersebut, maka mengharuskan koalisi. Alhasil, Jokowi harus kerja keras untuk melakukan lobby dan pendekatan dengan semua partai kecuali Gerindra. Hasilnya Jokowi berhasil memperoleh dukungan 55.63%. Maka peroleh tersebut cukup untuk mencalonkan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Dan semua parpol yang bergabung, "disyaratkan" tidak meminta jabatan ataupun dagang sapi, maka Puan merupakan calon yang paling memungkinkan. Apalgi dengan signal dari Puan sendiri, maka signal ini menjadi lebih menarik.
- Jokowi - ARB, Secara matematika sangat bagus. Karena PDIP pemenang tertinggi pertama dan Golkar pemenang kedua. Jika matematika, berbunyi di sini. maka pilpres sudah berhenti di sini. ARB sudah tertutup kemungkinan berkoalisi dengan Gerindra, karena "kesombongan" dari Hayim Joyohadikusumo, yang mengatakan cawapres ARB tidak cocok dengan Prabowo. Ini yang menjadikan Golkar menjadi berpaling secara cepat. Demi Harga Diri, maka ARB dan Golkar, bisa jadi memberikan dukungan tanpa permintaan apapun. Bahkan jika pun ARB dan Golkar tidak mendapatkan apapun, asal tidak dengan Gerindra. (bisa jadi demikian). Atau bisa jadi, Golkar sudah merasa bahwa akan Kalah, maka dia melirik siapa yang akan menang! Seperti biasanya, Golkar akan tetap menjadi bagian dari penguasa. Maka dengan PDIP dan Jokowi, Golkar berharap akan tetap menjadi Bagian dari Penguasa. (Jika Jokowi Menang!, tanpa memperhatian Jika Jokowi Kalah).
- Jokowi - Muhaimin, walaupun semua DPW mengusulkan demikian, namun menjadi kecil kemungkinannya. Selain Cak Imin, menjelaskan bahwa dia tidak meminta menjadi Cawapres, dia bergabung juga tanpa "meminta" jabatan.
- Jokowi - Mahfud MD, selain ditawarkan PKB, terakhir PKPI akan mendukung jika Jokowi-Mahfud MD, namun demikian PKPI suaranya nyaris tak terdengar, sehingga tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Kalau PKB, Golkar saja tidak diberikan previllage, apalagi yang lain, termasuk kemungkinan Jokowi -Â Wiranto (Hanura).
Prediksi saya, yang paling memungkinkan secara analisa dan psikologis adalah Joko Widodo - Puan Maharani yang akan menjadi Pasangan Capres dan Cawapres. Dengan Jokowi-Puan, maka Trah Soekarno dan keluarga besar Megawati sebagai "Pemilik"Â Partai PDIP akan tetap dipertahankan. Terakhir, dengan istilah "kami sudah 10 tahun puasa, maka kini saatnya berbuka". Maka jika bukan Puan, PDIP dalam hal ini Puan dan Mega, tidak akan menikmati lagi Kekuasaan kepresidenan.
Probabilitas Kemenangan Jokowi
Sebelum membahas kemungkinan Jokowi Menang, ijinkan saya menggunakan analogi demikian. Seseorang yang memiliki bentuk Tubuh yang Gemuk, belum tentu Sehat. Bahkan bisa jadi sarang penyakit. Walaupun ada yang bilang Big is Beauty, namun kenyataanya yang ukuran BIG susah sekali kelihatan Cantik. Koalisi Besar, terdiri dari Organisasi partai politik besar, dengan banyak kepala pintar dari orang-orang besar, dan mereka memiliki kebiasaan untuk mengatur, pertanyaan sederhananya, Maukah mereka "diatur" ?
Saya melihat secara matematis, bahwa Koalisi ini jika memang sepenuhnya "sempurna" dari atas sampai bawah sepakat untuk mendukung Jokowi, termasuk pada pemilih yang kemarin juga mereka melakukan hal yang sama untuk memilih Jokowi, maka Pemilu ini sudah selesai sebelum Juli 2014. Jokowi Sudah menang!
Namun, jika sinyalemen analogi tadi ternyata yang terjadi, dimana kesepakatan hanya di atas saja, maka penyakit sudah mulai dari sini. contoh: