Malam hari udara dingin menyeruak masuk dari sela-sela ventilasi rumah. Kota Bandung diguyur hujan lebat sejak tengah hari, bahkan sampai Bulan menggantikan shif kerja Matahari pun hujan belum berhenti juga.
Awal tahun 2040 ini banyak sekali hal yang terjadi. Marak sekali berita yang menyangkut pautkan pihak kepolisian. Bukankah tugas polisi itu melindungi dan mengayomi masyarakat?
Tapi mengapa akhir-akhir ini mereka melalaikan tugasnya? Kasus kekerasan pada warga sipil, penggelapan dana oleh para petinggi di kepolisian, suap-menyuap, politik gelap, bahkan hingga pembunuhan. Hal itu sangat merugikan para masyarakat. Pelakunya pun hanya di hukum dengan pidana yang ringan. Bisa di bilang ini adalah salah satu penyalah gunaan kekuasaan.
Setelah makan malam, aku memutuskan untuk menonton TV, siapa tau ada hal yang menarik dan sayang untuk di lewatkan. Setelah melihat-lihat sekilas ternyata tidak ada hal yang menarik. Dari beberapa station TV mereka semua kompak membahas berita yang sama.
Bosan dengan tayangan berita itu di TV, aku pun mematikannya.
TAP....
"Loh, kenapa di matikan Kak? padahal Ayah sedang nyimak beritanya juga." Ucap Ayah yang duduk di sampingku.
Aku pun menoleh ke arahnya dengan wajah kesal. " Dari kemarin beritanya tentang kasus polisi korup terus, pindah ke stasiun TV yang lain beritanya sama. Pindah lagi, sama lagi bikin bosan. Kalo enggak tentang korupsi pasti beritanya tentang penganiayaan masyarakat oleh oknum kepolisian. Apa kepolisian di Indonesia seburuk itu Ayah? Rasanya respect kakak pada mereka semakin berkurang."
Ayah tersenyum mendengar celotehan panjang lebarku itu. Tangannya terangkat dan mulai mengusap lembut rambutku.
"Tidak semua polisi kayak gitu kak. Masih banyak di luar sana polisi yang bersih, memberi perlindungan pada masyarakat, tidak korupsi dan jujur."
Aku memutar bola mata malas. "Ah, Kakak gak percaya. Buktinya waktu tadi ada razia di jalan, pengendara motor yang di tilang malah nyogok Pak Polisi pake uang 100 ribu terus Polisinya menerima uang itu dan membiarkan pengendara yang di tilang pergi."
"Kalo memang ada polisi yang seperti Ayah bilang, apa buktinya?"
Ayah mengangguk,"Ada, sejarah buktinya. Bahkan Presiden ke-4 yang mengatakannya sendiri."
"Gus Dur? memangnya apa yang dia katakan?"
Aku seketika menjadi penasaran. Ini sampai menyangkut mantan Presiden RI, bisa di katakan salah satu polisi ini pasti bukan orang sembarangan.
"Ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu polisi tidur, patung polisi."
Ayah menggantungkan kalimatnya, ia bangkit dari duduknya dan berdiri membelakangiku. Aku masih terdiam menunggu kalimat lanjutan darinya.
"Dan......" Ia melirik sekilas ke arahku.
"Dan?" Aku semakin penasaran.
"Jenderal Hoegeng."
***
Matahari menerpa kulit wajahku yang sedang tertidur, karena aku merasa terganggu mau tidak mau aku pun bangun.
"Bangun Kak, matahari sudah muncul. Kalo Kakak masih ingin bermesraan dengan kasus, bisa-bisa nanti telat masuk sekolah."
Ya, suara yang menyapa telingaku pagi ini berasal dari manita tercantik kesayangan Ayah. Siapa lagi jika bukan istrinya alias Bundaku.
Setelah mengumpulkan nyawa, aku bangkit meninggalkan kasur, mengambil handuk dan bergegas pergi ke kamar mandi. Tadi malam aku tidur terlalu larut sehingga membuat mataku masih terasa berat untuk benar-benar membuka.
Tadi malam, aku terlalu asyik membaca biografi dari Jenderal Hoegeng Imam Santoso. Ya, dia adalah sosok yang aku dan Ayahku bicarakan semalam. Ternyata memang benar, beliau adalah salah satu sosok polisi yang jujur, aku sampai takjub membaca kisah perjalanan hidupnya.
Beliau berhasil membuatku berdecak kagum, kisahnya sangat membuatku terinfirasi untuk menjadi pribadi yang jujur. Sejak setelah aku selesai membaca biografinya, sejak detik itu juga aku mendeklarasikan diri sebagai salah satu fans nya.
"Andai saja aku bisa kembali kemasa lalu, aku ingin sekali menemui Pak Hoegeng. Bercakap -- cakap denganya. Dan yang paling penting, berselfie ria dengan beliau mengabadikan moment dan menjadikannya bukti bahwa aku pernah menemuinya."
"Tapi apakah itu mungkin terjadi? Hmm, sepertinya itu tidak mungkin dan tidak masuk akal juga untuk kembali kemasa lalu. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini bukan?"
Â
Aku pun tiba di sekolah sekitar jam 7 pagi, walaupun sedikit telat untung saja guru yang mengajar belum tiba di kelas. Tak berselang lama, Ibu Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia memasuki kelas. Saat anak-anak sedang di absen tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kelas.
"Assalamualaikum...." Ucap seorang anak remaja laki-laki dengan rambut berantakan dan seragam tidak rapih.
"Waalaikum salam. Kamu doyan sekali telat yah Ali?"
"Itukan hobinya Ali bu." Celetuk salah satu murid di sana dan berhasil membuat kami sekelas tertawa.
Ali menggaruk belakang rambutnya yang tidak gatal sambil menyengir tanpa dosa.
"Hehe, maaf bu."
Ibu Guru pun terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan kelakuan Ali Si Tukang Telat.
"Ya sudah, kamu silahkan duduk."
Remaja laki-laki yang terlihat berantakan itu adalah sahabatku, Ali. Kami sudah berteman sejak kelas 10. Ia adalah orang yang sangat pemalas, berantakan, cuek, dan nilainya selalu kecil saat ujian. Tapi saat SMP dia pernah memenangkan olimpiade Matematika, aneh bukan? Awalnya pun aku tidak percaya. Tapi memang itu kenyataannya.
Di balik sosoknya yang seperti itu, Ali merupakan orang yang paling jenius yang pernah aku temui. Aku pernah bertanya padanya, mengapa nilai ujiannya selalu merah? Padahal ia bisa dengan mudah menjawabnya dan mendapatkan nilai 100.
"Aku hanya bosan Seli, materi ini sudah aku pelajari sejak SD. Itu tidak menarik bagiku." Itulah jawaban yang selalu Ali berikan padaku.
Itulah Ali, jika dia tidak tertarik dengan sesuatu hal maka ia tidak akan menjalankannya. Tetapi, jika sesuatu hal itu membuatnya penasaran dan membuatnya merasa tertantang, ia akan mengerjakannya dengan ambisius sampai ia menemukan kebenarannya hingga rasa penasarannya terobati.
"Sel, kamu sudah mengerjakan tugas bahasa indonesia yang ibu berikan kemarin?" Tanya teman sebangkuku sekaligus sahabatku dan Ali.
Mendengar pertanyaan itu, aku tersenyum lebar sambil memasang wajah angkuh.
"Pastinya sudah dong Ra, seorang Seli mana mungkin tidak mengerjakan tugas. Hahaha." Jawabku.
"Mana coba lihat?"
Masih dengan wajah angkuh aku mulai membuka tas untuk mengambil buku pelajaran bahasa indosesia. Tanganku mulai meraba-raba isi tas, wajahku yang tadinya angkuh seketika berubah menjadi pucat dan berkeringat dingin.
Sementara itu di depanku Raib mulai menahan tawa melihatku yang panik  mencari buku PR itu.
"Jangan bilang buku kamu keting-"
"HUWAAA! BUKUNYA KETINGGALAN!" potongku.
Tawa Raib seketika pecah. Aku termenung ketika mengingat buku PR ku ada di atas meja belajar bekas kemarin mengerjakan dan belum sempat aku masukkan ke dalam tas. Gara-gara takut terlambat, aku pun jadi buru-buru dan melupakan buku PR yang ada di atas meja belajar.
Selama jam pelajaran aku berkeringat dingin, takut jika ibu guru meminta untuk mengumpulkan tugasnya. Tapi sepertinya hari ini dewi fortuna berpihak kepadaku, ia tidak membahas tentang tugas dan melanjutkan pelajaran ke bab yang baru. Akhirnya aku bisa bernapas lega.
***
Sepulang sekolah kami bertiga memutuskan untuk main ke rumahnya Ali. Rumah berbentuk layaknya kastil megah dengan luas hampir 2 hektar. Kedua orang tua Ali adalah pengusaha di bidang perkapalan, tak heran jika mereka sangat kaya bahkan mereka menempati kedudukan orang terkaya ke 2 di Indonesia. Aku sempat mengira bahwa Ali dan keluarganya adalah Vampir atau Dracula karena meraka tinggal di Kastil. Tapi ternyata dugaanku salah, Ali dan keluarganya masih manusia dan aku merasa lega.
"Wah, Tuan Muda Ali membawa teman kerumah lagi. Saya merasa senang, ternyata kalian masih mauberteman dengan Tuan Muda." Ucap salah satu pelayang di rumah ini saat kami tiba di depan pintu masuk. Ali mendengar itu hanya mendengus sebal.
"Silahkan masuk Nona Seli dan Raib."
"Terima kasih."
Kami pun masuk kedalam dan langsung menuju ke basement. Rumah ini sangat besar dan sepi hanya di isi oleh Ali dan para pelayannya. Kedua orang tua Ali sangat sibuk dengan bisnisnya sampai-sampai mereka sangat jarang berada di rumah.
Basement ini adalah ruang penelitian sekaligus kamar tidur bagi Ali, kedua orang tuanya memberikan ini sebagai hadiah ulang tahun ke 12 nya. Seperti yang kita tau, Ali orangnya sangat berantakan begitu pula ruangan pribadinya ini. Tabung reaksi berserakan dimana-mana, belum lagi alat-alat aneh yang dia ciptakan apalah itu namanya aku pun tidak tau.
Ali mengajak kami kesini untuk memperlihatkan alat ciptaannya yang baru. Sejak tadi di sekolah ia terlihat sangat antusias membahas alatnya ini. Ali bercerita bahwa sudah hampir 5 tahun ia mengembangkan alat ini dan tepatnya kemarin, ia berhasil menyempurnakannya. Seperti bisa, Ali pasti akan menjadikan kami berdua sebagai kelinci percobaannya.
"Ayo ikuti aku Raib, Seli. Aku sudah tidak sabar ingin menunjukkannya pada kalian."
Kami membuntuti Ali kesebuah ruangan yang tampak gelap dan terletak di ujung. Ali menyuruh kami untuk menutup mata. Ia menyalakan lampu ruangan dan sudah memperbolehkan kami membuka mata.
"TADAA!!!"
Aku dan Raib menatap tiga kursi yang berdesain aneh dengan benda berbentuk helm berwarna silver diatasnya dan 1 gadget besar di depan salah satu kursi itu dengan tatapan bingung. Dan sepertinya Ali mengerti apa maksud dari tatapan kami.
"Aku pun belum memberi nama untuk alat ini, tapi bisa dibilang alat ini seperti mesin waktu yang bisa membawa kita kembali ke masa lalu dan datang ke masa depan."
"APA! MESIN WAKTU?!" Teriakku kaget. Raib pun sama kagetnya namun dia bisa mengontrol diri.
"Kamu serius Ali? Ini mesin waktu?"
"Iya Raib, seperti yang ku bilang tadi, ini seperti mesin waktu. Tapi alat ini masih memiliki kekurangan."
Aku berjalan ke arah kursi aneh tersebut, telunjukku bergerak perlahan mendekat kearah helm silver. Tepat beberapa cm tanganku akan menyentuh helm tersebut, suara Ali membuatku berhenti seketika.
"Jangan seenaknya menyentuh benda milik orang, Seli. Kau tidak mau tiba-tiba hilang dan muncul di masa lalu hanya karena ceroboh menyentuh alat ciptaanku ini kan?"
Aku mengurungkan niat untuk menyentuhnya. Apa yang Ali katakan ada benarnya juga, kan tidak lucu jika hanya karena menyentuh helm silver bisa membuat kita tiba-tiba menghilang.
"Maaf Ali, kamu benar. Tidak lucu jika aku menghilang hanya karena menyentuh helm ini."
Raib terkekeh, "Dia hanya bergurau Sel, mana mungkin hanya dengan menyentuh helm bisa membuat kita menghilang."
Ali tertawa, dia berhasil membodohi ku dan bodohnya aku, bisa dengan mudah percaya pada ucapannya.
Balik lagi ke topik awal, aku tadi sempat mendengar bahwa alat ini masih memiliki kekurangan. Tapi jika di lihat secara kasat mata aku tidak dapat menemukan kekurangannya.
"Ali, tadi kamu sempat menyinggung alat ini tentang kekurangannya. Memangnya apa kekurangan alat ini?" Tanyaku penasaran.
Sepertinya bukan hanya aku saja yang penasaran dengan kekurangan alat ini, buktinya Raib juga sama penasarannya. Bisa terlihat dari raut wajah yang tiba-tiba menjadi serius.
"Alat ini memang bisa membawa kita ke masa lalu maupun masa depan, kekurangannya adalah alat ini hanya bisa mentransfer jiwa kita tapi tidak dengan raga kita."
Kalimat Ali membuatku bingung, "Aku tidak mengerti Ali, bisa jelaskan dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti?"
"Baiklah Seli. Jadi begini, secara singkatnya kita bisa pergi ke masa lalu ataupun masa depan kita memang ada disana di tempat itu tapi dalam bentuk jiwanya saja sedangkan raga kita masih tetap disini. Duduk  diam di kursi itu." Tunjuknya pada kursi berdesain aneh.
Raib mengangguk paham, "Aku mengerti, dengan kata lain alat ini tidak dapat mengirim raga kita karena dimensinya terlalu besar berbeda dengan jiwa yang hanya terdiri dari roh, akal dan perasaan. Ketiga hal ini tidak memiliki wujud atau dimensi yang tetap, mereka berbentuk frekuensi dan jaringan kecil saja. Itulah kenapa hanya jiwa kita yang dapat terkirim kesana karena alat tersebut baru mampu mengirimkan gelombang atau frekuensi yang berukuran sangat kecil. Dan alat ini masih belum mampu untuk mengirimkan raga, apalagi raga bentuknya padat."
PROK! PROK! PROK!
Aku bertepuk tangan takjub dengan apa yang Raib simpulkan. Padahal Ali hanya memberi gambaran sedikit tapi Raib mampu untuk menerjemahkannya dengan rinci.
"Raib, hipotesis yang kamu ciptakan sangat keren. Aku bangga punya teman jenius seperti kalian."
"Kami juga bangga mempunyai teman yang super ceroboh, cengeng dan pelupa sepertimu Seli, benarkan Raib." Ucap Ali dengan wajah tengil. Aku memasang muka masam.
Raib melerai kami, "Tidak boleh seperti itu Ali, kita bertiga saling melengkapi. Kamu, walaupun kamu jenius tapi di sisi lain kamu juga gegabah dalam mengambil tindakan dan aku yang akan selalu memberikan nasihat kepadamu."
"Dan aku, Raib Si Penakut. Aku selalu takut untuk melakukan hal baru, tapi Seli selalu meyakinkanku dan akan selalu berusaha melindungiku. Seli, kita tau dia memang cengeng. Saat menangis, siapa yang menghiburnya? Kamu Ali, kamu yang selalu bisa membuat Seli kembali tertawa dengan jokes receh milikmu itu." Lanjut Raib.
"Benar bukan? Kita itu sahabat yang saling melengkapi."
Keesokan harinya, aku dan Raib kembali mendatangi kediaman Ali. Sesuai keputusan yang kami buat kemarin, hari ini kami akan menguji coba alat ciptaannya. Kemarin kami sedikit bimbang menentukan akan pergi ke masa lalu atau ke masa depan.Â
"Jangan ke masa depan dong, enggak seru. Yang ada kita malah dapet spoiler kehidupan. " Tolak Ali pada Raib.Â
"Justru itu Ali, kita ke masa depan untuk mencari tahu apa yang akan terjadi pada kita. Jika itu baik ya baguslah tapi jika di masa depan kita mengalami musibah, setidaknya setelah mengetahuinya kita bisa memperbaikinya di masa sekarang dan mewaspadai sesuatu yang menjadi pemicu musibah tersebut."
"Ayolah Raib, itu sama sekali tidak menantang, benarkan Seli? Mending kita kembali ke masa lalu. Itung-itung sambil belajar sejarah, kebetulan minggu depan kita ada tes lisan sejarah tentang tokoh integritas kan? Jalan-jalan sekalian belajar." Ucap Ali keukeuh.Â
Raib tampak diam menimbang-nimbang keputusan. Perkataan Ali ada benarnya juga dan aku pun berpikir demikian. Ngomong-ngomong tentang tokoh integritas, aku jadi teringat sesuatu.Â
"Benar Raib, kita kembali ke masa lalu saja. Ngomong-ngomong tentang tokoh integritas, aku jadi teringat kisahnya Pak Hoegeng deh."
"Hoegeng? Siapa dia? " Tanya Ali.Â
Aku pun mulai menceritakan secara singkat tentang Jenderal Hoegeng ini. Selama aku menceritakan kisahnya, mereka terlihat sangat antusias. Apalagi Ali, matanya bahkan sampai berbinar-binar. Setelah aku selesai menceritakannya, mereka sama-sama takjub seperti aku saat pertama kali mendengar kisahnya.Â
"Masa sih ada polisi seperti itu, Sel? Aku bahkan sempat mengira semua polisi itu busuk karena termakan berita yang beredar di luar sekarang." Ucap Ali.Â
" Entahlah, tapi itu yang ku baca dari Wikipedia."
" Kita tidak tahu kebenarannya karena kita tidak melihatnya langsung." Ucap Raib.Â
Aku mengangguk, "Raib benar, untuk mencari tahu kebenarannya bagaimana jika kita kembali ke masa lalu untuk memastikanya?"
"Aku sih sangat setuju, rasa penasaran ini mulai mengganggu pikiranku. Bagaimana Raib? Kau mau ikut kami ke masa lalu atau masih keukeuh ingin pergi ke masa depan?" Tanya Ali.Â
Melihat kedua sahabatnya memilih ke masa lalu, mau tak mau Raib memilih ikut.Â
"Baiklah, aku akan ikut. Aku pun cukup penasaran dengan kebenaran kisah beliau."
Itulah perdebatan kecil kami kemarin, akhirnya kami bertiga memutuskan untuk pergi ke masa lalu. Setelah kami tiba diruangan tersebut, Ali menyuruh kami duduk di dua kursi aneh di belakangnya. Posisi ketiga kursi ini berbentuk segitiga dengan 1 kursi di depan dan 2 kursi di belakangnya.Â
"Jangan lupa untuk memakai sabuk pengaman dan helm silvernya. Alat ini akan sedikit membuat tubuh kita terguncang. Dan satu lagi,"
Ali memberikan kami sebuah jam tangan berwarna hitam legam, " Jam ini fungsinya untuk memantau gelombang frekuensi jiwa kita yang harus tetap stabil, pastikan kalian tidak membuat grafik gelombang di jam tangan ini naik."
Ali berjalan kearah kursinya yang terletak di paling depan, ia menoleh ke arah kamu untuk memastikan semuanya aman, ia tidak boleh lalai, bisa-bisa kedua temannya akan terluka.Â
Ali menatap ke arahku dan menghembuskan napas panjang, "Tidak sampai 5 menit yang lalu aku menyuruh kalian untuk memakai sabuk pengaman bukan? Seli! Kamu belum memasang sabuk pengamannya, cepat pakai! Aku tidak mau tiba-tiba ada manusia yang nyungsep di hadapanku."
"Hehehe, maaf Ali. Aku lupa."
Setelah semuanya siap, Ali mulai mengoperasikan gadget yang ada di hadapannya. Entahlah apa yang dia operasikan dalam gadgetnya yang jelas itu sangat banyak sekali.Â
"Oke semua fungsi alat berjalan dengan normal, aku hanya harus memberi sentuhan terakhir saja." Gumam Ali yang masih bisa terdengar oleh kami.Â
Telunjuk Ali terangkat hentak menyentuh sesuatu.Â
"Sentuhan terakhir? Maksudny-"
TAP!
 Ya, sentuhan terakhir yang Ali maksud adalah menyentuh tombol merah di depannya.Â
Kursi kami mulai bergetar, lama-kelamaan getarannya semakin hebat dan itu membuat Raib ketakutan.Â
"ALI! APA YANG TERJADI?! KENAPA KURSI INI BERGETAR?! " Teriak Raib panik.Â
"TENANG SAJA! KALIAN HANYA HARUS MEMEJAMKAN MATA UNTUK MEMASUKI TAHAP BERIKUTNYA!"
Alat 'Mesin Waktu' ini mulai mengeluarkan bunyi-bunyi alarm yang makin membuat kami panik. Dan membuat kami harus berteriak untuk berkomunikasi satu sama lain.Â
"ALAT INI TIDAK RUSAK KAN ALI?!"Tanyaku dengan keringat dingin mulai bercucuran.Â
"SABAR! 10 DETIK LAGI!"
10.... 9....8....7....6....
Di layar mulai muncul tayangan menghitung mundur, yang asalnya hanya bergetar kini berubah menjadi guncangan. Semakin lama semakin kuat.Â
"ALI APA YANG TERJAD-"
"TUTUP MATA KALIAN!!!" Potong Ali.Â
3....2....
...... 1
"SEKARAAAANNGGGGG!!!"
DRAATTTTT..... DRRAATTTTT....Â
Seketika aku merasa terhisap kedalam sebuah jaringan dengan jiwa ku yang berubah menjadi partikel-partikel atom. Aku mulai memasuki lorong waktu dengan kecepatan kilat. Di ujung sana mulai terlihat cahaya putih yang semakin lama semakin membesar.Â
Aku terlempar cukup keras saat memasuki cahaya putih nanti silau itu. Mataku mengerjap-ngerjap untuk mengembalikan penglihatan. Namun, suara seseorang mengagetkanku.Â
"Kamu baik-baik saja Sel?"
Suara lembut ini sangat familiar di telingaku. Aku pun menoleh ke samping.Â
"Raib?"
"Ali?" Ucapmu, mereka berdua tersenyum tipis.Â
Ali berjalan mendekatiku dengan cemas, "Apa kau terluka?"
Aku menggeleng samar, rasanya kepalaku cukup pusing.Â
"Maafkan aku Seli, entah mengapa kamu mendarat terlalu heboh. Sepertinya ada yang salah dari kursi yang kau duduki."
Aku melihat kesekeliling ruangan yang tampak kuni.Â
"Dimana ini?" Gumamku.Â
Sepertinya kami berada di rumah sakit, aku melihat beberapa orang berpakaian dokter dan perawat hilir mudik berjalan melewati kami dan juga bau obat yang sangat menyengat di hidungku. Bisa di pastikan kami memang benar berada di rumah sakit. Tapi, untuk apa kami datang ke sini?Â
Aku mengerutkan kening, " Kita ngapain di rumah sakit?"
Belum sempat pertanyaanmu di jawab oleh mereka, Tiba-tiba bahuku di tabrak oleh perawat yang sedang membawa pasien di kursi roda.Â
BUGHH.....Â
Kedua mataku seketika membulat kaget, karena setelah di tabrak bukannya aku terjatuh tapi perawat itu malah menembus badanku. Apakah aku sudah mati dan menjadi arwah sehingga mereka dapat menembus ku begitu saja? Raut wajahku terlihat sangat panik, hal ini membuat Ali tertawa terbahak-bahak.
Hanya Ali yang terlihat biasa saja sementara raib yang melihat kejadian itu pun terlihat ketakutan. Ia mengulurkan tangannya mencoba untuk menembus tembok, apakah bisa? Ternyata memang bisa.Â
"Apakah kita sudah mati?" Tanya Raib mewakilkan pertanyaan di otakku.Â
"Hahaha, apa kalian lupa? Kita kan berbentuk jiwa, wajar saja jika mereka menembus kita dan kita dapat menembus apapun. Tenang saja, kita tidak mati kok. Raga kita aman disana."
TEET... TEET.... TEET....Â
Tiba-tiba suara seperti alarm terdengar dari jam tangan Raib, ia yang masih memasang wajah ketakutan mendengar itu menjadi tambah panik. Grafik yang ada di jam tangannya yang mula-mula stabil dan berwarna hijau berubah menjadi berwarna merah dan pergerakannya pun sangat agresif.Â
Ali buru-buru menghampiri Raib, "Raib tenanglah! Jangan panik! Kau harus tetap menjaga kestabilan grafiknya, tenangkan dirimu Raib."
"A-aaku tidak bisa Ali, aku takut!"
Aku melirik sekilas jam tanganku juga, warnanya orange dan grafiknya hampir tidak stabil. Aku mulai mengatur napas agar tidak panik. Setelah aku merasa tenang, akhirnya grafik jamku stabil dan berwarna hijau. Aku pun ikut membantu Ali untuk menenangkan Raib yang terlihat masih ketakutan.Â
"Raib! Lihat aku! Tarik napasmu-buang, tarik napasmu-buang, sekali lagi tarik napas-buang." Raib mengikuti arahanmu, ia sekarang sudah tampak lebih relax.Â
"Kalian tidak perlu takut, kita semua akan baik-baik saja selama kalian menjaga kestabilan grafik itu. Jika ada sesuatu yang buruk terjadi, aku akan melindungi kalian. Percayalah." Ucap Ali dan kami berdua pun mengangguk.Â
Akhirnya kami bertiga pun melanjutkan perjalanan entah kemana itu, Ali yang memimpin didepan. Selama perjalanan, aku tidak sengaja melihat kalender yang tertempel di dinding lorong rumah sakit.Â
"1921?" Gumamku.Â
Ternyata kami dibawa mundur lumayan jauh dari 2040 ke 1921. Tapi kenapa kami dibawa ke masa ini? Aku berusaha untuk tidak memperdulikannya. Tak lama kami pun tiba di ruangan khusus bayi, saat Ali hendak membuka pintu, ia malah menembus nya.Â
"Hehehe maaf, aku lupa jika kita bisa menembus. Mari masuk."
"Untuk apa kita ke ruang bayi?" Tanya Raib.Â
"Kamu tidak akan mencuri salah satu bayinya kan Ali?" Tambahku.Â
Ali menggeleng kuat, "Tidak akan Seli, lagi pula aku benci anak kecil. Mereka sangat berisik dan cengeng."
Aku dan Raib tertawa, "Ya ka siapa tahu, Tuan Muda Ali merasa kesepian di rumah seluas 2 hektar yang hanya diisi olehnya dan para pelayannya sehingga ia kembali ke masa lalu untuk mencuri bayi untuk di jadikannya adik."
Wajah Ali merah padam karena ku ledekin, "Hentikan Seli, aku tidak butuh seorang adik. Aku tidak mau kasih sayang kedua orang tuaku berkurang pada ku."
"Baiklah Tuan Muda."
"Jangan panggil aku Tuan Muda!"
"Hahahaha."
Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah seorang perawat yang menggendong seorang bayi, ia menembus kami bertiga begitu saja, saat ia menembus tubuhku rasanya lumayan menggelikan. Perawat itu menaruh bayi yang sepertinya baru lahir karena warna kulitnya masih merah ke keranjang di depan kami.Â
Bayi itu sangat lucu, ia merengek saat di simpan dalam keranjang bayi. Sementara Ali di ujung sana menatap tak suka pada bayi itu dan menutup telinganya.Â
"Ish! Bayi ini berisik sekali, mengganggu. Apa tidak bisa di mute atau di off kan saja?"
"Yang benar saja, ini bayi bukan alat elektronik Ali." Jawab Raib, aku hanya tertawa mendengar celotehan Ali.Â
Tak lama perawat itu menulis sesuatu pada papan yang tertempel di keranjang bayi. Ia menuliskan nama bayi itu yang sontak membuatku kaget setelah tau namanya.Â
"Iman Santoso?!"
"Yang benar saja! Aku tidak bermimpi kan?" Aku mengucek-ngucek kedua kelopak mata. Ternyata ini bukan mimpi.Â
Aku terpaku di tempat, masih tak percaya. Didepanku ini adalah bayi yang kelak menjadi salah satu tokoh integritas bangsa. Dia adalah tokoh polisi baik yang sangat aku idolakan dan sekarang aku melihatnya dalam bentuk bayi? Aku masih tak percaya.Â
Aku melihat ke kalender yang tertempel di dekat pintu masuk untuk memastikan sesuatu.Â
"14 Oktober 1921?!" Mulutku menganga lebar.Â
Ternyata memang benar ini Pak Hoegeng yang kami bicarakan kemarin di rumahnya Ali. 14 Oktober 1921 adalah hari dimana seorang tokoh hebat ini dilahirkan di salah satu rumah sakit di Pekalongan.Â
Tak lama masuklah seorang lelaki, memakai pakaian yang sangat rapih mencerminkan bahwa dirinya adalah orang penting di daerah itu. Biar ku tebak, pasti dia adalah pak Sukario Hatmodjo Ayahanda dari Hoegeng. Ia menjabat sebagai kepala kejaksaan di kota ini, itulah yang ku baca dari Wikipedia.Â
"INI SUNGGUH MENAKJUBKAN BUKAN? LIHATLAH, DI DEPAN KITA ADALAH HOEGENG YANG SELI CERITAKAN KEMARIN!" Heboh Ali.Â
"Berisik, kau tak perlu berteriak Ali, kami sudah tahu." Balasku.Â
Lalu setelah beberapa saat, Raib dan Ali menatap penuh rasa penasaran pada lelaki yang kini sedang mengajak bicara bayinya itu. Mereka kompak menoleh kearahku seakan-akan menanti jawaban.Â
"Dia Sukario Hatmodjo, Ayahanda Hoegeng."
"Pakaian dia sangat rapih, berbeda dengan orang-orang yang ku lihat di luar tadi."
"Benar juga, aku baru menyadarinya." Sambung Ali.Â
Aku menghela napas sejenak, "Itu karena dia adalah kepala kejaksaan di kota ini. Wajar jika ia berpakaian sangat rapih."
Mereka berdua mengangguk paham Ali lalu berjalan mendekat ke arah Pak Sukario, ia berhenti dan memperhatikannya dari bawah sampai atas sambil mengusap dagu.Â
"Dia pasti baru saja pulang kerja."
"Mungkin saja."
Ali kembali ke samping kami, sekarang dia mulai mengutak-atik jam tangannya.Â
"Sepertinya perjelanan kita di tempat ini sudah cukup, kita lanjutkan lagi ke destinasi berikutnya." Ucap Ali yang masih fokus pada jam tangannya.Â
"Kita akan pergi dari sini menggunakan lorong waktu itu lagi? Yang benar saja Ali, masa aku harus merasakan terlempar keluar untuk yang ke dua kalinya? Apa tidak ada cara lain?" Protesku.Â
"Maaf Seli, hanya itu jalan satu-satunya."
"Sabar ya Seli, saat tiba aku akan langsung menangkapmu agar kau tidak terhuyung lalu jatuh." Ucap Raib sambil mengusap-usap punggungku.Â
Aku menggeram sebal, "Mengapa hanya lorong waktuku saja yang rusak? Dan kenapa lorong waktu yang kalian naiki nyaman-nyaman saja tidak ada guncangan."
"Hahaha, sepertinya kau sedang tidak beruntung Seli. Sudahlah Terima saja." Ucap Ali yang membuatku semakin kesal.Â
Tiba-tiba dari jam tangan Ali keluar proyeksi 3D yang memuat peta dari seluruh tempat. Dan disana ada 3 titik berwarna merah yang berkumpul berdekatan. Sepertinya 3 titik itu adalah lokasi kami bertiga berada, semacam GPS.Â
Ali menekan salah satu tempat, "Baiklah kita pergi sekarang, aku sudah muak mendengar tangisan Hoegeng bayi. Kalian sudah siap?" Kami berdua mengangguk.Â
"Baiklah, aku akan menekannya."
Ali pun menekan salah satu tombol dan kami bertiga langsung menghilang. Aku kembali terhisap ke lorong waktu, seperti biasa lorong ini tidak stabil dan berguncang lumayan kencang. Hai ini membuat kepalaku terasa pusing. Aku kembali melihat cahaya putih dan itu adalah pintu keluarnya.Â
Tubuhku terlempar keluar lumayan kuat, untung saja Raib dengan sigap menangkap ku seperti yang dia bilang sebelumnya.Â
"Kau baik-baik saja Seli?" Tanya Ali.Â
Dengan wajah kesal aku menjawab, "Apakah seseorang yang terhempas keluar dari lorong waktu yang penuh goncangan itu bisa di bilang baik-baik saja? Tentu tidak Ali!"
Ali tertawa, ia memilih untuk diam tidak melanjutkan percakapan. Aku melihat kesekeliling lingkungan ini. Kami sudah tidak berada di rumah sakit lagi. Sekarang kami berada di sebuah lapangan yang di pinggir nya banyak sekali rumah warga. Ada juga anak-anak kecil yang sedang bermain bola.Â
Ada satu anak yang menarik perhatianku, ia berbadan cukup gempal. Anak sebaya mengoperkan bola padanya, ia yang menerima bola itu pun langsung menendangkannya ke arah gawang berusaha mencetak gol, namun bola itu melambung cukup jauh dari gawang da mengenai Ali.Â
"Aduh! Tendang yang bener dong! Kena orang nih! " Kesal Ali.Â
"Untung saja bola itu menembus tubuhmu Ali, coba saja jika tubuh kita tidak tembus mungkin kepalamu akan benjol sebesar biji salak."
Ali mengangguk membenarkan perkataan Raib, "Kau benar, untung saja menembus. Tapi, tetap saja itu membuatku terkejut."
"Kau berteriak sekeras apapun untuk memaki anak itu, percuma saja. Dia tidak bisa mendengarmu, buang-buang tenaga saja."
"Mau bagaimana lagi, aku terkejut olehnya Seli. Untung saja menembus, sudahlah lupakan saja masalah ini."
Aku tersenyum tipis sambil memperhatikan anak gempal itu mengambil bila yang melambung keluar lapangan, "Sejujurnya aku berharap bola itu tidak menembus mulai Ali."
Ali menatapku tajam hal itu membuatku tertawa semakin kencang.Â
"SELIII!!!"
Aku segera berlindung di balik tubuh Raib karena Ali mulai mengejarku.Â
"Sudahlah Ali jangan bertengkar dengannya dan Seli berhentilah menjadikanku tamengmu! Kalian berdua ini, hentikan sekarang juga." Lerai Raib.Â
"Tapi Raib, Seli yang mulai duluan."
"Shuutt! Tidak ada tapi-tapian Ali."
Aku menjulurkan lidah mengejel Ali, "Kasian deh loh."
"Seli! Cepat minta maaf padanya!" Ucap Raib.Â
Kami berdua sama-sama tidak ada yang mau mengalah, baik aku ataupun Ali. Kamu berdua memang sangat keras kepala.Â
"Minta maaf sekarang atau aku tidak akan membantunya mengerjakan PR lagi, Seli!"
Mendengar ancaman Raib yang sangat menyeramkan di telingaku, Aku pun menurunkan ego dan meminta maaf padanya.Â
"Maaf Ali." Ucapku memutar bola mata malas.
Ali bersedekap dada, "Tidak ku maafkan, ucapanmu kurang tulus."
Menyebalkan sekali manusia satu ini, hingga membuatku menghela napas panjang. "Baiklah, maafkan hamba wahai Tuan Muda Ali." Ucapku sambil sungkem.Â
"Ah! Kau sangat menyebalkan Seli. Sudah lupakan saja."
Aku tertawa penuh kemenangan saat itu juga, tiba-tiba sebuah suara membuatku terdiam seketika.Â
"Ah, bagaimana kau ini Bugel? Tim kita sudah tertinggal 2 poin, harusnya tendanganmu yang tadi itu masuk dan memperkecul ketertinggalan." Ucap salah satu anak kecil pada bocak gempal itu.Â
"Maafkan aku kawan, lain kali aku akan memasukkannya."
Nama itu rasanya tak asing di telingaku, aku mencoba untuk mengingat-ngingatnya.Â
"Bugel?"
"Aku pernah mendengar nama itu, tapi dimana ya?"
"Hmm.... "
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, aku terkejut bukan main saat menyadari sesuatu. Nama 'Bugel' adalah nama panggilan dari Pak Hoegeng saat ia kecil. Berarti sosok bocah gempal dihadapan kami ini adalah Pak Hoegeng kecil yang sedang bermain dengan teman sebayanya.Â
"Ada apa Sel? Kok diam saja?"
Aku tersadar dari lamunan lalu menoleh pada Raib, " Dia, anak gempal itu." Tunjukky pada Pak Hoegeng kecil.Â
Arah pandangan Ali dan Raib pun mengikuti arah yang ku tunjuk.Â
"Memangnya ada apa dengan anak itu?"
"Iya, ada apa? Dia cupu dalam bermain bola? Kalo itu aku juga sudah tahu." Ucap Ali, aku menggeleng kuat.Â
"Tidak, anak gempal itu adalah Pak Hoegeng."
Sontak kedua mata mereka melotot kaget tak percaya.Â
"Ah yang benar saja, apa kau tidak salah orang Seli? Jelas-jelas nama dia itu Bugel bukan Hoegeng. Benarkah Raib?" Bantah Ali.Â
Aku mendudukkan diri di pembatas jalan, " Itu nama panggilan kecil Pak Hoegeng."
Mereka ikut duduk di sampingmu bersiap untuk mendengarkan penjelasan panjang lebar dariku.Â
"Ketika kecil, oleh orang-orang sekitarnya Pak Hoegeng di panggil Bugel. Bugel artinya gemuk, namun lama-kelamaan mereka mulai memanggilnya Bugeng dan pada akhirnya berubah menjadi Hugeng. Sebenarnya nama pemberian dari ayahnya adalah Iman Santoso, tapi karena nama kecilnya itu sangat melekat akhirnya ia menambahkan nama kecilnya menjadi Hoegeng Iman Santoso."
Raib menggelengkan kepala tak percaya, "Ternyata itu benar Pak Hoegeng kecil."
"Ngomong-ngomong, Seli. Kau sudah seperti pemandu wisata saja bagi kami."
"Hahahah."
"Terserah kau saja Ali."
Setelah di pikir-pikir, ucapan Ali ada benarnya juga. Aku sudah seperti pemandu wisata yang ada di tempat-tempat bersejarah. Menjelaskan pada pengunjung apa yang pernah terjadi di tempat ini. Hanya saja bedanya mereka menerima gaji sedangkan aku tidak."
Aku melanjutkan ceritaku sedikit lagi, "Pak Hoegeng mengenyam pendidikan di beberapa daerah yang berbeda. Setelah sekolah di HIS dan Mulo Pekalongan, dia belajar lagi di AMS A Yogyakarta."
"Pantas saja dia pintar, kerjaannya belajar terus tidak seperti dirimu Seli yang kerjaannya sibuk nonton drakor." Celetuk Ali, rasanya saat ini juga aku ingin sekali menjitak kepalanya.Â
"Sudah-sudah, lanjutkan ceritamu Sel. Aku penasaran."
Aku mengangguk, "Nah, di Yogyakarta Pak Hoegeng membentuk sebuah band Hawaian dan mendapat biaya hidup dari sana." Aku bercerita sambil memperhatikan Hoegeng kecil yang sedang sibuk mengejar bola.Â
"Setelah dari Yogyakarta, beliau melanjutkan pendidikannya ke Recht Hige School atau dikenal dengan Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Kemudian masuk ke Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian atau disingkat dengan PTIK dan setelah lulus ia ditempatkan di Jawa Timur."
Ali bangkit dari duduknya sambil meregangkan tubuh, " Baiklah, itu sangat menarik. Ayo kita pergi ke destinasi berikutnya."
Aku dan Raib mengangguk, entah kami akan di bawa kemana lagi oleh lorong waktu yang menyebalkan itu. Seperti biasa aku selalu terlempar cukup kuat saat keluar dari sana, untung saja Raib selalu sigap menangkap tubuhku. Jika tidak, mungkin saja aku akan nyungsep kedepan.Â
Kami tiba di depan lobby sebuah hotel yang lumayan megah, Ali melihat kembali peta 3D pada jam tangannya. Koordinator tersebut menunjukkan bahwa kami berada di Sumatra Utara. Banyak sekali satpam yang berjaga di halaman hotel ini.
"Kenapa kita ada di hotel ini? Kita tidak akan berlibur dan menginap disini bukan?" Tanya Raib.Â
Aku menggelengkan kepala, "Tentu tidak akan Raib. Tapi seperti kejadian-kejadian sebelumnya, kita berpindah ke suatu tempat pasti tempat itu akan menunjukkan terjadinya sebuah peristiwa."
"Seli benar, sekarang tugas kira adalah mencari tahu apa yang akan terjadi di tempat ini."
Raib tampak bimbang setelah melihat banyak penjaga yang mondar-mandir di depan lobby hotel. Dia masih termenung di tempat sedangkan kami sudah berada di depan pintu lobby.Â
Aku menghampiri nya dan menarik tangannya, "Ayolah Raib, tidak perlu takut begitu. Apa kau lupa? Kita kan tidak terlihat."
Setelah masuk, kami celingukan di depan resepsionis. Tidak tahu mau pergi kemana. Ada beberapa orang berpakaian rapih yang sedang asik ber duduk-duduk riya di kursi-kursi yang di sediakan hotel.Â
Tiba-tiba lift terbuka dan turunlah seorang lelaki dengan mengenakan seragam polisi. Ia berjalan mendekat ke arah kerumunan orang dengan sangat berwibawa. Wajahnya sangat tak asing bagiku. Sepertinya di lobby inilah peristiwa penting itu akan terjadi.Â
"Itu bukannya Pak Hoegeng yang Seli tunjukkan fotonya saat di rumahku kemarin?" Tanya Ali.Â
"Iya, itu Pak Hoegeng kan Seli? Tapi, sedang apa dia disini? Berlibur?"
Aku mengajak mereka untuk lebih dekat ke arah kerumunan itu.Â
Para orang-orang disana berdiri menyambut kedatangan beliau dengan wajah cerah. Namun hal itu berbanding terbalik dengan Pak Hoegeng, wajahnya terlihat tidak senang.Â
"Selamat Sore Pak, senang bertemu dengan anda dan selamat atas jabatan barunya sebagai Kepala Reskrim yang baru di kota ini." Ucap pria berjas hitam di depannya.Â
"Terima kasih, senang bertemu dengan anda juga."
Mereka mempersilahkan Pak Hoegeng duduk. Ada beberapa pelayan yang datang dan menyuguhkan minum serta kue-kue kering di atas meja. Namun tak di sentuh nya sama sekali.Â
"Ada apa kalian ingin bertemu denganku?" Tanya Pak Hoegeng langsung tanpa basa-basi.Â
Masih dengan wajah yang cerah, seorang pria itu menjawabnya. "Kami datang kesini untuk memberikan anda sebuah hadiah selamat datang. Kami sudah menyiapkan rumah dan juga kendaraan untuk Bapak dan keluarga."
"Benar Pak, kami kesini untuk menjemput langsung dan mengantar anda ke rumah yang besar dan indah untuk keluarga bapak tinggali."
Hoegeng hanya memberi tatapan datar dan dingin. Ia sama sekali tidak tertarik dengan obrolan ini.Â
"Tidak, Terima kasih."
Ucapan Hoegeng tersebut membuatnya terkejut, mereka kira Hoegeng adalah polisi yang gila harta dan dapat di ajak bekerja sama.Â
"Tidak? Bapak menolaknya?"
"Tidak baik loh Pak menolak pemberian orang." Sambung lelaki yang terlihat sangat manipulatif.Â
Hoegeng tetap pada pendiriannya, ia tidak mau menerima pemberian dari mereka. Namun mereka tidak menyerah untuk membujuk Hoegeng.Â
"Apa anda yakin? Rumah ini sangat luas untuk keluarga anda, pasti anak anda akan senang jika berlari-lari di halamannya. Tak lupa, kami juga memberikan anda kendaraan berupa mobil yang bisa anda gunakan untuk bekerja. Menaiki mobil tidak akan membuat anda kehujanan ataupun kepanasan."
"Aku tidak akan menerima segala pemberian kalian." Ucap Hoegeng dingin.Â
Suasana diruangan ini menjadi sedikit panas, jawaban Hoegeng membuat beberapa orang disana merasa kesal.Â
"Hahaha, kau ini sangat bodoh Hoegeng. Menolak mentah-mentah pemberian kami."
Seketika orang tersebut mendapat tatapan tajam dari Hoegeng, "Aku akan lebih bodoh lagi jika menerima pemberian dari para cukong judi seperti kalian."
Hoegeng tak Terima di katai 'Bodoh' oleh orang yang lebih bodoh darinya.Â
"Kalian memberikan ini semua bukan untuk hadiah selamat datang saja, tapi kalian berusaha menyogok ku dengan rumah dah kendaraan haram itu agar aku bisa membantu memperlancar penyelundupan yang akan kalian lakukan bukan? Kalian akan meminta bantuan ku dengan alasan balas budi karena kalian sudah memberikanku tempat tinggal serta kendaraan. Dan kalian juga tahu bahwa aku tidak bisa menolaknya jika itu adalah balas budi."
Mendengar ucapan itu, para cukong judi terkejut setengah mati. Semua yang di ucapkan Hoegeng benar adanya. Mereka berencana untuk menyogok Hoegeng, para cukong judi tak menyangka bahwa Hoegeng sepintar ini.Â
"Ah! Aku muak dengan lagakmu yang sok suci itu Hoegeng. Jangan munafik, kau juga butuh harta untuk bertahan hidup. Mau kau beri makan apa keluargamu? Kebenaran? Mana kenyang yang ada mereka mati kelaparan." Kesal salah satu cukong judi.Â
Hoegeng berusaha menahan amarahnya, ia bangkit dari duduknya."Aku lebih baik tinggal di hotel ini sampai rumah dinasmu siap.".
"Sepertinya tidak ada yang perlu di jelaskan lagi, semuanya sudah jelas. Kalian sudah bisa meniggalkan tempat ini. Terima kasih."
Setelah mengucapkan itu, Hoegeng berjalan meninggalkan mereka dan kembali ke kamarnya. Para cukong judi terlihat sangat syok, mereka juga terlihat sangat kesal. Dengan wajah kusut mereka meninggalkan hotel.Â
Lobby mulai kosong tapi Aku, Raib dan Ali masih termenung di tempat. Ali yang menyaksikan itu bahkan sampai berkeringat.Â
Ia mengelap keringatnya, "Wow, tadi itu sangat intens sekali. Aku bahkan sampai tak berkedip di buatnya."
"Seli, bisa kau jelaskan apa yang baru saja terjadi?" Tanya Raib.Â
"Ah iya, pemandu wisata cepat jelaskan kejadian tadi! Aku sudah tidak sabar! Ayo jangan hanya diam saja."
Ali mengguncang-guncangkan tubuhku, "Lepaskan! Bagaimana aku bisa bercerita sementara badanku saja masih kau guncang-guncangkan."
Ia melepaskan tubuhku dan tersenyum tanpa dosa. Kami pun memilih untuk duduk di kursi-kursi bekas mereka berdiskusi. Ali terus saja mendesak ku untuk bercerita.Â
"Baiklah, aku akan mulai ceritanya."
Aku menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan tenaga sebelum bercerita panjang lebar.Â
"Jadi Kepala Reskrim di Sumatra Utara adalah tugas beliau yang kedua dan hal itu menjadi batu ujian baginya. Karena, daerah ini sangat terkenal dengan penyelundupannya."
"Pantas saja para orang-orang ber jas tadi mau memberikan Pak Hoegeng rumah dan mobil secara cuma-cuma. Ternyata ada udang di balik bakwan."
Raib menjitak kepala Ali, "Ada udang di balik batu! Bukan di balik bakwan!"
"Lanjutkan Sel, tak usah pedulikan Ali."
Aku mengangguk, "Setelah beberapa lama ia tinggal di hotel, akhrinya rumah dinas beliau sudah siap. Saat tiba di rumah dinasnya, ternyata rumah itu sudah di isi oleh banyak perabotan. Entah di isi oleh siapa, tapi aku curiga yang mengisinya adalah pada cukong judi yang tadi. Tapi ini hanya dugaanku saja, bisa benar dan bisa salah."
"Apa ada sesuatu yang terjadi di rumah dinas beliau?" Tanya Ali.Â
Aku dan Raib hanya mendiamkannya saja, hal ini membuatnya kesal.Â
"Hey! Jangan mendiamkanku seperti ini dong." Rajuk Ali.Â
Aku tertawa melihat Ali yang merajuk, "Ada, Pak Hoegeng mengeluarkan semua perabotan itu dari rumahnya secara paksa dan di taruhnya di pinggir jalan. Hal itu membuat gempar seluruh kota Medan."
"Keren banget, dia tetap pada pendiriannya dan tidak mau menerima apapun."
"Kau benar Raib, dia sosok yang sangat hebat dan dia berani melawan jika ia merasa sesuatu hal itu tidak benar."
"Setelah sari Medan, Pak Hoegeng kembali ke Jakarta dan di tugaskan oleh Presiden Soekarno untuk menjadi Direktur Jenderal atau Dirjen Imigrasi. Ada satu peristiwa unik yang mengangkut jabatan barunya itu."
"Kedua mata Ali berbinar-binar, ia terlihat sangat antusias. " Apa itu? Cepat katakan."
"Pak Hoegeng meminta istrinya, Mery untuk menutup toko kembangnya."
Mendengar itu membuat alis Raib dan Ali mengerut karena bingung.Â
"Apa hubungannya jabatan Dirjen Imigrasi dengan penutupan toko kembang?"
Aku tersenyum tipis, "Pertanyaanmu sama seperti apa yang Ibu Mertua tanyakan juga, Raib."
"Jawaban Pak Hoegeng adalah..... "
"Nanti semua yang berhubungan dengan Imigrasi akan memesan kembang dari toko kembang milikmu dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya."
Mendengar jawaban Pak Hoegeng, Ali dan Raib langsung memahami alasannya.Â
"Masuk akal juga alasannya, suami yang berhubungan dengan Imigrasi pasti akan membeli kembang di toko Ibu Mery dengan tujuan supaya bisa lebih dekat dengan Pak Hoegeng agar segala urusan Imigrasi nya dipermudah. Ini sama saja seperti kasus yang tadi, penyogokkan terselubung."
"Bisa saja, tapi kita tidak boleh suudzon Ali. Mungkin saja mereka tulus membeli kembang untuk membantu usaha Ibu Mery." Jawab Raib.Â
"Tuh dengar Ali! Kau ini berpikiran negatif terus."
Ali tersenyum tipis sambil menggaruk tengkuknya tang tak gatal. Aku pun melanjutkan ceritaku sedikit lagi.Â
"Beliau juga menolak pemberian mobil dinas dari Sekretariat Negara."
"Kenapa di tolak? Apakah Sekretariat Negara juga jahat?"
"Aku tidak tahu Ali, alasan beliau menolaknya adalah karena..... "
"Aku telah memiliki mobil jip dinas dari kepolisian."
Ali dan Raib menatapku tak percaya. Tapi mau bagaimana lagi? Itulah kebenarannya.Â
"Pasti mobil dari Sekretariat Negara lebih bagus dari pada mobil jip dinas dari kepolisian itu."
"Yah mau bagaimana lagi Ali, itulah sosok Pak Hoegeng. Dia sangat sederhana."
Setelah bercerita panjang lebar, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Seperti biasa, aku kembali melewati lorong waktu yang menyebalkan itu. Setelah beberapa kali terhempas keluar dengan kuat, aku mulai bisa mengatasinya.Â
Kami muncul di sebuah pelabuhan tepatnya di atas kotak-kotak kontainer. Di bawah sana banyak sekali tentara yang berjaga, terdapat juga banyak mobil-mobil mewah yang sedang di masukkan kedalam kontainer.Â
"Ternyata ini bentuk Pelabuhan Tanjung Priok di masa lalu. Terlihat cukup kuno. Eh, apa yang terjadi di bawah? Kenapa banyak tentara yang berjaga? Mobil-mobil merah itu mau di kemanakan? Dan menga-"
"HHMMPPHHH!!"
Aku membekap mulut Ali yang sangat cerewat ini, "Berisk Ali, kau banyak tanya sekali. Kami pun tak tahu apa yang sedang terjadi di bawah sana."
"HEPPPHHAAASINNN AAKKHUUU THHIIDAK HIISAA NAHHAAASHP."
"Seli, sudah cukup. Lepaskan Ali, dia bisa mati kekurangan oksigen."
Aku menarik kembali tanganku yang penuh jigong Ali lalu mengelapkannya pada baju Raib.Â
"Itu sangat menjijikkan Seli."
Tak berselang lama, terdengar suara sirine mobil polisi. Mendengar itu orang-orang yang ada di bawah sana ketar-ketir. Banyak mobil polisi mulai berdatangan.Â
Puluhan polisi yang keluar menodongkan pistol pada mereka.Â
"Apa yang terjadi?" Tanya Ali.Â
"Diam atau ku bekap lagi mulutmu?!" Ancam ku, Ali pun menurut dan kembali diam memperhatikan kejadian di bawah sana.Â
Banyak orang yang mengangkat tangannya.Â
"ANGKAT SEMUA TANGAN KALIAN!! LETAKKAN SENJATA DI BAWAH!!" Teriak seorang polisi menggunakan Toa.Â
"KALIAN SUDAH KAMI KEPUNG! JANGAN BERONTAK ATAU KAMI TEMBAK!"
"BERAKHIR SUDAH PENYELUNDUPAN YANG KALIAN LAKUKAN DISINI!"
Aku terkejut, ternyata yang kami saksikan sejak tadi adalah proses penyelundupan mobil-mobil mewah. Aku kira ini hanya proses impor-ekspor mobil biasa, pantas saja sampai banyak tentara menjaganya. Ternyata ini kasus penyelundupan.Â
Beberapa polisi mulai memborgil tangan mereka dan memasukkannya ke dalam sebuah truk untuk diangkut. Kami dengan khidmat menyaksikan proses penangkapan di bawah.Â
"Ayo kita ikut ke mobil itu." Ajak Ali.Â
Kami pun mulai menaiki salah satu mobil polisi dan ikut kemana pun mobil itu pergi. Ternyata mobil yang kami tumpangi menuju kantor polisi. Kami pun turun dan mengikuti salah satu orang polisi yang berada satu mobil dengan kami tadi.Â
Ia memasuki suatu ruangan, kami membuntutinya. Di dalam sana duduk seorang Hoegeng yang asik membaca beberapa berkas-berkas.Â
"Lapor Pak, eksekusi penangkapan Robby Tjahya di selalu dalang di balik kasus penyelundupan mobil mewah berhasil di jalankan." Lapor polisi itu yang sepertinya adalah wakil Pak Hoegeng itu sendiri.Â
"Kerja bagus, saya akan mengumumkan keberhasilan operasi ini."
"Anda sangat hebat Pak, bisa mengetahui siapa dalang di balik kasus yang sangat besar ini. Saya sangat kagum pada anda."
Kami keluar dari ruangan itu sementara mereka melanjutkan percakapan. Ali memutuskan untuk Berpindah tempat lagi dan kami setuju.Â
Kami bertiga tiba di istana negara, tepatnya di suatu ruangan. Di sana ada Soeharto serta Pak Hoegeng sendiri. Mereka sedang membicarakan sesuatu hal yang serius.Â
"Pengungkapan kasus penyelundupan besar ini saya akui sangat hebat Hoegeng. Kau telah melakukan tugasmu dengan baik." Ucap Soeharto.Â
Hoegeng menundukkan kepalanta tanda Terima kasih.Â
"Tapi sepertinya kau harus kami berhentikan."
Hoegeng terkejut, alasan ia di panggil ke istana negara adalah untuk di berhentikan.Â
"Mengapa? Apa ada alasan tertentu?"
Soeharto menghela napas panjang, "Sudah saatnya kau beristirahat Hoegeng, sudah cukup jasa mu di sini. Kau juga semakin tua, sudah waktunya untuk pensiun. Kami akan melakukan regenerasi."
"Baiklah jika itu alasannya, saya akan menerimanya." Ucap Hoegeng sopan, menerima lapang dada.Â
"Bagaimana jika kau menjadi Duta Besar saja?" Tawar Soeharto.Â
Hoegeng menggelengkan kepala, menolak tawaran itu.Â
"Saya menolak penugasan sebagai Duta Besar di luar negeri, karena saya merasa tidak capable untuk tugas itu."
"Saya mau memikirkan keluarga dulu. Kedua anak saya masih sekolah dan jika saya keluar negeri, pendidikan mereka bisa kacau."
Soeharto mampu menerima alasannya tersebut, Hoegeng dipersilahkan pergi. Kami pun sama meninggalkan ruangan ini.Â
Kami duduk di tangga-tangga pintu masuk istana negara. Bisa di lihat dari raut wajah Ali dan Raib bahwa kini otak mereka di penuhi oleh berbagai macam pertanyaan. Sebelum mereka mencecarku dengan berbagai macam pertanyaan, aku berinisiatif untuk menceritakannya lebih dahulu.Â
"Pada tahun 1968, Soeharto mengangkat Hoegeng menjadi Kepala Polri menggantikan posisi dari Soetjipto Yudodihardjo. Pada masa itu, berbagai kasus penyelundupan merajela."
Mereka menoleh kearahku dan menyimak, "Yang paling terkenal adalah kasus penyelundupan mobil mewah yang di dalangi oleh Robby Tjahyadi atau Sie Tjie lt. Pada tahun 1971, beliau mengumumkan keberhasilan nya dalam membekuk penyelundupan mobil mewah seperti yang kita lihat tadi di Pelabuhan Tanjung Priok. Dan mobil-mobil itu di masukkan dengan perlindungan tentara."
"Wah! Pantas saja tadi di sana banyak sekali tentara yang berjaga, ternyata mereka bersekongkol dengan Si Robby-Robby itu. Aku tidak percaya ternyata tentara juga bisa bersekongkol dengan penjahat." Celetuk Ali.Â
"Yang paling mengejutkannya adalah, ternyata pengungkapan kasus itu mempercepat proses pemberhentiannya sebagai Kepala Polri."
"Kenapa begitu? Bukannya dia sangat berjasa? Kenapa malah di pecat. Ini tidak masuk akal."
"Kau benar Ali, ini tidak masuk akal. Aku beranggapan bahwa Hoegeng di berhenti kan karena dia terlalu berbahaya dan dapat membongkar kasus-kasus yang lebih besar lagi. Hal itu membuat para pejabat dan petinggi negeri takut sehingga memberhentikannya." Jawab Raib.Â
"Aku pun beranggapan demikian. Tapi, Soeharto beralasan pemberhentian Hoegeng tersebut adalah untuk regenerasi."
Ali menggeleng kuat, "Ini tidak masuk akal."
"Seperti yang kita lihat tadi, Hoegeng di tawari untuk menjadi Duta Besar namun ia menolaknya."
"Jenderal Hoegeng meninggal dunia pada 14 Juli 2004 setelah menjalani perawatan di RS Cipto Mangunkusumi Jakarta Pusat  karena stroke yang di deritanya. Beliau pun di makamkan di Parung Raja, Bogor, Jawa Barat."
Aku menghela napas lega, akhirnya selesai sudah kisah Jenderal Hoegeng ini. Kami pun pulang kembali ke tahun 2040.
Kembali ke masa lalu untuk melihat peristiwa penting yang terjadi pada suatu tokoh sangatlah menyenangkan. Aku jadi belajar banyak hal, kita harus jadi pribadi yang jujur dan bertanggung jawab. Kita tidak boleh takut pada kejahatan, jika hal itu salah maka harus kita lawan dengan kebenaran.Â
Setelah mendengar akhir dari cerita Pak Hoegeng, Ali menangis sedih.Â
"Sudah Ali, jangan menangis."
"Aku tidak bisa Raib, air mata ini terus mengalir. Entah mengapa aku merasa kehilangan sosoknya. Dia sangat baik, aku tak sanggup." Tangisan Ali malah semakin kencang.Â
Aku hanya bisa menontonnya dari pinggir ruangan, air mata ku pun menetes. Aku sibuk mengelap nya. Setelah mengikuti perjalanan kisah beliau, Kami bertiga sangat merasa kehilangan sosoknya.Â
-TAMAT-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H