Hutang adalah perkara yang sudah melekat pada 8 Milyar manusia didunia, entah berposisi sebagai pihak yang berhutang ataukah pihak yang meminjamkan.
Ngomongin hutang secara umum itu ada pembagiannya yakni hutang produktif dan utang konsumtif. Walaupun kenyataan yang banyak kita temukan adalah hutang konsumtif.
Disebut hutang konsumtif karna dia tidak menghasilkan cuan dalam aktifitas berhutang entah itu karna berhutang untuk alasan keperluan rumah tangga atau dalam tingkat yang lebih parah lagi ketika berhutang demi terpenuhi gaya hidup semata.
Baca juga: Mari Iri agar Hidup Makin Berarti
Hutang itu sebenarnya tidak dilarang dalam agama namun ada perinciannya yakni jangan berhutang kecuali dalam keadaan darurat yang mana jika anda tidak berhutang anda bisa mati karna kelaparan.
Namun, hutang akhir-akhir malah lebih banyak terjadi penyalahgunaan sehingga seiring bertambahnya populasi manusia, orang yang berhutang pun semakin bertambah jumlahnya apalagi dengan kehadiran Pinjaman Online (Pinjol) yang tidak meminta syarat yang terlalu ribet.
Sehingga banyak orang yang terjerat didalamnya bahkan agen perubahan sekalipun yakni para mahasiswa yang masih muda dan intelektual tapi bisa jatuh kepada hal yang seperti itu melebihi orang awam.
Sebenarnya saya tidak berniat untuk membahas lanjutan kasus pinjol mahasiswa IPB yang sudah menemukan pelaku utama yang merugikan para mahasiswa. Tapi kali ini saya ingin bercerita terkait pengalaman pribadi saya sendiri dalam dunia hutang piutang yang seakan tidak ada habisnya.
Kendati bahas pasal utang, perlu digaris bawahi  diawal kalau saya itu bukan debt collector ataupun account officer dari lembaga pembiayaan tertentu. Saya hanya wanita biasa yang sering mengalami hal tidak mengenakkan terkait hutang.
Memang benar hutang itu pemutus silaturrahmi yang paling kejam. Hal ini saya alami sendiri. Jujur saya bukan anak yang terlahir dari keluarga kaya raya bahkan ayah saya hanya petani biasa dan ibu saya hanya seorang ibu rumah tangga.